2010-02-26

AHTRMI Siapkan Pasukan Pemulih Hutan

Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI) menegaskan komitmennya untuk menghijaukan kembali hutan yang rusak dengan menyiapkan pasukan rimbawan/rimbawati.

"Kita menyiapkan 100 rimbawan/rimbawati di setiap provinsi," kata Ketua Umum AHTRMI Basyaruddin Siregar saat deklarasi Rimbawan/Rimbawati Muda Mandiri Indonesia di Jakarta, Senin.

Saat ini, kata Basyaruddin, AHTRMI telah memiliki kepengurusan di 21 provinsi dan diharapkan dalam waktu dekat segera terbentuk di seluruh provinsi.

"Melalui rimbawan/rimbawati kita ingin mengajak masyarakat untuk berperan serta secara aktif membantu progam pemerintah menghijaukan kembali hutan," katanya.

Dikatakannya, tahun ini telah disiapkan lahan seluas 50 hektar di masing-masing provinsi untuk dihijaukan dengan berbagai tanaman, antara lain Sengon dan Jati.

Selain itu, pihaknya melalui pengurus di tingkat wilayah juga akan melaksanakan penanaman 100 ribu mangrove (hutan bakau) di Kepulauan Riau kemudian di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai percontohan Forestry in the Tourism.

"Asosiasi ini didirikan untuk menghijaukan kembali hutan-hutan di Indonesia yang sudah mulai banyak mengalami kerusakan," kata Basyaruddin. (S024/K004)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 16 Pebruari 2010 04:34 WIB)

Walhi: Vila di TNGH Harus Segera Dibongkar Menhut, Kapolri

Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta kepada Menteri Kehutanan dan Kapolri agar menindak tegas dan segera membongkar vila-vila di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), Bogor, Jawa Barat.

"Sudah saatnya Menhut dan Kapolri bertindak tegas untuk membongkar dan menertibkan semua villa yang ada. Data sementara di sana ada 103 vila," kata juru bicara Walhi, Erwin Usman, melalui pesan singkat kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

Penertiban vila di kawasan TNGS dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi (restorasi ekologis) kawasan hutan Halimun sebagai wilayah tangkapan air bagi Bogor dan Jakarta. "Karena banjir di Jakarta salah satu sebabnya karena praktik alih fungsi kawasan di hulu Jakarta," kata Usman.

Sebelumnya, pemerintah berencana membongkar 168 villa di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, paling lambat bulan depan, setelah pemda Kabupaten Bogor memberi tiga kali peringatan.

"Sebelum dibongkar habis, pemilik 168 villa itu akan diberi surat peringatan sebanyak tiga kali dalam rentang waktu tujuh hari. Jadi paling lambat dalam satu bulan ke depan, seluruh villa itu harus sudah dibongkar Pemda setempat," kata Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan, Darori, di Jakarta, Minggu (14/2).

Untuk keperluan pembongkaran itu, Kementerian Kehutanan berkoordinasi dengan Muspida di Jawa Barat.

Mulai Senin (15/4), katanya, Kepala Balai yang mengelola kawasan hutan akan menyurati Bupati Kabupaten Bogor untuk meminta bantuan pembongkaran villa tersebut karena mereka yang punya perangkat.

"Setelah menerima surat Kepala Balai pengelolaan hutan itu, Pemda melanjutkannya dengan menyurati para pemilik villa di kawasan tersebut," katanya.

Keputusan membongkar villa itu diambil, katanya, setelah Kemenhut mengundang para pejabat daerah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan instansi terkait lainnya melakukan rapat koordinasi untuk menangani masalah pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan vila dan permukiman.

"Dalam rapat koordinasi itu memang tidak ditemukan ada pemilik lahan yang memperoleh sertifikat kepemilikan tanah di kawasan tersebut. Kalau ada, KPK akan periksa BPN setempat."

Prinsipnya, seluruh bangunan yang dinilai merugikan di kawasan taman nasional, terutama vila mewah, tetap akan dibongkar.

Sementara masyarakat tradisional yang sudah menempati kawasan ini akan diberi kesempatan untuk melanjutkan usaha pertaniannya. Mereka yang berada di zona inti taman nasional akan dipindahkan, kata Darori.

Selain itu, mereka juga tidak diizinkan mendirikan bangunan yang merusak kelestarian hutan. Meski demikian, katanya, mereka diperkenankan menduduki kawasan itu dengan melakukan penanaman pohon yang produktif, sehingga menunjang dan menjaga kelestarian hutan, bukan memilikinya.

