2010-01-31

Menhut: 42 Juta Ha Hutan Indonesia Gundul

Bogor, (ANTARA News) - Menteri Kehutanan (Menhut) RI, Zukifli Hasan mengatakan sekitar 42 juta hektar (Ha) hutan Indonesia kini sudah tidak habis ditebang alias gundul.

"70 persen dari luas daratan Indonesia adalah kawasan hutan, atau sekitar 130 juta Ha luas hutan Indonesia. Dari 130 juta itu, 43 juta ha merupakan hutan primer atau sekitar 4,2 persen. Namun kondisi saat ini 42 juta ha sudah tidak berhutan lagi, semua sudah gundul habis ditebang," ucapnya didepan peserta pembangunan monumen Tanaman KAHMI, di Gunung Hambalang, Kabupaten Bogor, Minggu.

Zulkifli menyebutkan, provinsi yang masih memiliki hutan primer adalah sebagian di Papua dan Kalimantan.

"Provinsi Jawa yang sudah tidak ada lagi hutannya, begitu juga di Sumatera jumlah hutanya sudah sedikit," ungkapnya.

Fungsi hutan sangat baik untuk kehidupan manusia, selain mencegah erosi yang menyebabkan bencana alam seperti longsong dan banjir.

"Upaya yang paling optimal untuk mencegah kerusakan alam karena hilang hutan adalah dengan cara menanam. Mari kita menanam, dengan gerakan menanam pohon kita sudah menjadi menyediakan oksigen dan mencegah terjadinya bencana alam," terangnya.

Ketua Panitia pembangunan Monumen Tanaman KAHMI, Wisudarto mengatakan, monumen tanam KAHMI berlokasi di Gunung Hambalang dengan luas lahan yang akan ditanami pohon seluas 9,8 Ha.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 24 Januari 2010 13:53 WIB)

Ratusan Kera Resahkan Warga Sukabumi

Sukabumi (ANTARA News) - Ratusan kera di perbukitan Curug Cisayang, Kampung Cisayang, Desa Cijurey, Kecamatan Gegerbitung Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, membuat warga sekitar resah karena hasil pertanian milik warga dirusak oleh ratusan kera tersebut.

"Warga (petani) merasa resah dengan keberadaan ratusan kera yang seringkali merusak tanaman pertanian milik warga hingga puluhan hektare. Ratusan kera ini merusak tanaman palawija, padi dan kacang-kacangan," kata Kepala Desa Cijurey, Kecamatan Gegerbitung, Sukabumi, Roni Mamahit kepada ANTARA, Minggu.

Menurut Roni Mamahit , kejadian itu sudah berlangsung sejak tiga tahun yang lalu, bahkan warga di dua RT, yakni RT 12 dan RT 13 Kampung Cisayang pernah melakukan perburuan terhadap kera-kera tersebut.

"Warga berhasil menangkap 30 ekor kera yang seringkali berkeliaran di sekitar pemukiman warga. Bahkan, warga pernah memberikan racun kepada kera-kera tersebut melalui pisang yang diberikan oleh warga," katanya.

Namun, lanjut Roni, tidak efektif karena kera-kera tersebut kembali merusak tanaman pertanian milik warga.

Ia menilai ratusan kera turun ke perbukitan dan merusak tanaman pertanian milik warga karena habitat kera telah dirusak.

"Di perbukitan tersebut, terdapat hutan produksi milik Perhutani. Perhutani sering melakukan penebangan pohon, sehingga merusak habitat kera," ujarnya.

Akibatnya, ratusan kera liar itu marah sehingga kemudian merusak tanaman milik warga.

Oleh karena itu, kata dia, dalam waktu dekat pihaknya bersama warga akan melakukan penangkapan ratusan kera liar itu, sehingga tidak ada lagi tanaman pertanian milik warga yang rusak.

Ia mengaku dilematis untuk membunuh ratusan kera liar itu karena di satu sisi kera merupakan satwa yang dilindungi, namun di sisi lain keberadaan kera itu meresahkan warga.

"Saya minta agar dinas terkait membantu untuk menyelesaikan masalah ini, sehingga warga tidak merasa dirugikan. warga pun tidak melakukan pelanggaran dalam membunuh satwa yang dilindungi tersebut," tuturnya.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 24 Januari 2010 17:18 WIB)

151 Spesies Tikus Perlu Dilestarikan

Bogor, (ANTARA News) - Pakar proteksi tanaman dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi, mengemukakan, sebanyak 151 spesies tikus perlu dilestarikan, karena besarnya manfaat bagi konservasi lingkungan.

"Spesies tikus ada 160. Tikus pengganggu masyarakat hanya sembilan spesies, sedangkan 151 spesies lainnya merupakan satwa liar yang harus dilestarikan," katanya di Bogor, Minggu.

Lebih lanjut Swastiko Priyambodo yang juga dosen Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB mengatakan, tikus pengganggu yang paling dikenal banyak masyarakat terdapat empat spesies yaitu tikus sawah, tikus pohon, tikus rumah dan tikus got.

Saat ini yang perlu diwaspadai adalah penyakit "leptospirosis" atau penyakit kencing tikus yang ditularkan tikus got. Penyakit ini biasanya mewabah pada saat musim hujan terutama di wilayah potensi banjir.

Banjir mengakibatkan terjadinya genangan air, sehingga memaksa tikus keluar dari sarangnya lantaran tergenang air. Biasanya tikus memilih bermigrasi ke tempat yang tidak tergenang air, termasuk ke permukiman masyarakat.

Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri leptospira. Bakteri leptospira dibawa dan dikeluarkan melalui air kemih binatang termasuk tikus. Gejala yang timbul apabila terkena penyakit leptospirosis adalah demam, muntah, dan diare.

Swastiko mengutarakan, cara pencegahan yang paling sederhana dan efektif agar terhindar dari penyakit kencing tikus dan supaya tikus tidak betah berada di sekitar rumah yaitu dengan menerapkan pola

hidup sehat dengan menjaga agar sanitasi tetap bersih dan menutup tempat-tempat yang berpotensi untuk masuknya tikus ke dalam rumah.

Ia menambahkan, racun tikus adalah solusi paling akhir yang dapat digunakan untuk mencegah tikus berkembangbiak di rumah.

Namun, penggunaan racun tikus harus dilakukan secara hati-hati, karena racun selain berbahaya untuk binatang juga akan membahayakan penggunanya apabila terkena kontak langsung.

Tikus pengganggu lainnya adalah tikus sawah, tikus ini berkembang biak lebih banyak dibanding tikus rumah. Jika tikus rumah dalam satu kali melahirkan bisa mencapai enam hingga delapan ekor anak tikus, dan tikus sawah dalam sekali melahirkan bisa lebih banyak lagi.

Tikus-tikus sawah hasil perburuan di daerah Cirebon, Indramayu, Jawa Barat, dan Tegal, Jawa Tengah, dimanfaatkan untuk pakan ternak bebek, katanya.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 24 Januari 2010 14:17 WIB)

2010-01-30

Pemkab Kerahkan Alat Berat Bersihkan Pantai Kuta

Denpasar (ANTARA News) - Pemerintah Kabupaten Badung, Bali, berupaya membersihkan tumpukan sampah yang mengotori objek wisata Pantai Kuta sejak setengah bulan lalu dengan menambah tiga alat berat.

"Dengan tambahan alat berat itu diharapkan sampah yang mengotori pantai tujuan wisata internasional ini dapat segera dibersihkan. Mudah-mudahan dalam dua hari ke depan sampah ini sudah tidak ada lagi," kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Badung Wayan suteja di Kuta, Sabtu.

Ia mengatakan, pihaknya bersama para pedagang dan beberapa petugas satgas pantai bergotong-royong menyingkirkan tumpukan sampah yang dibawa oleh arus air laut tersebut.

"Sampah-sampah tersebut dikumpulkan di depan kuburan dekat pantai itu, sebelum diangkut ke TPA Suwung," katanya.

Namun demikian, pihak DKP juga tidak berani memastikan bahwa setelah kegiatan kebersihan ini dilakukan, Kuta bisa bebas dari sampah akibat kencangnya angin yang berembus dari barat.

"Mengingat musim angin barat masih berlanjut tidak menutup kemungkinan sampah bisa saja akan lagi mengotori pantai ini. Kalau cuaca begini terang dan tidak ada angin, ya kita bisa bersihkan sampahnya," ujar Suteja.

Yang dikhawatirkan saat angin kencang datang, kata dia, biasanya kotoran berupa sampah rumput laut bersama balok kayu besar juga ikutan terbawa menuju pantai Kuta.

"Kalau cuaca masih musim angin barat, yang namanya sampah kiriman pasti datang lagi. Itu tidak bisa dicegah selain mengangkutnya seperti ini," kata Suteja sembari ikut serta bergotong-royong.

Akibat angin barat ini, Pantai Kuta yang biasanya dijejali wisatawan domestik dan mancanegara untuk melakukan berbagai aktivitas, yaitu berenang dan berjemur, kini tampak sepi.

Selain itu angin musim barat itu juga membawa dampak nelayan tidak bisa melaut dengan nyaman. Selain tak ada ikan diperairan dekat pantai, gelombang di tengah laut juga kencang dan bisa membuat perahu terombang-ambing.

Menurut pengakuan seorang satgas pantai, sejak terjadinya angin barat itu dirinya pernah menemukan tiga ekor penyu mati di pantai Kuta, dan sebanyak tujuh ekor penyu terdampar dengan keadaan sekarat.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 24 Januari 2010 05:40 WIB)

Kerusakan Hutan Bakau di Sumut Parah

Medan (ANTARA News) - Kerusakan hutan bakau (mangrove) terutamadi Karang Gading, Kabupaten Deli Serdang dan Langkat, Sumatera Utara, saat ini cukup parah.

"Di Sumut kerusakan meliputi sekitar 6.000 hektare dari 15.765 hektare hutan bakau yang ada di provinsi ini," kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut Djati Wicaksono Hadi di Medan, Sabtu.

Oleh karena itu, kata dia, adanya kerusakan hutan bakau di Sumut harus secepatnya diatasi oleh dinas terkait, dan diselamatkan dengan cara dilakukan penghijauan.

Menurut dia, kerusakan hutan bakau di Sumut tidak hanya disebabkan adanya perambah hutan yang mengambil kayunya, tetapi juga akibat berubahnya fungsi menjadi lahan sawit atau tambak ikan.

Kegiatan yang merusak hutan bakau itu sudah berlangsung cukup lama, dan petugas BKSDA Sumut terus melakukan penertiban di lapangan.

Penertiban yang dilakukan dengan cara memperingatkan pemilik kebun sawit dan pemilik tambak untuk segera menghentikan kegiatannya.

Bahkan, kata dia, dalam melakukan penertiban di lapangan, petugas BKSDA banyak menghadapi berbagai kendala dan tantangan.

Namun, menurut dia, petugas BKDSA tetap terus melakukan kegiatan tersebut, dan tidak terpengaruh dengan rintangan itu. "Ini adalah tugas BKSDA untuk menyelamatkan kerusakan hutan bakau," katanya.

Selain itu, petugas BKSDA terus memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak melakukan penrusakan kawasan hutan bakau.

"Bagi warga yang masih melakukan pelanggaran, akan diproses melalui jalur hukum. Langkah itu untuk membuat jera pelakunya," kata Wicaksono.

Ia menyebutkan seluas 6.000 hektare kerusakan hutan bakau di Sumut terdapat di Karang Gading di Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang yang mencapai sekitar 4.000 hektare.

Kemudian seluas 2.000 hektare di Desa Padang Halaban, Kecamatan Besitang, Desa Pangkalan Batu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat.

Ia mengatakan pihak BKSDA telah melakukan penghijauan seluas 800 hektare dengan menanam kembali tanaman bakau.

"Penghijauan di kawasan hutan bakau yang rusak parah itu terus dilakukan. Kawasan hutan suaka margasatwa tersebut harus diselamatkan dari kepunahan," kata Wicaksono.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 23 Januari 2010 21:22 WIB)

RI Golkan Resolusi Pengelolaan Limbah Berbahaya WHO

Jakarta (ANTARA News) - Resolusi Delegasi RI mengenai "Peningkatan Kesehatan melalui Manajemen Pengolahan Limbah Berbahaya yang Aman dan Ramah Lingkungan" memperoleh dukungan dan disahkan secara konsensus dalam Sidang ke-126 Executive Board-WHO.

Menurut keterangan resmi dari Sekretaris Pertama PTRI Jenewa, Acep Somantri, yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu, pengajuan rancangan resolusi tersebut merupakan inisiatif konkrit Indonesia, yang saat ini juga menjabat sebagai Presiden Konvensi Basel, untuk menindaklanjuti keputusan "Bali Declaration on Waste Management for Human Health and Livelihood".

Dalam proses pengajuan rancangan resolusi tersebut, Delegasi RI berhasil mendapat dukungan dari 37 negara anggota WHO yang telah menyatakan sebagai co-sponsor rancangan resolusi.

Ke-37 negara tersebut adalah Argentina, Armenia, Brunei, Bangladesh, Chile, Colombia, Guatemala, Monaco, Nigeria, Swiss dan 27 negara anggota Uni Eropa.

Sementara itu menurut Wakil Tetap RI di Jenewa, Duta Besar Dian Triansyah Djani, diadopsinya rancangan resolusi Indonesia tersebut merupakan bukti kuat diakuinya kepemimpinan Indonesia baik di isu kesehatan dalam kerangka WHO maupun isu lingkungan dalam kerangka WHO dan Konvensi Basel.

Dengan disepakatinya resolusi atau keputusan tersebut maka diakui bahwa penanganan limbah berbahaya yang tidak ramah lingkungan akan berdampak pada kesehatan.

Oleh karenanya negara anggota WHO dan Dirjen WHO diharapkan bekerjasama untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pengelolaan limbah yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia.

Konvensi Basel merupakan perjanjian internasional yang mengatur pergerakan lintas batas limbah berbahaya. Indonesia telah menjabat Presiden Pertemuan Negara Pihak Konvensi Basel ke-9 sejak 2008 yang telah berhasil mendorong diterimanya "Bali Declaration on Waste Management for Human Health and Livelihood".

Deklarasi Bali mengenai Manajemen Limbah bagi Kesehatan Manusia dan Kehidupan itu disepakati pada Sidang ke-9 COP to the Basel Convention di Bali, Juni 2008.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 23 Januari 2010 18:54 WIB)

2010-01-29

Indonesia Golkan Resolusi WHO Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya

London (ANTARA News) - Delegasi Indonesia menggolkan Resolusi WHO mengenai pengelolaan limbah berbahaya "The Improvement of Health through Safe and Environmentally Sound Waste Management" yang diajukan dalam Sidang ke-126 Executive Board-WHO yang berlangsung di Jenewa.

Sekretaris Pertama PTRI Jenewa, Acep Somantri , kepada koresponden Antara London, Sabtu mengatakan pengajuan rancangan resolusi tersebut merupakan inisiatif konkret Indonesia, yang saat ini juga menjabat sebagai Presiden Konvensi Basel.

Menurut Acep Somantri, inisiatif konkret Indonesia itu adalah untuk menindaklanjuti keputusan "Bali Declaration on Waste Management for Human Health and Livelihood" yang disepakati pada Sidang ke-9 COP to the Basel Convention di Bali, Juni 2008.

Dalam proses pengajuan rancangan resolusi tersebut, Delegasi RI mendapat dukungan dari 37 negara anggota WHO yang menyatakan sebagai co-sponsor rancangan resolusi yaitu Argentina, Armenia, Brunei, Bangladesh, Chile, Colombia, Guatemala, Monaco, Nigeria, Swiss dan 27 negara anggota Uni Eropa.

Watapri Jenewa, Duta Besar Dian Triansyah Djani menjelaskan diadopsinya rancangan resolusi Indonesia tersebut merupakan bukti kuat diakuinya kepemimpinan Indonesia baik di isu kesehatan dalam kerangka WHO maupun isu lingkungan dalam kerangka WHO dan Konvensi Basel.

Dengan disepakatinya resolusi atau keputusan tersebut diakui bahwa penanganan limbah berbahaya yang tidak ramah lingkungan akan berdampak pada kesehatan.

Oleh karena itu, negara anggota WHO dan Dirjen WHO diharapkan bekerja sama untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pengelolaan limbah yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia.

Konvensi Basel merupakan perjanjian internasional yang mengatur pergerakan lintas batas limbah berbahaya. Indonesia telah menjabat Presiden Pertemuan Negara Pihak Konvensi Basel ke-9 sejak 2008 yang telah berhasil mendorong diterimanya Bali Declaration on Waste Management for Human Health and Livelihood.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 23 Januari 2010 11:29 WIB)

Masyarakat Sultra Giat Tanami Lahan Kritis Dengan Jati

Kendari (ANTARA News) - Masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan dan Bombana, Sultra, kini sedang giat-giatnya mengembangkan tanaman jati di lahan tidur dan kritis di sekitar lereng gunung, karena komoditas itu mempunyai nilai jual tinggi.

Masyarakat lebih menyukai mengembangkan tanaman jati untuk mengisi lahan-lahan tidurnya, dibanding jenis tanaman lain, kata anggota DPRD Kabupaten Bombana, Ahmad Yani di Kendari, Kamis.

Hanya saja, kendala utama para pemilik lahan tidur adalah pengadaan bibit yang saat ini diperjualbelikan sudah mulai mahal, sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan bibit tanaman tersebut.

Bahkan, menurut dia, banyak pejabat di Sultra yang mempunyai lahan yang luas telah mengembangkan tanaman jati sebagai investasi pada saat pensiun dari pegawai negeri sipil (PNS).

"Kalau masyarakat diberi bantuan bibit secara gratis, maka lahan yang tidak produktif atau lahan kritis di Kabupaten Bombana dan sekitarnya tidak lagi dijumpai, sehingga tidak lagi dijumpai lahan yang gundul penyebab banjir," kata politisi dari Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Tingginya harga kayu jati saat ini menyebabkan pengembangan kayu jati oleh masyarakat juga cukup besar, sehingga tidak secara langsung telah membantu program pemerintah dalam hal penghijauan lahan kritis.

Dia mengatakan, salah satu upaya umat manusia untuk mengurangi efek pemanasan global dan perubahan iklim adalah dengan memperbanyak pohon dan tanaman-tanaman pelindung lainnya.

"Minimal lingkungan yang ada di sekitar kita harus tetap hijau, sebab dengan satu batang pohon itu akan bisa memberi manfaat bagi makhluk dan ekosistem yang ada di sekitarnya," katanya.


Sumber: ANTARA News (Jumat, 22 Januari 2010 05:32 WIB)

DPRD: Dinas Kehutanan Lemah Awasi Pengelolaan Hutan

Jambi (ANTARA News) - DPRD Provinsi Jambi mengkritik kinerja Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi yang dinilai lemah dalam mengawasi pengelolaan hutan di Provinsi Jambi.

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Jambi H Wahab Hasyab di Jambi, Kamis, mengatakan, salah satu kelemahan Dishut itu terlihat dalam pengawasan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh PT Wira Karya Sakti (WKS) yang diduga telah melakukan perluasan wilayah lahan garapan dari yang disepakati sebelumnya.

Penilaian tersebut disampaikannya saat dengar pendapat dengan Dinas Kehutanan dan PT WKS di gedung DPRD Provinsi Jambi.

Berdasarkan data yang diterima DPRD, terjadi kelebihan lahan garapan sekitar 30.000 hektare yang dilakukan perusahaan itu, dari 293.000 hektare meningkat menjadi 311.000 hektare.

Menurut Wahab, hal itu bisa terjadi antara lain dikarenakan lemahnya pengawasan oleh Dinas Kehutanan. Semestinya setiap surat apapun yang keluar dari Ditjen Kehutanan atau instansi/pihak lainnya, Dinas Kehutananan harus melakukan cek silang di lapangan.

"Setiap surat keputusan yang menyangkut hutan, seharusnya ditelusuri dan ditindaklanjuti. Tapi yang terjadi saat ini, pihak Dinas Kehutanan malah memerintahkan kepada perusahaan untuk melakukan pengukuran sendiri," ujarnya.

Apabila diukur oleh pihak perusahaan, diduga apa yang diukur itulah yang dijadikan lahan garapan. Semestinya kalau ada perubahan, dinas terkait harus cepat menanggapi.

Hal ini juga yang menyebabkan tidak adanya titik temu mengenai luas lahan, seharusnya jika sudah didapat batas lahan, Dinas Kehutanan harus membuat tapal batasnya.

Terkait masalah ini, Wahab mengaku DPRD melalui Komisi II akan turun untuk melihat langsung kondisi riil di lapangan, sebab DPRD tidak cuku hanya mendengar penjelasan yang telah diberikan oleh pihak Dinas Kehutanan.

Ketika dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Ir Budidaya enggan berkomentar karena masih berada di Beijing, Cina. Begitu juga saat disinggung soal hasil dengar pendapat antara DPRD dengan PT WKS, ia mengaku belum mendapatkan laporan.


Sumber: ANTARA News (Jumat, 22 Januari 2010 02:24 WIB)

2010-01-28

Tanjungpinang Buka Objek Wisata Mangrove

Hutan mangrove (ANTARA/Eric Ireng)

Tanjungpinang (ANTARA News) - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Kepri, membuka objek wisata hutan mangrove mengitari kawasan cagar budaya peninggalan Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga.

"Selain untuk melestarikan hutan mangrove, juga untuk mengingatkan kembali memori kolektif sejarah masa lampau yang ada di kawasan cagar budaya peninggalan Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanjungpinang, Abdul Kadir Ibrahim, di sela-sela peresmian objek wisata tersebut, Kamis.

Kawasan hutan mangrove yang berada di Hulu Sungai Carang, Kota Tanjungpinang tersebut, mengelilingi peninggalan sejarah yang dibangun pada masa Sultan ke-VIII kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677) untuk menjadi pusat kerajaan yang secara resmi dipindahkan dari Johor pada masa Sultan Ibrahim Syah pada tahun 1677 sampai tahun 1685.

"Wisatawan nantinya tidak hanya menikmati keindahan hutan mangrove yang ada, namun juga bisa mempelajari kembali peninggalan sejarah Melayu pada masa lampau," ujarnya yang biasa dipanggil Akib.

Akib mengatakan, pengembangan wisata hutan mangrove ini merupakan salah satu bentuk promosi pariwisata Kota Tanjungpinang, di mana wisatawan bisa menikmati keindahan alam sekaligus mengetahui sejarah masa lalu.

"Pengunjung bisa mengelilingi hutan mangrove dari "mangrove walk" yang sudah disediakan dan mempelajari sejarah di Hulu Sungai carang yang sekarang dikenal dengan "Kota Rebah"," ujarnya.

Wali Kota Tanjungpinang, Suryatati A Manan menyambut baik upaya-upaya yang dimulai untuk membangkitkan kawasan yang disebut berbagai kalangan dengan Kota Raja, atau ada yang menyebut Kota Lama dan terakhir disebut Kota Rebah.

"Upaya pengelolaan kawasan ini, akan memberikan alternatif lain tempat wisata Kota Tanjungpinang yang tidak saja berupa kawasan pantai, pusat kota dan kawasan belanja yang selama ini dikenal," ujar Suryatati.

Suryatati mengatakan, dari 12 jenis bakau yang ada dikawasan ini, ada satu jenis yang tidak terdapat didaerah lain yang mengembangkan wisata mangrove seperti di Bali.

"Jenis bakau yang disebut masyarakat lokal dengan nama Teruntum sangat ini unik, karena disukai hewan Kunang-kunang sebagai habitat hidupnya, sehingga indah jika di lihat dimalam hari," ujarnya.

Dia juga mengajak kalangan pelajar untuk mengunjungi kawasan wisata mangrove dan cagar budaya tersebut untuk memberikan pemahaman sejarah kepada pelajar mengenai sejarah masa lalu.

Pembukaan kawasan wisata mangrove dan cagar budaya tersebut ditandai dengan prosesi "tepung tawar" yang merupakan adat Melayu, serta penandatanganan prasasti.

Pengunjung yang hadir juga mengitari hutan mangrove serta reruntuhan bangunan Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga itu.


Sumber: ANTARA News (Kamis, 21 Januari 2010 22:16 WIB)

Menteri Lingkungan Hidup Sedunia Bertemu di Bali

Denpasar (ANTARA News) - Para menteri lingkungan hidup sedunia akan bertemu di Bali untuk menghadiri konferensi Program Lingkungan PBB atau UNEP, 21-26 Februari 2010 yang akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Kegiatan konferensi Program Lingkungan PBB atau UNEP itu melibatkan sekitar 5.000 orang dari 192 negara," kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali AA Gede Alit Sastrawan di Denpasar, Kamis.

Ia mengatakan, untuk itu berbagai persiapan dan rapat koordinsi dengan panitia pusat masih terus dilakukan.

Upaya tersebut adalah juga persiapan untuk mendeklarasikan Bali sebagai Provinsi Hijau (Green Province) pertama di Indonesia.