"Kawasan hutan itu statusnya tetap tanah negara yang tidak diizinkan terjadi transaksi jual beli bersifat perorangan atau kelompok," katanya.

Menjawab pertanyaan tentang pemanfaatan kawasan hutan konservasi seluas 260 ha oleh pengurus Legiun Veteran Pusat, menurut Darori, masih dalam proses pertukaran lahan dengan areal di Desa Ciwelad seluas 256 ha.

"Sampai sekarang, prosesnya belum jelas karena status alih fungsi kawasan hutan konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun belum diubah," ujarnya.

Jika pengurus Legiun Veteran ingin melakukan tukar guling, katanya, terlebih dahulu status kawasan hutan konservasi diubah dulu menjadi hutan produksi.

"Apabila sudah memperoleh status kawasan hutan produksi oleh Kementerian Kehutanan, baru bisa dilakukan tukar guling. Jadi sekarang ini belum bisa dilakukan tukar guling," katanya. (N006/K004)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 16 Pebruari 2010 04:53 WIB)

Hilangnya Es di Greenland Akibat Menghangatnya Laut

Jakarta (ANTARA News) - Lapisan es seukuran benua di Greenland kian terkikis akibat angin dan arus yang dipicu oleh air yang bertambah hangat ke dalam ceruk, tempat terbentuknya pangkal gletser pantai, demikian hasil studi yang disiarkan Ahad (14/2).

Massa es yang bercokol di puncak Greenland menyimpan cukup banyak air untuk mendorong permukaan air laut global setinggi tujuh meter, sehingga berpotensi menenggelamkan banyak delta dan kota pantai di seluruh dunia.

Saat ini, permukaan air samudra naik sebanyak tiga milimeter per tahun, sedangkan pada awal 1960-an peningkatan ketinggian permukaan air lautan ialah 1,8 milimeter setiap tahun.

Namun sumbangan Greenland telah lebih dari dua kali lipat dalam satu dasawarsa belakangan, dan para ilmuwan menduga perubahan iklim memainkan peran yang sangat besar, kendati bagaimana secara pasti itu terjadi masih menjadi perdebatan sengit.

Sebagian teori menunjuk kepada temperatur udara --yang naik lebih cepat di garis lintang utara-jauh daripada rata-rata global.

Satu gagasan tandingan ialah perubahan arus dan perairan samudra sub-tropis yang bergerak ke arah utara mengikis landasan gletser pantai, menambah cepat alirannya ke laut, terutama gletser yang berada di banyak "fjord" di Greenland.

Secara geologis, "fjord" adalah ceruk sempit yang panjang dengan lereng terjal, yang tercipta di satu lembah yang terbentuk oleh kegiatan gletser.

Namun setakat ini, semua studi itu telah lebih banyak dilandasi atas contoh matematika daripada pengamatan.

Satu tim ilmuwan yang dipimpin oleh Fiametta Straneo dari Woods Hole Oceanographic Institution di Massachusetts bergerak untuk membantu mengisi kekosongan data itu.

Para peneliti tersebut, yang melakukan kegiatan pada Juli dan September 2008, melakukan pengukuran terperinci mengenai kandungan air di Sermilik Fjord, yang menghubungkan Helheim Glacier di bagian timur Greenland dengan samudra.

Mereka mendapati air laut dalam yang mengalir ke dalam ceruk itu memiliki ukuran 3,0-4,0 derajat celsius cukup hangat untuk menerobos ke dasar gletser dan mempercepat lapisan es tersebut tercebur ke lautan.

Peralatan yang ditinggalkan di ceruk itu selama delapan bulan memperlihatkan angin yang berkumpul di garis pantai memainkan peran penting dalam arus air yang lebih hangat tersebut.

"Temuan kami mendukung peningkatan pencairan dasar laut sebagai pemicu bagi bertambah-cepatnya pencairan gletser, tapi menunjukkan gabungan perubahan atmosfir dan samudra sebagai pengendali yang mungkin," kata para peneliti itu, sebagaimana dikutip kantor berita Prancis, AFP.

Dalam satu studi terpisah, Eric Rignot dari Jet Propulsion Laboratory di Pasadena, California, dan rekannya berusaha menghitung bagian relatif penyebab hilangnya sungai es.

Para ilmuwan itu, yang menyelidiki bagian barat Greenland, melakukan pengukuran samudra pada Agustus 2008 di tiga ceruk di dasar empat sungai es yang pecah ke dalam laut, proses yang dikenal sebagai "calving".