"Kondisi Bali dari kelestarian lingkungan di Bali masih terbaik dibanding provinsi lainnya di Indonesia," ujar Alit Sastrawan.

Hal itu berkat kondisi hutan dan lingkungan Bali yang cukup lestari, hijau serta hamparan lahan sawah yang tetap dapat dilestarikan.

"Masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-hari memegang teguh konsep Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmonis sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa," tutur Alit Sastrawan.

Bahkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika telah menginstruksikan para bupati dan wali kota di Bali untuk mengintensifkan gerakan kebersihan lingkungan.


Sumber: ANTARA News (Kamis, 21 Januari 2010 11:52 WIB)

Kebocoran Pipa Pertamina Cemari Pohon Karet Warga

Muaraenim (ANTARA News) - Pipa aliran minyak mentah milik PT Pertamina EP Field Pendopo, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, bocor sehingga mencemari ratusan batang pohon karet produktif milik warga Desa Benuang, Kecamatan Abab.

Kebocoran pipa penyalur milik Pertamina tersebut bukan hanya mencemari lingkungan, tapi juga merusak tanaman karet milik warga setempat yang berada di sekitar lokasi, kata warga setempat Indra Setia Haris, Rabu

"Kejadian pipa bocor itu baru diketahui di Dusun IV Talang Ampai, Desa Benuang pada pipa milik PT Pertamina EP Pendopo, ukuran 8 inci," katanya.

Dia menyatakan, akibat kebocoran pipa itu diperkirakan puluhan ton minyak mentah kondensat menyembur keluar sampai merendam ratusan batang pohon karet produktif milik warga Desa Benuang.

"Tumpahan minyak mentah yang mengalir sempat menggenangi jalan aspal. Pihak Pertamina baru membersihkannya setelah beberapa hari kejadian," katanya.

Ia berharap, Pertamina cepat tanggap jika ada kebocoran dan segera melakukan peremajaan pipa terutama yang terletak di daerah permukiman dan sungai.

"Kami khawatir tumpahan minyak yang mengalir dan menggenangi kawasan perkebunan itu akan membahayakan warga karena pihak Pertamina tidak memberikan garis batas atau papan peringatan," ujar dia.

Minyak mentah tersebut sudah dialirkan dan dibersihkan pihak Pertamina tapi masih ada masalah ganti rugi terhadap tanam tumbuh warga yang rusak.

Akibat dialiri dan terendam oleh minyak mentah tersebut, sedikitnya 1.000 batang pohon karet milik 10 warga Benuang terancam mati.

Kepala Layanan Operasi Pertamina EP Pendopo Yosi Ardila, mengatakan sudah mendapatkan informasi tentang kebocoran tersebut, dan berjanji segera menangani kebocoran itu.


Sumber: ANTARA News (Kamis, 21 Januari 2010 06:23 WIB)

2010-01-27

Mengapa Gempa Haiti Membunuh Begitu Banyak Orang

Jakarta (ANTARA News) - Ada pelajaran berharga dari Gempa Haiti tentang mengapa bencana itu menimbulkan banyak korban dan menciptakan kerusakan maha dahsyat. Mingguan New Scientist menjawab alasan banyaknya jatuh korban itu dalam satu artikelnya yang terbit pada 19 Januari 2009.

Gempa bumi yang mengguncang Haiti pekan lalu digambarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai krisis kemanusiaan terburuk dalam beberapa dekade, dengan perkiraan jumlah korban meninggal dunia antara 50.000 sampai 200.000 orang.

PBB menengarai banyaknya jatuh korban di Haiti karena gempa menerjang ibukota padat penduduk sehingga menyulitkan pergerakan banyak lembaga yang bekerja bagi penanggulangan bencana.

Sedangkan para geolog yang berbicara kepada New Scientist mengungkapkan alasan-alasan lain mengapa Gempa Haiti begitu dahsyat dan mengingatkan bahwa guncangan lebih dahsyat akan segera menyusul, karena belum semua energi terpendam gempa terbebaskan dalam tragedi itu.

Pertama, gempa terjadi di episentrum dangkal sehingga tidak memberi cukup waktu untuk memperingatkan penduduk agar keluar dari bangunan. Ini berbeda dari gempa yang episentrumnya dalam.

Kedua, Port au Prince dibangun tidak di atas batu karang tetapi di atas tanah liat yang amblas begitu ada guncangan.

Terakhir, standard bangunan tidak mampu menahan gempa bumi hebat.

Jika gempa bumi sama menimpa California, maka jumlah korban hampir pasti akan lebih rendah. "Konstruksi gedung yang lebih baik akan menyelamatkan banyak nyawa manusia," kata Chuck DeMets, pakar geologi tektonik dari Universitas Wisconsin-Madison.

Kisah dua gempa

Perbandingan diantara dua gempa bumi berikut yang sangat mirip satu sama lain bisa memperkuat klaim Chuck DeMets itu.

Kedua gempa bumi yang sangat mirip itu sama-sama terjadi di kawasan padat penduduk, namun korban yang ditimbulkan gempa jauh berbeda satu sama lain.

Pada 1988, gempa bumi 6,9 skala Richter yang mengguncang Spitak di Armenia merenggut 25.000 nyawa. Sebaliknya, gempa bumi berkekuatan 7,1 skala Richter yang mengguncang Loma Prieta di California pada 1989 "hanya" menelan 63 orang korban jiwa.

"Perbedaan dalam jumlah korban bencana menunjukkan gedung-gedung berstandard (anti gempa) tinggi bisa menyelamatkan banyak nyawa orang," kata DeMets.

Gedung-gedung bertingkat yang mengitari hampir seluruh Port-au-Prince terbukti menjadi perangkap maut ketika gempa bumi menghantam.

"Gedung-gedung bertingkat itu rapuh dan tidak memiliki kelenturan, sehingga menimbulkan malapetaka ketika diguncang gempa," kata Ian Mai, seismolog dari Universitas Edinburgh, Inggris.

Dan malapetaka itu diperparah oleh episentrum gempa yang dangkal.

"Pada gempa bumi dengan episentrum dalam, yang pertama muncul adalah gelombang utama, dan memberi Anda sedikit peringatan sebelum kemudian gelombang sesar (yang mengguncang permukaan bumi dari sisi ke sisi) menyusul," kata Uri ten Brink, pakar gempa bumi Karibia dari Survey Geologi AS (BMG-nya AS) di Woods Hole, Massachusetts.

Pada Gempa Haiti, episentrum gempa begitu dekat dengan permukaan bumi sehingga gelombang utama dan gelombang sesar terjadi hampir bersamaan.

Rancang agar selamat

Jadi, bangunan model bagaimana yang bisa menahan guncangan seperti itu?

"Para insinyur menggunakan materi yang lebih fleksibel dengan kapasitas terpasang yang bisa menyerap kerusakan, seperti kap mesin mobil zaman sekarang yang dirancang bisa dilipat sehingga interiornya tetap utuh," jelas Main.

"Ini mungkin termasuk peredam kejut isolasi dasar di lantai pertama, guna membantu menahan atau meminimalkan gelombang sesar dinamis dan gerakan yang memutar-mutar."

Penyesuaian gedung-gedung biasa agar tahan gempa adalah mahal, namun mendirikan bangunan baru yang tahan gempa tidaklah mahal.

"Bangunan tahan gampa membutuhkan material bangunan yang agak lebih banyak dan memerlukan waktu rancang yang sedikit lebih lama, namun bangunan-bangunan itu tidak lebih mahal daripada bangunan biasa," kata Main.


Sumber: The New Scientiest, 19/1, dialihbahasakan oleh jafar sidik

Warga Mengungsi Diserbu Gajah

Pekanbaru (ANTARA News) - Sekitar 50 keluarga Dusun Sungai Ubo, Desa Pauhranap, Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), terpaksa mengungsi setelah kawanan gajah Sumatra memasuki permukimannya.

"Warga resah dan akhirnya mengungusi karena gajah makin sering masuk kampung dan merusak rumah juga kebun milik warga," kata Camat Peranap Hariyandi di Pekanbaru, Rabu.

Menurutnya, ada sekitar 35 unit rumah kayu milik warga dan ratusan hektare tanaman kelapa sawit dan karet milik warga dirusak kawanan gajah Sumatra itu.

"Puluhan gajah kerap masuk pada malam hari ke kampung. Warga sudah berupaya untuk mengusir dengan cara membuat api unggun tapi tidak berhasil," katanya.

Akibatnya, perkampungan yang dihuni sekitar 70 KK itu kini sepi karena warga mulai mengungsi selama dua bulan terakhir dan kini yang mengungsi susah mencapai 50 keluarga.

Menurutnya, konflik gajah dan manusia di daerah tersebut telah berlangsung lama, sampai-sampai menelan korban jiwa bernama Rinto Lumban Gaoil (27) pada September 2009.

Ia mengatakan, puluhan warga yang mengungsi kini membuat rumah bedeng baru di sekitar Dusun Lubuk Kandis karena menilai tempat itu lebih aman.

Ia berharap instansi terkait seperti Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau segera mengatasi masalah konflik ini sebelum menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi yang lebih besar.

"Kami tetap berusaha mencari solusi bersama pemerintah setempat agar masalah ini bisa diatasi," kata Kepala Bidang Wilayah Rengat BBKSDA Riau Edi Susanto.


Sumber: ANTARA News (Rabu, 20 Januari 2010 16:02 WIB)

10 Ribu Pohon Ditanam di DAS Bakaru

Makassar (ANTARA News) - Sebanyak 10 ribu pohon jenis sengon dan trambesi akan ditanam, di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di daerah tangkapan air (catchment area) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bakaru Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemprov Sulsel Tautoto Tana Ranggina di Makassar, Selasa, mengatakan, penanaman dilakukan 1.300 anggota Pramuka peserta Perkemahan Wirakarya Pramuka Penegak dan Pendega se-Sulsel, pada Rabu (20/1).

"Kami juga akan menanam 3.500 bibit Bakau di sepanjang pesisir pantai Desa Buttu Sawe yang menjadi lokasi perkemahan," katanya.

Menurut Ketua Panitia Pelaksana Perkemahan Wirakarya itu, DAS Bakaru dihijaukan karena setiap musim kemarau terjadi penurunan debit air akibat penggundulan hutan.

"Berkurangnya debit air menjadi penyebab krisis kelistrikan di Sulsel setiap tahun. Karena itu kami mengagendakan penghijauan sebagai program utama dalam kegiatan ini," ujarnya.

Dalam perkemahan yang akan berlangsung hingga 24 Januari tersebut, peserta yang merupakan Pramuka tingkat SMA dan mahasiswa juga akan melakukan pembukaan jalan baru dari Desa Buttu Sawe ke lokasi transmigrasi disekitarnya.

Selama ini, kata dia, akses jalan hanya setapak sehingga tak bisa dilewati kendaraan besar seperti mobil. Pramuka peserta juga akan melakukan rehabilitasi masjid dan sosialisasi pendidikan serta kesehatan gratis.


"Mudah-mudahan selama perkemahan, kami dapat berbuat banyak di sana," ujarnya.

Sumber: ANTARA News (Rabu, 20 Januari 2010 02:05 WIB)

2010-01-26

LIPI Rencanakan Konservasi Kepulauan Lucipara Untuk Pariwisata

Ambon (ANTARA News) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon merencanakan konservasi bagi kepulauan Lucipara, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), untuk menjadi daerah pariwisata bahari di Maluku.

Seorang peneliti LIPI Ambon, Abdul Wahab Radjab, saat dikonfirmasi ANTARA, di Ambon, Minggu, membenarkan sedang merencanakan program konservasi tersebut.

"Kami sedang merencanakan program konservasi terhadap Kepulauan Lucipara agar bisa dijadikan daerah tujuan wisata bahari, terutama untuk kegiatan menyelam," katanya.

Ia menjelaskan, LIPI menjadwalkan memulai program konservasi itu pada Oktober 2010, tetapi jika cuaca sudah mulai membaik program tersebut bisa dipercepat Maret mendatang.

"Kami akan melakukan penyelaman, makanya harus menunggu laut tenang yang biasanya berkisar Oktober 2010. Tapi kalau cuaca sudah membaik pada Maret mendatang, konservasi segera dilaksanakan," ujarnya.

Radjab mengatakan, mereka tidak hanya akan mengadakan konservasi bagi gugusan kepulauan Lucipara yang terdiri dari 7 pulau tak berpenghuni, tetapi LIPI Ambon juga akan merehabilitasi pulau itu apabila terdapat kerusakan terhadap ekosistemnya.

"Selain mengadakan konservasi, kami juga akan melakukan program rehabilitasi apabila ada kerusakan pada ekosistemnya, karena Lucipara merupakan pulau yang tidak berpenghuni," ujarnya.

Menurutnya, Lucipara yang terletak di tengah-tengah laut Banda atau 200 kilometer selatan pulau Ambon itu memiliki potensi bahari alami yang dapat memancing para wisatawan untuk berkunjung, karena selain dilingkari pasir putih untuk habitat penyu bertelur, juga terdapat panorama bawah laut yang indah dengan warna-warni koral (bunga karang) dan ikan-ikannya.

"Lucipara sangat eksotis karena potensi wisata baharinya masih asri," ucapnya.

Ia menambahkan, LIPI akan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Maluku untuk program pengembangan dan pengelolaan Kepulauan yang bisa ditempuh selama 6 jam dengan kapal berkecepatan 25-30 knot dari desa Latuhalat, kecamatan Nusaniwe, kota Ambon.

"Kami akan bekerjasama dengan Disbudpar Maluku untuk program pengembangan dan pengelolaan kepulauan Lucipara menjadi daerah tujuan primadona penyelaman," katanya.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 17 Januari 2010 21:11 WIB)

Amdal Rel KA Masih Dibahas Meneg LH

Bengkulu (ANTARA News) - Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) rel Kereta Api (KA) Linau-Tanjung Enim Sumatra Selatan sepanjang 168 km masih dibahas oleh Kementerian Lingkungan Hidup, kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bengkulu Surya Gani, Minggu.

"Karena pembangunannya lintas provinsi yaitu Bengkulu dan Sumatra Selatan maka pembahasan Amdal dilakukan oleh kementerian," katanya.

Rel KA tersebut akan menghubungkan pelabuhan Linau di Kabupaten Kaur dengan Tanjung Enim Sumatera Selatan khusus untuk angkutan batu bara.

Proses pembahasan Amdal hingga saat ini belum tuntas sehingga Detil Engineering Design (DED) rel belum bisa dilakukan.

"Terpaksa menunggu AMdal tuntas sehingga DED bisa dilaksanakan,"katanya.

Sementara itu Kepala Departemen Kampanye Walhi Bengkulu, Firman Syah mengatakan rencana Pemprov Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan membangun rel tersebut dikhawatirkan akan menggangu ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di perbatasan dua provinsi serta memasuki wilayah hutan lindung sepanjang 31,9 km di wilayah Kabupaten Ogan Komring Ulu (OKU).

Bersama Walhi Sumatera Selatan pihaknya sudah melakukan investigasi ke lokasi pembangunan rel KA dan dipastikan akan menimbulkan sejumlah dampak dampak lingkungan yang merugikan masyarakat dan sangat penting untuk dikaji kembali.

"Kita sudah investigasi lapangan dan di beberapa desa di Kecamatan Nanti Ulu Ogan dan di kawasan hutan sudah kita temukan tanda-tanda patok lintasan rel dan menurut masyarakat mereka belum pernah mendapat sosialisasi atas rencana pembangunan tersebut,"katanya.

Dari hasil investigasi dan kajian Walhi Sumsel, proyek bernilai investasi hingga Rp10 triliun itu akan menimbulkan dampak sosial budaya, lingkungan dan ekonomi.

Selama ini masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TNBBS memiliki budaya menjaga kelestarian hutan sebagai sumber mata air dan kehadiran proyek tersebut akan membuat budaya ini hilang.

Dampak lingkungan yang dipastikan terjadi adalah menyusutnya debit air sungai Ogan, sungai Laham dan sunga Lengkayap serta beberapa anak sungainya.

"Kondisi ini akan menimbulkan bencana kekeringan dimusim kemarau dan bencana banjir dikala musim hujan yang mana daerah yang akan merasakan dampaknya tidak hanya yang tinggal di kawasan tersebut akan tetapi juga daerah-daerah hilir seperti kecamatan Pengandonan, Muara Jaya, Semidang Aji, Baturaja bahkan kota Palembang terutama di kawasan seberang ulu," jelasnya.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 17 Januari 2010 16:28 WIB)

LIPI Rencanakan Konservasi Kepulauan Lucipara Untuk Pariwisata

Ambon (ANTARA News) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon merencanakan konservasi bagi kepulauan Lucipara, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), untuk menjadi daerah pariwisata bahari di Maluku.

Seorang peneliti LIPI Ambon, Abdul Wahab Radjab, saat dikonfirmasi ANTARA, di Ambon, Minggu, membenarkan sedang merencanakan program konservasi tersebut.

"Kami sedang merencanakan program konservasi terhadap Kepulauan Lucipara agar bisa dijadikan daerah tujuan wisata bahari, terutama untuk kegiatan menyelam," katanya.

Ia menjelaskan, LIPI menjadwalkan memulai program konservasi itu pada Oktober 2010, tetapi jika cuaca sudah mulai membaik program tersebut bisa dipercepat Maret mendatang.

"Kami akan melakukan penyelaman, makanya harus menunggu laut tenang yang biasanya berkisar Oktober 2010. Tapi kalau cuaca sudah membaik pada Maret mendatang, konservasi segera dilaksanakan," ujarnya.

Radjab mengatakan, mereka tidak hanya akan mengadakan konservasi bagi gugusan kepulauan Lucipara yang terdiri dari 7 pulau tak berpenghuni, tetapi LIPI Ambon juga akan merehabilitasi pulau itu apabila terdapat kerusakan terhadap ekosistemnya.

"Selain mengadakan konservasi, kami juga akan melakukan program rehabilitasi apabila ada kerusakan pada ekosistemnya, karena Lucipara merupakan pulau yang tidak berpenghuni," ujarnya.

Menurutnya, Lucipara yang terletak di tengah-tengah laut Banda atau 200 kilometer selatan pulau Ambon itu memiliki potensi bahari alami yang dapat memancing para wisatawan untuk berkunjung, karena selain dilingkari pasir putih untuk habitat penyu bertelur, juga terdapat panorama bawah laut yang indah dengan warna-warni koral (bunga karang) dan ikan-ikannya.

"Lucipara sangat eksotis karena potensi wisata baharinya masih asri," ucapnya.

Ia menambahkan, LIPI akan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Maluku untuk program pengembangan dan pengelolaan Kepulauan yang bisa ditempuh selama 6 jam dengan kapal berkecepatan 25-30 knot dari desa Latuhalat, kecamatan Nusaniwe, kota Ambon.

"Kami akan bekerjasama dengan Disbudpar Maluku untuk program pengembangan dan pengelolaan kepulauan Lucipara menjadi daerah tujuan primadona penyelaman," katanya.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 17 Januari 2010 21:11 WIB)

2010-01-25

Amdal Rel KA Masih Dibahas Meneg LH

Bengkulu (ANTARA News) - Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) rel Kereta Api (KA) Linau-Tanjung Enim Sumatra Selatan sepanjang 168 km masih dibahas oleh Kementerian Lingkungan Hidup, kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bengkulu Surya Gani, Minggu.

"Karena pembangunannya lintas provinsi yaitu Bengkulu dan Sumatra Selatan maka pembahasan Amdal dilakukan oleh kementerian," katanya.

Rel KA tersebut akan menghubungkan pelabuhan Linau di Kabupaten Kaur dengan Tanjung Enim Sumatera Selatan khusus untuk angkutan batu bara.

Proses pembahasan Amdal hingga saat ini belum tuntas sehingga Detil Engineering Design (DED) rel belum bisa dilakukan.

"Terpaksa menunggu AMdal tuntas sehingga DED bisa dilaksanakan,"katanya.

Sementara itu Kepala Departemen Kampanye Walhi Bengkulu, Firman Syah mengatakan rencana Pemprov Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan membangun rel tersebut dikhawatirkan akan menggangu ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di perbatasan dua provinsi serta memasuki wilayah hutan lindung sepanjang 31,9 km di wilayah Kabupaten Ogan Komring Ulu (OKU).

Bersama Walhi Sumatera Selatan pihaknya sudah melakukan investigasi ke lokasi pembangunan rel KA dan dipastikan akan menimbulkan sejumlah dampak dampak lingkungan yang merugikan masyarakat dan sangat penting untuk dikaji kembali.

"Kita sudah investigasi lapangan dan di beberapa desa di Kecamatan Nanti Ulu Ogan dan di kawasan hutan sudah kita temukan tanda-tanda patok lintasan rel dan menurut masyarakat mereka belum pernah mendapat sosialisasi atas rencana pembangunan tersebut,"katanya.

Dari hasil investigasi dan kajian Walhi Sumsel, proyek bernilai investasi hingga Rp10 triliun itu akan menimbulkan dampak sosial budaya, lingkungan dan ekonomi.

Selama ini masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TNBBS memiliki budaya menjaga kelestarian hutan sebagai sumber mata air dan kehadiran proyek tersebut akan membuat budaya ini hilang.

Dampak lingkungan yang dipastikan terjadi adalah menyusutnya debit air sungai Ogan, sungai Laham dan sunga Lengkayap serta beberapa anak sungainya.

"Kondisi ini akan menimbulkan bencana kekeringan dimusim kemarau dan bencana banjir dikala musim hujan yang mana daerah yang akan merasakan dampaknya tidak hanya yang tinggal di kawasan tersebut akan tetapi juga daerah-daerah hilir seperti kecamatan Pengandonan, Muara Jaya, Semidang Aji, Baturaja bahkan kota Palembang terutama di kawasan seberang ulu," jelasnya.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 17 Januari 2010 16:28 WIB)

Burung Langka Ditemukan di Afghanistan

New York (ANTARA News) - Sejumlah peneliti telah menemukan balai konservasi pertama di Afghanistan yang menjadi tempat pemeliharaan burung langka jenis pengicau yang hidup di alang-alang sebagai spesies langka dan baru di dunianya.

Peneliti konservasi dunia hewan dan Universitas Gothenburg Swedia menemukan suaka margasatwa di timur laut Afghanistan yang terbebas dari buruk dampak peperangan, demikian laporan Reuters Life!

Mereka menggunakan balai observatorium, ruang percobaan, rangkaian asam pembentuk peta tubuh (DNA) dan rekaman pertama suara burung itu untuk menemukan dan menguji penemuan tersebut.

Para peneliti menggunakan cara menangkap dan melepaskan 20 burung. Hal itu menembus rekor terbanyak yang pernah direkam. Burung langka itu pertama ditemukan di India pada 1867, dan kedua di Thailand pada 2006.

"Praktiksnya tidak ada yang diketahui tentang spesies ini. Penemuan ini merupakan terobosan baru akan informasi burung langka tersebut," kata Colin Poole dari WCS's Asia Program dalam pernyataannya.

Ia pun mengemukakan, "Ini sebuah pengetahuan yang baru tentang burung juga mengindikasikan bahwa daerah Wakhan tempat di mana burung itu ditemukan masih menyimpan rahasia, dan merupakan masukan yang penting untuk balai konservasi Afghanistan di masa datang."

Penemuan itu ditemukan setelah Robert Timmins dari WCS memimpin survei komunitas burung di area tersebut.

Daerah Wakhan terbebas dari dampak perang yang berkepanjangan di Afghanistan sejak invasi Uni Soviet 1979. Area tersebut dihuni oleh petani Wakhi dan Kyrghyz, yang juga menjadi habitat macan tutul salju dan domba liar jenis Marco Polo.

Timmins mendengar kicauan khas datang dari burung olive coklat dengan paruh yang panjang sehingga dia langsung merekamnya.

Peserta peneliti musim panas WCS kembali ke area yang sama dan menggunakan alat perekam kicauan burung agar membuat yang lain keluar dan menangkap sebanyak 20 burung untuk diteliti.

WCS merupakan organisasi satu-satunya saat ini yang memimpin ilmuwan dalam kajian konservasi di Afghanistan.

Hal tersebut berdampak positif dengan pemberian kontribusi kepada balai konservasi lainnya dan sebagai bentuk kerjasama dengan pemerintah Afghanistan, selain membantu Afghanistan melindungi spesies hewan-hewannya dan larangan untuk memburu macan tutul salju, serigala, beruang coklat dan spesies lainnya.


Sumber : ANTARA News (Senin, 18 Januari 2010 20:30 WIB)

Ratusan Hektar Hutan Lindung Sungai Pulai Terbakar

Tanjungpinang (ANTARA News) - Ratusan hektar lahan hutan lindung Sungai Pulai yang terletak diperbatasan antara Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, terbakar, Minggu.

Kebakaran yang terjadi sekitar pukul 13.30 WIB tersebut berlangsung sangat cepat karena cuaca cuaca panas dan angin bertiup cukup kencang.

Tujuh unit mobil pemadam kebakaran Kota Tanjungpinang dan Provinsi Kepri yang dikerahkan untuk memadamkan api tersebut tidak bisa berbuat banyak dan kesulitan untuk mencapai titik api yang berada di tengah hutan.

"Kami kesulitan untuk memadamkan kobaran api, tiupan angin sangat kencang dan ditambah mobil pemadam tidak bisa mencapai lokasi kebakaran," kata Kepala Kantor Satpol PP Tanjungpinang, Agustiawarman saat memimpin tim pemadam kebakaran menuju lokasi kebakaran.

Petugas pemadam kebakaran hanya bisa memadamkan api yang sudah hampir memasuki kawasan hutan lindung yang sebagian dijadikan masyarakat sebagai pemukiman.

Beberapa petugas pemadam kebakaran tampak berjaga-jaga dengan masyarakat dan ikut memadamkan api yang mulai menjalar kepemukiman tersebut akibat tiupan angin kencang.

Petugas pemadam kebakaran yang dibantu warga tersebut memadamkan api dengan ranting-ranting pohon, agar tidak meluas kepemukiman warga itu.

Menurut Agustiawarman, berdasarkan informasi dari warga, kebakaran berawal dari kawasan pemakaman penduduk yang berada di tengah kawasan hutan lindung tersebut.

"Diperkirakan ada warga yang membakar sampah saat membersihkan makam, akibat tiupan angin kencang sehingga terjadi kebakaran yang sudah meluas mencapai ratusan hektar," ujarnya.

Sebagian pohon yang ditanam pemerintah Provinsi Kepri maupun pemerintah Kota Tanjungpinang dalam program penghijauan "one man one tree" tersebut juga habis terbakar.

Saat ini tim pemadam kebakaran terus menahan kobaran api yang semakin meluas. Puluhan warga pengguna jalan raya diperbatasan Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan tersebut juga sempat berhenti karena terhalang asap tebal.

Air waduk Sungai Pulai, juga ditutupi asap tebal dari kebakaran hebat tersebut. Kobaran api saat ini sudah menjalar di pinggir-pinggir waduk dan hampir mencapai kantor PDAM yang berada didekat waduk itu.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 17 Januari 2010 16:36 WIB)

2010-01-24

Cemari Lingkungan, Pabrik Pupuk Ditutup

Sukabumi (ANTARA News) - Pabrik pupuk organik PT Adi Makayasa (ADM) di Desa Parakanlima, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sementara ditutup karena warga mengeluhkan polusi udara yang ditimbulkan oleh pabrik itu.

"Hasil pertemuan antara warga Desa Kertaraharja dengan perwakilan pemilik pabrik, Mujiman pada Jumat (15/1) lalu menyimpulkan pabrik pupuk ditutup sementara," kata perwakilan warga Desa Kertaraharja, Kecamatan Cikembar, Deden Supraedi, di Sukabumi, Minggu.

Menurut dia, warga tetap meminta agar keberadaan pabrik di sekitar pemukimannya ditutup karena selama ini pabrik pupuk diduga menyebabkan pencemaran lingkungan yang dapat membahayakan warga.

"Kami khawatir bau menyengat dari dalam pabrik akan menimbulkan penyakit," katanya seraya menyebutkan proses perizinan pabrik pupuk tersebut masih bermasalah.

Antara lain, proses perizinan dari tetangga sekitar pabrik (HO) tidak dipenuhi dan kelengkapan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) pun belum jelas keberadaannya.

"Ke depan warga akan mengawasi keberadaan pabrik pupuk. Bila tetap melakukan operasional, maka kami minta Muspika Cikembar memberikan tindakan tegas," ujarnya.

Ia menyebutkan, di Desa Kertaraharja terdapat 150 keluarga yang terkena langsung dampak polusi pabrik, sehingga dirinya berharap aktivitas pabrik pupuk segera dihentikan untuk menghindari penyakit akibat polusi udara.

Sebelumnya dilaporkan, sedikitnya 100 orang warga Desa Kertaraharja berunjuk rasa di pabrik pupuk organik PT Adi Makayasa, menuntut agar pabrik tersebut ditutup karena menyebabkan polusi udara.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 17 Januari 2010 14:04 WIB)

16 Kawasan Konservasi di Sultra Masih Terpelihara

Kendari (ANTARA News) - Sedikitnya 16 kawasan konservasi di Sulawesi Tenggara (Sultra) secara umum masih cukup terpelihara dengan baik, kecuali Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN-RAW).

TN-RAW berada di wilayah segi tiga perbatasan di tiga kabupaten yakni Kabupaten Konsel, Bombana, dan Kabupaten Kolaka. Di TN-RAW sudah sulit untuk mengembalikan satwa yang pernah berkembangbiak.

Satwa langka dan dilindungi di TN-RAW itu adalah Rusa dan Anoa, sudah jarang ditemukan lagi di kawasan itu akibat penyerobotan kawasan yang terjadi sejak tahun 2000-an, kata anggota DPRD Sultra, Abdul Hasan Mbou di Kendari, Sabtu.

Menurut politisi dari Partai Patriot (Sutra), untuk menghindari agar tidak lagi terjadi penyerobotan kawasan konservasi, harus ada kerja sama oleh tim terpadu untuk memberantas oknum yang melakukan penyerobotan kawasan tersebut.

Di kawasan konservasi itu, terdapat ada beberapa jenis flora dan fauna yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia maupun di negara lain, sehingga kelestariannya harus dijaga agar bisa disaksikan oleh generasi di masa datang, katanya.

"Jadi keterpaduan semua pihak dalam penyelamatan kawasan konservasi sangat perlu baik pemerintah daerah, tokoh masyarakat, kalangan LSM dan masyarakat setempat," katanya.

Hasan Mbou yang juga Ketua DPW Pemuda Pancasila Sultra mengatakan, penyelamatan konservasi tidak bisa hanya dibebankan kepada satu instansi teknis tetapi harus beberapa instansi teknis seperti Dinas Kehutanan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan masyarakat yang ada disekitar kawasan itu.

"Saya kira kalau hanya melibatkan satu instansi tidak mungkin permasalahan kawasan bisa langsung teratasi, karena di dalamnya sangat berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat," katanya.

Ia mengajak semua pihak terkait di Sultra, agar tidak setengah hati dalam usaha mengamankan kawasan konservasi yang ada dari berbagai aktifitas yang dapat merusak kelestariannya.

Salah satu dukungan yang sangat diharapkan adalah dalam upaya memberi pemahaman pada berbagai kalangan mengenai fungsi dan manfaat kawasan konservasi.

Karena itu, kata Hasan Mbou, dengan adanya pemahaman oleh semua pihak, mereka tidak akan mungkin mau merusak kawasan konservasi tersebut.


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 16 Januari 2010 23:28 WIB)

Bengkulu Dapat Kayu Trembesi Satu Juta Pohon

Bengkulu (ANTARA News) - Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial (RLKS) Departemen Kehutanan (Dephut) Indriastuti mengatakan, Provinsi Bengkulu pada 2010 akan mendapatkan bantuan bibit tanaman penghijauan jenis kayu trembesi sebanyak satu juta pohon.

Bibit kayu sebanyak itu akan didrop kepada sepuluh kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu atau masing-masing 100 ribu pohon untuk pengembangan program pemerintah pusat pada 2010, katanya di Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Sabtu.

Program penanaman bibit kayu itu dicanangkan secara nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini sebanyak satu miliar pohon yang akan disalurkan ke seluruh provinsi di Tanah Air.

Namun, pemerintah hanya menyerahkan bibit kayu dalam bentuk biji dan daerah penerima menyemai dan menanam baik di sekitar kawasan hutan maupun di lahan masyarakat.

Ia mengatakan, kalau selama tahun 2009 pemerintah memprogramkan "One man one tree" (Omot) atau satu orang menanam satu pohon, tetapi pada 2010 programnya satu miliar pohon, terutama jenis kayu trembesi.

Kayu trembesi itu sangat cocok ditanam pada daerah aliran sungai (DAS), karena pohonya sangat kuat dan kayunya berkualitas ekspor, sedangkan pengadaan bibitnya langsung dari pemerintah pusat.

Untuk penanaman program Omot tahun 2009 dari target sebanyak 230 juta batang terealisasi mencapai 258 juta pohon termasuk di Bengkulu juga melebih target.

Pengembangan kayu jenis trembesi ini perlu didukung semua pihak untuk memperkaya tanaman penghijauan yang berdampak besar untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat secara luas, katanya.

Sementara itu, Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ketahun Bengkulu Dodi Siswanto mengatakan, program penanaman pohon di daerah ini selama tahun 2009 melebih target dari 1,7 juta batang terealisasi 1,8 juta batang.

Bibit kayu sebanyak itu selain diadakan dari pemerintah melalui Departemen Kehutanan, juga didukung mitra semua dinas instansi, pihak swasta, BUMN, organisasi dan kelompok masyarakat secara swadaya.

"Kami optimistis program penanaman satu juta pohon teembsi di Provinsi Bengkulu akan tercapai, karena masyarakat daerah ini sangat mendukung program tersebut," katanya.


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 16 Januari 2010 18:32 WIB)

2010-01-23

Perambahan Hutan di Kawasan TNBBS Masih Berlangsung

Liwa, Lampung Barat (ANTARA News)- Perambahan hutan di kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) masih terus berlangsung.

"Banyak perambah membuka lahan di kawasan yang dilindungi itu untuk menanam pohon kopi dan tanaman lainnya," kata Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat, Khairul Anwar, di Liwa, Sabtu.

Lampung Barat merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS.

Saat ini, kata Khairul, pembukaan lahan baru disinyalir makin meluas. Di beberapa daerah di Lampung Barat terdapat hutan gundul akibat penebangan liar.

"Para perambah hutan itu membuka lahan baru untuk tanamaan perkebunan seperti kopi," kata dia.

Menurut dia, perkembangan kopi organik mendorong petani untuk membuka lahan baru guna mendapatkan mutu kopi tanpa terkontaminasi oleh pupuk kimia.

Kopi organik itu cukup diminati oleh pedagang terutama eksportir karena harga jual yang cukup tinggi.

Rusaknya hutan di TNBBS, katanya, membuat Pemerintah Kabupaten Lampung Barat melarang petani membuka lahan baru di area hutan kawasaan guna menekan perambahan hutan.

"Pemerintah daerah melarang petani untuk membuka lahan baru, apalagi lahan tersebut berada didalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selasan (TNBBS), hal ini di lakukan guna menenkan angka perabahan hutan yang lebih luas," kata Khairul lagi.

Sebelumnya, Bupati Lampung Barat, Muklis Basri, menghimbau petani untuk tidak membuka lahan yang memasuki hutan kawasan TNBBS.

"Saya melarang petani membuka lahan yang memasuki hutan yang dilindungi itu, selain itu pembukaan lahan diindikasi akar dari perambahaan liar yang berdampak pada kerusakan hutan," kata dia.

Luas hutan di Lampung Barat mencapai 28 ribu hektare (ha), sedang luas hutan kawasan sekitar 300 ribu ha, yang menjadikan daearah itu sebagai kawasan konservasi.


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 16 Januari 2010 18:24 WIB)

Dephut Lakukan Pembibitan Sejuta Trembesi Tiap Provinsi

Rejang Lebong, Bengkulu (ANTARA News) - Departemen Kehutanan (Dephut) pada 2010 akan melakukan pembibitan tanaman penghijauan kayu trembesi (jenis kayu tanaman keras) di tiap provinsi sebanyak satu juta batang.

"Paling tidak, tiap kabupaten dan kota akan melakukan pembibitan atau penanaman kayu trembesi sebanyak 100.000 batang," kata Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial (RLKS) Departemen Kehutanan Indriastuti di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, Jumat.

Dalam acara penyerahan ijin usaha pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) seluas 384 hektare (Ha) untuk tujuh kelompok tani Desa Airlanang, Kecamatan Curup Selatan, Kabupaten Rejang Lebong itu, ia menjelaskan, pembibitan jenis kayu tersebut merupakan target program penanaman penghijauan minimal satu miliar batang per tahun.

Jika pada 2009 Dephut menargetkan tanaman penghijauan yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 230 juta batang dan terealisasi melebihi target mencapai 250 juta batang, maka jumlah penanaman pada 2010 sebanyak satu miliar batang.

Penanaman penghijauan jenis kayu trembesi satu miliar batang itu sebagai bagian dari komitemen Indonesia melestarikan lingkungan hutan dan mengurangi emisi karbon dampak perubahan iklim/pemanasan global.

Selain itu, penanaman ini juga untuk mengurangi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan tata kelola air dengan baik.

Program tersebut dilaksanakan agar tidak lagi hutan yang gundul, lahan kritis, lahan kosong, dan lahan marginal.

Dephut menyarankan penanaman kayu trembesi itu di sisi atau di bantaran sungai, hulu dan hilir sungai sebagai kawasan tangkapan air.

Sementara itu, Bupati Rejang Lebong Suherman mengatakan, kebijakan pemerintah memberikan hak kelola hutan kemasyarakatan bagi koleompok tani Desa Air Lanang, karena sekitar desa merupakan kawasan hutan lindung Bukit Barisan yang memerlukan pengelolaan agar kelestariannya dapat mempertahankan.

"Jika kelompok tani itu tidak serius mengelolanya atau bahkan melakukan penebangan, maka akan celaka ribuan atau bahkan jutaan orang akibat bencana yang ditimbulkan seperti longsor dan banjir," katanya.

Ia mengakui, tingkat kerusakan hutan di kabupaten Rejang lebong masih rendah. Meski demikian, warga sekitar hutan diharapkan tidak lagi melakukan perambahan dan penebangan.

"Dulu hutan Rejang Lebong memiliki tanaman kayu cukup besar-besar, namun sekarang telah banyak yang berubah menjadi tanaman kopi," katanya.


Sumber : ANTARA News (Jumat, 15 Januari 2010 22:25 WIB)

BPK Akan Audit Kerusakan Lingkungan

Medan (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan audit atas kerugian yang disebabkan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di suatu daerah.

"Auditnya hampir sama dengan audit keuangan," kata Anggota BPK Ali Masykur Musa dalam dialog publik "Arah Kebijakan Pemeriksaan Berperspektif Lingkungan" di Medan, Kamis.

Namun, kata Ali Masykur, perhitungan audit lingkungan hidup bukan dari nilai material yang hilang seperti harga sebuah balok kayu dalam kerusakan hutan.

Audit yang dilakukan dari aspek kerugian sosial ekonomi yang diakibatkan sebuah bencana alam yang disebabkan adanya kerusakan lingkungan.

Pihaknya pernah melakukan audit itu di Sumut pada tahun 2006 terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dana reboisasi.

Demikian juga dengan pencemaran udara di Sumut sebagai bagian dari pemeriksaan kawasan hutan, katanya tanpa menyebutkan hasil audit tersebut.

Ia mengatakan, BPK akan menerapkan pola Global Informal Sistem (GIS) yang dapat mengetahui adanya praktik pengrusakan lingkungan, termasuk kemungkinan penyerobotan hutan.

Namun BPK belum dapat melakukan audit secara menyeluruh untuk mengetahui adanya praktik pengrusakan lingkungan hidup di setiap wilayah Indonesia.

Hal itu disebabkan BPK belakangan ini sedang melakukan pemantauan secara serius di Kalimantan Selatan dan Riau.

"Di dua daerah itu banyak terjadi permasalahan hutan," kata mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).


Sumber : ANTARA News (Kamis, 14 Januari 2010 21:30 WIB)

2010-01-22

Bekasi Buat 100 Ribu Lubang Biopori

Bekasi (ANTARA News) - Pemkot Bekasi serta warga masyarakat setempat pada 2010 akan membuat 100 ribu buah lubang resapan biopori (LRB) dalam mengurangi genangan air saat hujan deras.

"Kita akan kampanyekan kembali pembuatan lubang biopori dan diikuti dengan pembagian sebanyak 200 buah peralatan pembuatan lubang tersebut," kata kepala Badan Pengedalian Lingkungan Hidup Kota Bekasi, Dudi Setyabudhi, di Bekasi, Kamis.

Dudy menyatakan, dirumahnya telah membuat sebanyak 40 buah lubang resapan biopori sementara dirumah dinas Wali Kota lubang yang dibuat lebih banyak lagi.

Idealnya menurut Dudy setiap lima rumah ada alat pembuatan lubang resapan tersebut sementara yang sudah dibagi-bagikan oleh Pemkot sebanyak 300 buah, masing-masing di setiap kelurahan, kecamatan dan dibagi langsung kekelompok masyarakat.

"Alat tersebut nantinya bisa digunakan bergantian oleh ibu-ibu tersebut dengan menggungakan bergantian kepada tetangga. LRB bisa dibuat di beberapa titik di pekarangan," ujarnya.

Ia mengatakan, animo warga untuk membuat lubang tersebut kini mulai mengendur padahal saat pencanangan beberapa waktu lalu masyarakat mengikuti dengan membuat sendiri dirumahnya.

Pihaknya belum mendata sudah berapa banyak LRB yang dibuat oleh masyarakat. Indikator makin jarangnya LRB diketahui dari keterangan warga saat diadakan kegiatan-kegiatan lingkungan.

LRB selain sebagai resapan juga bisa dimanfaatkan untuk pupuk kompos. lubang yang diisi daun-daun dan sampah organik itu lama-lama mengalami pembusukan serta jadi tempat hidup biota seperti cacing dan selanjutnya bisa diambil lagi untuk dijadikan penyubur tanaman.

Kepala bidang Tata Air, Dinas Bina Marga dan Tata Air, Ir. Yurizal, menyatakan, peran serta masyarakat dalam membuat lubang biopori sangat membantu menghindari permukiman mereka dari banjir.

Ia menyatakan, lubang resapan yang dibuat mampu mempercepat resapan air sementara proses pembuatannya cukup mudah dan praktis.

Bila mengandalkan penanganan banjir pada pemerintah perlu waktu lama disebabkan dana yang dialokasikan untuk kegiatan tata air tidak besar.

"Kita beri apresiasi warga yang mau membuat lubang biopori dan peduli dengan lingkungan dalam bentuk melakukan penghijauan," ujarnya.


Sumber : ANTARA News (Kamis, 14 Januari 2010 18:55 WIB)

AS-RI Bahas Perjanjian "Debt-for-Nature"

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan dimulainya pembahasan mengenai isi kesepakatan perjanjian kedua pengalihan utang untuk pelestarian alam (debt-for-nature) di bawah UU Perlindungan Hutan Tropis (TFCA) AS untuk pelestarian hutan tropis.

TFCA memungkinkan dikuranginya dan dialihkannnya sejumlah utang untuk mendukung pelestarian hutan tropis di negara berkembang yang layak, demikian siaran pers Kedubes AS di Jakarta, Jumat.

Departemen Keuangan AS untuk sementara telah menyisihkan lebih dari 19 juta dolar untuk mengelola jumlah utang yang layak dialihkan.

Pembahasan awal mengenai kesepakatan ini telah dimulai minggu ini di Jakarta antara perwakilan Pemerintah AS dan Indonesia.

"Ini adalah sebuah simbol penting kemitraan kami dengan Indonesia mengenai isu-isu perubahan iklim dan lingkungan hidup," kata Duta Besar AS Cameron R. Hume. "Ini merupakan cara yang praktis bagi kita untuk bekerja sama melindungi hutan-hutan yang kritis dan mengurangi dampak perubahan iklim."

Perjanjian TFCA pertama, yang ditandatangani pada 30 Juni 2009, akan mengurangi jumlah pembayaran utang Indonesia ke AS sekitar 30 juta dollar selama masa delapan tahun.

Sebagai gantinya, Pemerintah Indonesia akan menggunakan dana tersebut untuk mendukung perlindungan dan restorasi hutan-hutan di Sumatra.

Perjanjian ini merupakan debt-for-nature swap terbesar dalam sejarah TCFA dan terwujud berkat kontribusi sebesar 20 juta dolar dari Pemerintah AS dan gabungan donasi sebesar 2 juta dolar dari Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI).

Hingga saat ini, ada 13 negara yang telah ikut dalam kesepakatan debt-for-nature di bawah TFCA. Dengan berjalannya waktu, program-progam debt-for-nature akan menghasilkan lebih dari 218 juta dolar untuk melindungi hutan-hutan tropis.


Sumber : ANTARA News (Jumat, 15 Januari 2010 16:58 WIB)

DPRD Dan SKPD Berdebat Soal Penanggungjawab Mangrove

Palu (ANTARA News) - DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dan sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masih berdebat panjang soal siapa yang paling berkompeten terhadap pengelolaan hutan bakau (mangrove) di daerah itu.

Perdebatan itu muncul dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang hutan bakau yang berlangsung di DPRD Sulteng, Kamis.

Hingga rapat ditutup pukul 16.30 Wita belum ada kesepakatan SKPD mana sebetulnya paling bertanggungjawab dalam pengelolaan mangrove tersebut. Karena belum ada kesepakatan itu, Raperda akhirnya belum bisa dibahas sebelum ada kata sepakat semua pihak.

Pimpinan rapat, Andi Parenrengi, menunda waktu pembahasan tersebut hingga waktu yang belum ditentukan.

Menurut Nawawi S Kilat, Ketua Komisi III (Pembangunan), pengelolaan hutan bakau sebaiknya diserahkan ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sulteng, karena hutan bakau tidak saja dipandang sebagai hutan tapi lebih pada fungsi lingkungannya.

"Sekarang hutan bakau (mangrove) tidak lagi dipandang sebagai hutan, makanya mangrove ini bagusnya dikelola oleh BLH," kata Nawawi.

Usulan tersebut disampaikan anggota DPRD dari Partai Demokrat itu karena merujuk beberapa daerah yang ada di Indonesia, pengelolaan mangrove melekat di Lingkungan Hidup.

Kepala BLH Sulteng, Abd Rahim justri berpendapat lain. Menurut dia, sebaiknya ada lembaga khusus yang menangani mangrove tersebut karena semua pihak bertanggungjawab terhadap pengembangan dan pemeliharaannya.

"Kalau BLH dan Bappeda kan bukan lembaga teknis. Kami lembaga koordinasi. Kalau pengelolaan teknis ya sebaiknya mangrove diserahkan ke dinas teknis atau ada lembaga khusus yang dibentuk untuk mengelola," kata Abd Rahim.

Bagi dia, siapapun yang nantinya diputuskan paling berkompeten mengelola mangrove tidak jadi soal. Yang penting mangrove terus dikembangkan karena fungsinya untuk lingkungan hidup.

Dalam beberapa tahun lalu, lembaga penanggungjawab mangrove tidak jelas. Masing-masing dinas memprogramkan sendiri penanaman mangrove. Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, dan Bappeda, sama-sama mengurus mangrove. Namun dua tahun terakhir, mangrove diserahkan ke Bappeda Sulteng.

Menurut Nawawi, diserahkannya pengelolaan mangrove di Bappeda tersebut bukan berarti mengurus teknis, tetapi Bappeda diharapkan mengurus kelembagaannya, sehingga kedepan sudah jelas siapa yang paling berkompeten dalam urusan hutan bakau tersebut.

Nawawi mengatakan, tahun ini pemerintah kembali menganggarkan mangrove sebesar Rp500 juta.


Hilangkan Ego Sektoral

Wakil Ketua DPRD Sulteng Henrik Kawulur mengatakan, pengelolaan mangrove harus dikerjakan bersama karena masalah hutan bakau bersifat multisistem dan multisektor.

"Kita harus kerja bareng dan menghilangkan ego sektoral. Ini tanggungjawab kita bersama. Tinggal sekarang kita atur siapa kira-kira yang menangani," katanya.

Sekretaris DPD Partai Demokrat Sulteng itu mengatakan, dari 33 provinsi di Indonesia, 29 diantaranya sudah memiliki Perda Mangrove.

Penanganan mangrove menurut dia sangat mendesak karena terkait dengan perubahan iklim yang sangat ekstrim ditandai dengan naiknya permukaan laut.

Indonesia, kata Hendrik, tergolong tiga negara di dunia yang menjadi penopang perubahan iklim tersebut.

"Ini peringatan dini bagi kita, kalau tidak cepat kita tangani, perluasan akibat pengikisan abrasi makin cepat. Ini sudah peringatan dini agar Perda Mangrove (hutan bakau) segera diselesaikan," katanya.

Hendrik menilai, semangat untuk menanam mangrove sudah ada. Hanya saja belum memperhatikan teknis. Dia mencontohkan, semangat pemerintah menanam mangrove di mulut sungai Palu tidak didukung teknis sehingga keputusannya tidak cerdas.

Penanaman hutan bakau di mulut sungai tersebut rawan sedimentasi sehingga bisa berdampak mendangkalnya sungai.

Kondisi hutan bakau di Sulteng saat ini sudah dalam kondisi kritis karena setiap tahunnya mengalami penurunan jumlah areal.

Tahun 1989 jumlah areal mangrove masih mencapai 49 ribu hektare. Namun sekarang menurun menjadi 29 ribu. Dari jumlah tersebut, tinggal 31,53 persen atau sekitar 9.000 hektare lebih dalam kondisi baik.


Sementara status hutan bakau yang rusak berat mencapai 46 persen atau sekitar 13 ribu hektar, dan kategori rusak 22 persen atau sekitar 6.000 hektare.

Sumber : ANTARA News (Jumat, 15 Januari 2010 04:35 WIB)

2010-01-21

Walhi: Banjir Disebabkan Konversi Hutan Yang Berlebihan

Jambi (ANTARA News) - Bencana banjir yang terjadi di beberapa daerah khususnya di Provinsi Jambi lebih banyak disebabkan oleh konversi hutan yang berlebihan, kata koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) cabang Jambi Arif Munandar.

Ditemui di Jambi, Jumat, Arif mengatakan, bencana banjir di Provinsi Jambi selain intensitasnya bertambah setiap tahun, luasan daerah banjir juga semakin meluas.

Sebelum tahun 2000-an bencana banjir sangat jarang terjadi dan hanya terjadi di beberapa daerah rendah atau wilayah yang berada di sepanjang aliran sungai.

"Namun saat ini daerah bencana banjir semakin meluas dan menjadi bencana tahunan," ujarnya.

Menurut dia, konversi hutan menjadi daerah perkebunan ataupun hutan produksi menyebabkan hutan sebagai daerah resapan utama menjadi hilang.

Hal tersebut didukung oleh iklim dunia yang tidak menentu menyebabkan bencana banjir diperkirakan akan terus terjadi dan bahkan akan semakin meluas.

Arif menyebutkan, salah satu faktor teknis adalah pemberian izin oleh pemerintah kepada perusahaan pengusahaan hutan yang tidak diiringi oleh seleksi ketat untuk menjaga kelestarian hutan.

"Kebijakan pemerintah saat ini belum sesuai dengan pola tata ruang yang ada. Meski secara tertulis penyusunan tata ruang sudah bagus, pada prakteknya hal itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada," ujarnya.

Berdasarkan analisis Walhi, pada era 1990-an hutan di Provinsi Jambi mencapai luas 2,2 juta hektare. Setiap tahun jumlah tersebut mengalami penyusutan seluas 99.000 hektare, baik rusak oleh konversi, pembalakan liar maupun kerusakan hutan akibat alam.

Diperkirakan saat ini hutan di Provinsi Jambi hanya tersisa 500.000 hektare, itupun sudah mengalami kerusakan yang masuk kategori parah.

"Yang paling memprihatinkan kerusakan justru banyak terjadi di daerah hulu, sehingga kerusakan tersebut sangat besar akibatnya terhadap bencana banjir," katanya.

Untuk itu, ia mengharapkan akan upaya nyata dari pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan khusus dalam penanggulangan kerusakan hutan, sehingga akibat rusaknya hutan tidak berdampak pada bencana banjir maupun bencana alam lainnya seperti kebakaran hutan.

"Salah satu langkah penting yakni mengeluarkan aturan tata ruang yang jelas. Pemerintah harus transparan, sebab mulai tahun 2010 ini tata ruang daerah sudah mulai disusun. Tidak hanya itu, jika aturan telah ada hal itu juga harus benar-benar diterapkan," tambah Arif.


Sumber : ANTARA News (Jumat, 15 Januari 2010 18:41 WIB)

Gunung Rinjani Ditutup Untuk Pendakian

Mataram, (ANTARA News) - Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNG) akan menutup jalur pendakian menuju Gunung Rinjani, di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), mulai 15 Januari hingga 31 Maret 2010, karena cuaca buruk dan dinilai berbahaya bagi keselamatan pengunjung.

Kepala Sub Bagian Tata Usaha, BTNGR, Ketut Linggih, di Mataram, Rabu, mengatakan, rencana penutupan jalur pendakian tersebut dilakukan setelah mendapatkan laporan tentang kondisi cuaca yang tidak kondusif di kawasan Gunung Rinjani.

Berdasarkan laporan Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (TN) Wilayah I di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara dan Wilayah II di Kecamatan Selong, Lombok Timur, cuaca di kawasan Gunung Rinjani sudah tidak kondusif yang ditandai dengan hujan lebat disertai angin kencang.

"Dari laporan yang kami terima, cuaca di kawasan Gunung Rinjani sudah tidak kondusif dan berbahaya untuk aktivitas pendakian," ujar Linggih.

Ia menyebutkan, jumlah jalur pendakian yang ditutup sebanyak empat jalur yakni jalur pendakian Torean di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, jalur Senaru di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, jalur pendakian Timbanuh, di Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur dan jalur pendakian Sembalun, di Kecamatan Sembalun, Lombok Timur.

Dengan ditutupnya seluruh jalur pendakian resmi tersebut otomatis semua pengunjung lokal, nusantara dan mancanegara dilarang melakukan pendakian ke wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).


Sumber : ANTARA News (Rabu, 13 Januari 2010 13:32 WIB)

Sertifikasi Ramah Lingkungan Penting Untuk Hutan Indonesia

Jakarta (ANTARA News) - Pakar hutan dari Tropical Forest Foundation, Art Klassen, mengatakan, Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari berdasar Prinsip dan Kriteria FSC (Forest Stewardship Council) penting untuk keberlanjutan hutan Indonesia.

"Karena itu, Indonesia harus melakukan sertifikasi itu," kata Direktur Regional Asia Pasifik Tropical Forest Foundation, Art Klassen, di sela-sela acara penandatanganan enam perusahaan HPH untuk mendapatkan sertifikasi FSC di Jakarta, Selasa.

Sertifikasi perlu dilakukan agar pengusahaan hutan di Indonesia tetap berlanjut dan merupakan tuntutan dari pasar kayu di Eropa dan Amerika.

"Sertifikasi itu sangat berguna membantu perusahaan untuk mencapai standar dan legalitas produk hutan dengan implementasi mengembangkan manajemen kehutanan," kata Art.

Akan tetapi sulit untuk mendapatkan sertifikasi FSC bagi hutan di Indonesia, karena permasalahan yang kompleks dibandingkan hutan `temperate` (hutan empat musim).

"Sangat sulit untuk menerapkan standar FSC di Indonesia, ada 9 prinsip dari FSC. Ketika mencoba untuk menerapkan 9 prinsip FSC itu di Indonesia, ada perbedaan yang sangat besar antara hutan di subtropis dengan hutan tropis," katanya.

Art menjelaskan hutan `temperate` seperti di Finlandia, Swedia dan Kanada, sangat mudah dibandingkan dengan di Indonesia karena hutan di sana awalnya hanya semak-semak.

"Kalau hutan di Indonesia mempunyai permasalahan yang kompleks, misalnya soal masyarakat yang berdiam di sekitar hutan sehingga ada hak masyarakat adat, isu sosial, isu ilegal loging," katanya.

Sedangkan Dewan Eksekutif The Borneo Initiative (TBI) Jesse Kuijper mengatakan sampai saat ini ada 8 atau 9 perusahaan dengan luas lahan sekitar sejuta hektare yang telah mempunyai sertifikas FSC.

Jesse mengatakan penting untuk menerapkan sertifikasi FSC bagi Indonesia.

"Ada pengaruh dari luar yang kuat yaitu menguatnya perhatian dari negara-negara Eropa dan Amerika untuk mengamankan sumber-sumber hutan dan pengelolaan yang sustanaible dengan standar internasional dalam kesempatan tersebut mengatakan mereka akan membantu enam perusahaan tersebut untuk mendapatkan sertifikasi FSC," katanya.

Jesse mengatakan saat ini apresiasi dan keinginan dari perusahaan timber di Kalimantan makin besar untuk mendapatkan sertikasi FSC.

Pada kesempatan tersebut TBI menandatangani kerjasama dengan enam perusahaan timber di mana TBI akan membantu mereka mendapatkan sertifikasi FSC.

Enam perusahaan tersebut yaitu PT Roda Mas, PT Sarang Sapta Putera, PT Belayan River Timber, PT Indexim Utama Corporation, PT Suka Jaya Makmur dan PT Sarmiento Parakanca Timber.

The Borneo Initiative mengembangkan upaya sertifikasi hutan secara cepat dan berskala besar di Indonesia.

Upaya itu dikatakan `cepat? karena 50 km persegi hutan di Indonesia rusak setiap hari. Itu berarti dalam setiap menit, kerusakan hutan kita setara dengan 8 kali luas lapangan sepakbola.

Menurut data FAO, Indonesia, Meksiko, Papua Nugini, dan Brazil merupakan negara yang memiliki tingkat deforestasi tertinggi.

Tujuan TBI adalah menuju sertifikasi FSC secara cepat dan berskala besar bagi hutan Indonesia, sertifikasi ini dimulai dari hutan Borneo.

Sejuta juta hektare hutan bersertifikasi FSC di Indonesia (600,000 hektar diantaranya ada di Borneo) akan dikembangkan menjadi 3,3 juta hektar di 2013 dan 5 juta di 2015.


Sumber : ANTARA News (Selasa, 12 Januari 2010 20:40 WIB)

2010-01-20

Tiga Gunung di Pandeglang Jadi Sasaran Penghijauan

Pandeglang (ANTARA News) - Tiga gunung yang ada di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, yakni Gunung Aseupan, Karang dan Pulosari atau biasa disebut Akarsari menjadi sasaran penghijauan guna kelestarian hutan di kawasan itu.

"Untuk mengembalikan dan melestarikan lingkungan kita terus melakukan penghijuan di antaranya dilaksanakan di tiga gunung tersebut," kata Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pandeglang Tata Nanzar di sela-sela kegiatan reboisasi gabungan di kawasan Gunung Pulosari, Minggu.

Menurut dia, kawasan Akarsari (Aseupan, Karang dan Pulosari) keberadaannya sangat vital tidak hanya bagi Kabupaten Pandeglang tapi juga untuk Provinsi Baten karena menjadi sumber resapan air utama untuk mencukupi kebutuhan air bagi masyarakat setempat.

Kawasan Akarsari memiliki luas 7.600 haktare (ha) dan kondisinya kini cukup bagus karena hanya sedikit yang mengalami kerusakan.

Ia menjelaskan, kawasan Akarsari dibagi menjadi dua bagian yakni kawasan hutan lindung dan hutan rakyat dengan tanggung jawab pengelolaan oleh PT Perhutani.

"Memang di sekitar kawasan Akarsari ada hutan rakyat, namun demikian kegiatan penebangan pohon tidak bisa dilakukan begitu saja, harus tetap hati-hati agar daerah resapan air tidak rusak," ujarnya.

Mengenai realisasi penanaman pohon selama 2009, menurut dia, berhasil melampaui target yang ditetapkan.

"Selama 2009 kita manargetkan penanaman pohon sebanyak 2,5 juta batang melalui program `one man one tree`, dan hingga saat ini jumlah pohon yang telah ditanam mencapai 2,937 juta batang," katanya.

Dari total pohon yang telah ditanam itu, kata dia, sebanyak 200 ribu batang di antaranya bantuan dari Balai Pusat Daerah Aliran Sungan (BP DAS), 190 ribu dari Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Pandeglang, 600 ribu batang stackholder, dan sisanya swadaya masyarakat.

Jenis tanaman bantuan dari BP DAS di antaranya albazia sebanyak 20 ribu batang, mahoni 37 ribu batang, gemelia 35 ribu batang dan massopulai 28 ribu batang serta pulai 25 ribu batang.

Sedangkan dari Distanbun seperti kakao, cengkih dan jenis tanaman perkebunan lainnya, dari stackholder dan swadaya masyarakat sebagian besar albazia.

Tata juga menjelaskan, kegiatan penanaman dengan melibatkan berbagai elemen termasuk masyarakat akan terus dilakukan sehingga lahan kritis di daerah itu bisa berkurang. Saat ini luas lahan kritis yang ada di daerah itu mencapai 52 ribu ha dan 42 ribu ha di antaranya merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Untuk menghijaukan kembali lahan itu dibutuhkan waktu cukup lama dengan kebutuhan bibit mencapai jutaan batang.

Pemerintah, kata dia, sejak beberapa tahun lalu terus berupaya untuk menghijaukan kembali lahan kritis itu melalui berbagai program seperti Gerhan dan aksi penanaman serentak.

"Kita juga patut bersyukur karena masyarakat Pandeglang termasuk senang menanam pohon jadi ketika dihimbau untuk menanam pohon mereka pun sangat antusias," katanya.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 10 Januari 2010 23:41 WIB)

Dua Jenis Macan Tutul Terlihat di Selabintana

Sukabumi (ANTARA News) - Hewan langka, Macan tutul (Phantera Pardus), sampai sekarang masih sering memperlihatkan diri di kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Selabintana, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang terekam oleh kamera trap (kamera intai).

"Dari rekaman dua kamera trap yang terpasang di kawasan Selabintana sejak Oktober 2009 lalu, terdapat dua jenis macan tutul yang berkeliaran, yakni macan tutul loreng dan berwarna hitam," kata Kepala RPTN Selabintana, Syarif Hidayat, di Sukabumi, Minggu.

Kawasan RPTN yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) itu, lanjut dia, menunjukan kondisi ekosistem kawasan Selabintana masih baik karena macan tutul hanya dapat beradaptasi dengan ketersediaan pakan yang mencukupi.

Namun, pihaknya belum mengetahui secara pasti jumlah populasi macan tutul tersebut lantaran wilayah jelajah macan tutul sangat luas bila dibandingkan dengan hewan lainnya.

"Ke depan, kami akan mengembangkan penelitian terhadap temuan tersebut karena selama ini keberadaan pemasangan kamera trap hanya sebagai alat monitoring keberadaan hewan di kawasan TNGGP," tutur Syarif.

Selain itu, ada sejumlah hewan langka lainnya yang tertangkap kamera trap, antara lain, babi hutan, landak, lutung, kijang, ayam hutan, trenggiling dan lainnya.

"Untuk sementara ini, kamera trap telah dicabut untuk evaluasi keberadaan hewan yang berada di kawasan TNGGP. Namun, nantinya akan dipasang kembali," katanya seraya menambahkan hasil rekaman foto kamera trap tersebut kini dipajang di Pusat Informasi RPTN Selabintana.

Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional TNGGP Wilayah II Selabintana, Widada, menyebutkan, pemasangan kamera trap dilakukannya itu untuk memantau hewan langka di kawasan TNGGP termasuk macan tutul.

"Di kawasan TNGGP terdapat sebanyak sepuluh kamera trap yang dipasang di sejumlah titik, antara lain terdapat di lima resort yaitu Goalpara, Selabintana, Situgunung, Cimungkat, dan Nagrak," katanya seraya menyebutkan pemasangan kamera trap merupakan kerjasama TNGP dengan Conservation International (CI) Indonesia.

Berdasarkan data tahun 1990, jumlah populasi macan tutul di TNGGP mencapai 40 ekor, tetapi hingga kini pihaknya belum bisa memastikan jumlah populasi hewan langka itu.

Pemasangan kamera trap, dilakukan di sejumlah lokasi yang sering menjadi lintasan macan tutul karena setiap satu ekor macan tutul biasanya berada di luasan areal sekitar 1.000 hektar.

Widada menambahkan, pemasangan kamera tersebut juga bisa mengawasi pergerakan hewan langka lainnya di hutan, sehingga bisa memperkaya data keanekaragaman satwa yang ada di TNGGP Sukabumi.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 10 Januari 2010 17:38 WIB)

Puluhan Kera Berkeliaran di Sumenep

Sumenep (ANTARA News) - Puluhan kera sejak Jumat (8/1) hingga Minggu masih berkeliaran di rumah warga Desa Pinggirpapas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Puluhan kera yang diduga berasal dari hutan bakau di Desa Nambakor, Kecamatan Saronggi, itu, berkeliaran di Dusun Dalem, Desa Pinggirpapas, bahkan juga ke Dusun Kauman dan Dusun Ageng, kata Kepala Desa Pingirpapas, Abdul Hayat.

Kedatangan puluhan kera, kata dia, membuat warga, terutama kaum ibu di tiga dusun tersebut resah.

"Kera-kera itu tidak menyerang warga, namun kera itu sudah membuat warga kami takut, terutama kaum ibu, karena tiba-tiba muncul di teras rumah atau di dapur," katanya.

Ia menjelaskan, puluhan kera yang datang dan kadang masuk ke rumah warganya itu diduga lapar, karena ketika diberi roti atau pisang langsung diambil dan lari menjauh dari rumah warga.

"Saat ini, warga kami juga berusaha menangkap kera yang jumlahnya sekitar 30 ekor itu supaya tidak berkeliaran lagi," katanya.

Namun, warga menduga puluhan kera itu berasal dari hutan bakau di Desa Nambakor, Kecamatan Saronggi.

"Saat ini, banyak pohon bakau di Desa Nambakor yang ditebang oleh warga, jadi kemungkinan besar membuat puluhan kera datang ke rumah warga kami, karena `rumahnya` banyak yang ditebang," katanya.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 10 Januari 2010 11:48 WIB)

2010-01-19

Hutan Menyempit, Orang Utan Nyaris Bunuh Manusia

Muara Teweh (ANTARA News) - Seekor orang utan Kalimantan (Pongo Pygmaeus) hampir menewaskan seorang petani karet bernama Yani (40), warga Desa Lemo II Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.

"Kalau tidak ada penyadap karet lainnya, saya tidak tahu apakah masih hidup atau tidak," kata Yani ketika ditemui di Desa Lemo II Kecamatan Teweh Tengah, Sabtu.

Peristiwa yang baru pertama kali terjadi dipedalaman Kalteng ini terjadi Jumat pagi lalu sekitar pukul 07:00 WIB di Sungai Inun, pedalaman anak Sungai Lemo (anak Sungai Barito).

Orang utan raksasa berkelamin betina bertinggi 2,5 meter dan berat 200 kilogram menyerang korban hingga luka-luka di sekujur tubuhnya akibat gigitan dan cakaran kuku terutama di bagian tangan kiri, pangkal kaki kanan dan dada sebelah kiri.

"Pada bagian kaki kanan ada 20 jahitan dan tangan kiri 10 jahitan," katanya.

Seperti biasanya, pagi itu korban menyadap karet, namun tidak mengetahui keberadaan binatang yang selama ini tidak pernah muncul di sekitar kawasan hutan atau kebun karet rakyat tersebut.

Namun saat dia baru memulai menyadap karet, tiba-tiba dari arah belakang ada `orang` memegang kedua kaki dan tubuhnya kemudian langsung membanting ke belakang.

"Saya terkejut karena saat tiba di kebun karet tidak ada orang selain teman-teman penyadap karet lainnya, namun setelah melihat ternyata seekor orang utan yang besar tiga kali ukuran tubuh orang dewasa," jelasnya.

Ketika terjatuh dari bantingan orang utan, posisi korban tertelantang, saat itu juga binatang tersebut memeluk tubuh pria tersebut sambil menusukan kukunya ke tubuh korban.

Saat itu korban tidak bisa bergerak bahkan mau mengambil mandau (senjata tajam khas suku Dayak) yang biasa digunakan pergi ke hutan terselip di pinggang.

"Bayangkan sepatu plastik yang saya gunakan tembus akibat kuku orang utan itu hingga melukai kaki," katanya.

Meski masih dalam pelukan orang utan, korban masih bisa berteriak meminta bantuan penyadap lain dan datanglah dua orang yang juga keluarga korban, Miswan dan Mulyadi.

Kedua orang langsung menancapkan senjata tajam ke tubuh orang utan itu. Orang utan itu melepaskan korban sambil memandang dua orang penyadap karet tersebut.

"Kedua orang itu sempat lari tidak jauh dari orang utan yang mau mengejar, saya juga mau menyelamatkan diri, namun tidak bisa bergerak karena lemas," tuturnya.

Karena kedua orang itu menjauh, orang utan kembali menerkam Yani yang tergeletak di tanah sambil memeluk erat, ketika itu korban langsung tidak sadarkan diri.

"Saya tidak tahu apa-apa lagi karena pingsan setelah dipeluk kembali oleh orang utan tersebut," katanya.

Sementara seorang penyadap karet lainnya, Miswan mengatakan mereka cukup lama berupaya melumpuhkan orang utan.

Orang utan dilukai lagi ketika memeluk korban, saat itu kaki binatang dipegang dan dilumpuhkan oleh mandau ke tubuhnya.

Binatang itu bertahan dan meronta-ronta. Kedua orang lalu menusukan tombak ke tubuh orang utan sampai cengkeramannya kepada korban terlepas.

"Kami terus menusukan tombak dan mandau ke tubuh orang utan itu hingga jatuh tidak bernyawa lagi," katanya.

Bangkai orang utan itu lalu dibawa ke Desa Lemo II menggunakan perahu bermotor (kelotok).

Untuk membawa orang utan ke dalam kelotok tersebut, warga mengikat tubuh binatang dengan tali kemudian diangkat menggunakan kayu oleh empat orang dewasa.

Menurut warga, orang utan terpaksa masuk ke kawasan perkebunan karet milik masyarakat itu untuk mencari buah-buahan makanannya karena kawasan hutan tempat binatang itu hidup sudah berkurang, diantaranya karena pembukaan lahan oleh perusahaan perkayuan, perkebunan dan pertambangan batubara.

"Warga di sini bisa dikatakan hampir tidak pernah melihat orang utan, karena mereka hidup jauh di hutan," katanya.

Kejadian ini membuat warga setempat dalam beberapa hari terakhir takut menyadap karet, karena teman-teman orang utan lainnya dikhawatirkan masih berkeliaran di sekitar kebun karet warga.

Kepala Seksi Konservai Sumber Daya Alam Wilayah IV Muara Teweh, Yusuf Trismanto mengatakan orang utan yang ada di wilayah Kabupaten Barito Utara habitatnya berada di dalam Cagar Alam Pararawen di Kecamatan Teweh Tengah dan di luar kawasan hutan yang dilindungi itu.

Menurut dia, kehidupan orang utan ini sifatnya berkumpul misalnya satu jantan dan sejumlah jenis betina serta anaknya yang hidup di hutan belentara.

"Binatang ini tidak menganggu, kalau dia tak terusik atau diganggu oleh manusia. Mereka senang hidup di kawasan belantara yang banyak buah-buahan hutan," katanya.

Sedangkan mengenai orang utan yang masuk kawasan kebun karet masyarakat hingga menganggu warga, karena habitatnya terusik dan terganggu akibat aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tambang batu bara dan pembalakan liar.

Hutan yang menjadi tempat makan binatang itu, kata dia, mulai berkurang sehingga orang utan jauh mencari makan hingga ke luar kawasan hutan atau mendekati perkebunan warga yang banyak buah-buahan hutan.

"Mungkin karena terkejut melihat manusia, binatang itu mengamuk," katanya. Dia mengaku belum meinventarisir populasi urang hutan di salah satu pedalaman Sungai Barito ini.


Sumber : ANTARA News (Minggu, 10 Januari 2010 07:13 WIB)

2010-01-16

Rakyat Tidak Pernah Dilibatkan Untuk Perubahan Iklim

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mengatakan, pemerintah tidak pernah melibatkan rakyatnya dalam pembahasan dan penanganan perubahan iklim.

"Pemerintah tidak pernah libatkan rakyat tentang perubahan iklim," kata Chalid dalam acara Outlook Lingkungan Hidup 2010 Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) di Jakarta, Jumat.

Chalid melihat pemerintah tidak menjelaskan kepada masyarakat melalui DPR tentang agenda dan posisi Indonesia di KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark.

"Pemerintah anggap rakyat tidak perlu terlibat perubahan iklim. Padahal, kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan akan mempengaruhi rakyat," katanya.

Sementara mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan Delri (Delegasi RI) telah membohongi masyarakat Indonesia dan global, terkait dengan keseriusan untuk mengimplemmentasikan komitmen penurunan emisi.

"Pemerintah tidak menyatakan komitmen untuk melindungi tutupan hutan alam yang tersisa dalam Perundingan LULUCF ," kata Berry.

Mengenai target pemerintahan untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 26 persen pada 2020, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan mengatakan, pemerintah tidak mampu menjelaskan konsep dan implementasi untuk target tersebut.

"Sampai saat ini, pemerintah tidak mempunyai konsep jelas, bahkan tidak pernah menghitung secara komprehensif untuk itu," katanya.

"Kita sudah konfirmasi ke Men-LH yang mengatakan implementasi target penurunan emisi seperti ini. Ketika kita tanya ke Menteri Kehutanan, mengatakan hal yang berbeda," ujar Berry.

Walhi tidak melihat ada upaya pemerintah untuk menurunkan emisi sebesar 16 persen dari sektor Kehutanan.

Mengenai hasil KTT Kopenhagen yang tidak menghasilkan perjanjian yang mengikat (legally binding treaty), Berry mengatakan, konferensi itu gagal memberikan solusi bagi upaya menekan laju perubahan iklim dan menyelamatkan bumi.

"Dibutuhkan perjanjian mengikat agar semua negara berkewajiban menurunkan emisi karbon 25 - 40 persen sesuai IPCC," katanya.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 9 Januari 2010 05:02 WIB)

January 2010 KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Advanture

Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org