Pencarian samudra, mereka mendapati, bertanggung jawab antara 20 dan 75 persen hilangnya es di permukaan gletser, dan pemisahan dari bagian bongkahan es yang terpajan terhadap udara mengisi sisanya.

Sementara itu, satu studi yang juga diterbitkan di dalam jurnal Nature Geoscience memperingatkan bahwa samudra dapat menjadi lebih asam dalam waktu lebih cepat daripada kapan pun selama 65 juta tahun terakhir.

Andy Rigwell dan Daniella Schmidt dari University of Bristol, bagian barat Inggris, membandingkan perubahan yang lalu dan masa depan dalam keasaman samudra dengan menggunakan simulasi komputer.

Mereka mendapati permukaan samudra menjadi asam bahkan lebih cepat daripada yang terjadi selama episode yang terdokumentasi dengan baik mengenai pemanasan rumah kaca 55,5 juta tahun lalu.

Bertambah-cepatnya keasaman sudah mulai merenggut korban pada sejumlah hewan laut yang memainkan peran penting dalam rantai makanan samudra dan membantu menyerap sangat banyak CO2 dari atmosfir.

"Calsium carapace" hewan yang sangat kecil yang disebut "foraminifera", yang hidup di Samudra Selatan, misalnya, sudah kehilangan sebanyak sepertiga berat normalnya.(C003/A038)


Sumber: ANTARA News (Senin, 15 Pebruari 2010 22:03 WIB)

Walhi: Hutan Sumsel Mayoritas Rusak

Palembang (ANTARA News) - Hutan di Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) mayoritas rusak akibat pembalakan liar, erosi dan berbagai gangguan alam lainnya, kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Anwar Sadat di Palembang, Sabtu.

Ia mengatakan, dari 3,7 juta hektare hutan yang ada di provinsi ini, hanya satu juta ha di antaranya yang masih lebat dan baik.

Kerusakan itu antara lain akibat masih adanya penebangan liar, dan berbagai kerusakan akibat alam lainnya, kata dia pula.

Oleh karena itu mulai dari sekarang menghentikan penebangan liar karena hutan yang rusak akan berdampak banjir, longsor dan berbagai bencana alam lainnya, ujar dia.

Ketika ditanya tentang program "satu orang satu pohon" yang dicanangkan beberapa waktu lalu, ia mengatakan, itu memang cukup baik terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan.

Namun, lanjut dia, program itu belum begitu maksimal dengan kondisi hutan yang rusak sekarang ini.

Sehubungan itu diharapkan seluruh aparat dan lapisan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan hutan supaya lingkungan tetap hijau, kata dia.

Selain itu perlu adanya penataan lingkungan supaya daerah-daerah yang rawan banjir dan longsor diharapkan tidak terjadi bencana lagi, tambah dia. (U005/K004)


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 13 Pebruari 2010 09:23 WIB)

2010-02-25

IPB Ungkap Misteri Ekologi Gunung Burangrang

Bogor(ANTARA News) - Sebanyak 100 mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan eksplorasi di Cagar Alam Gunung Burangrang, Jawa Barat (Jabar), guna mengungkap misteri ekologi di cagar alam itu.

Juru Bicara IPB, Ir Henny Windarti MSi, kepada ANTARA Newsdi Bogor, Jumat, menjelaskan bahwa dalam kegiatan di Cagar Alam Gunung Burangrang, yang wilayahnya tersebar di Kabupaten Subang dan Purwakarta, para mahasiswa mengadakan kegiatan dengan nama "RAFFLESIA 2010".

Eksplorasi fauna, flora dan ekowisata Indonesia Cagar Alam di Gunung Burangrang, Kabupaten Subang dan Purwakarta itu mengusung tema "mengungkap misteri ekologi Burangrang dalam riak biodiversitas sebagai sumber manfaat bagi masyarakat bumi Parahyangan".

Ia mengatakan, kegiatan itu penting untuk membantu pengelolaan Cagar Alam Gunung Burangrang karena data dan informasi kawasan Cagar Alam Gunung Burangrang yang tersedia masih belum terbaharui dan terpantau keadaannya, terutama mengenai data fauna beserta habitatnya.

Menurut dia, dalam kegiatan selama 7-14 Februari 2010 adapun yang berbeda dari kegiatan RAFFLESIA sebelumnya adalah adanya dukungan finansial dari Kementerian Kehutanan serta penyediaan sarana transportasi.

Ia menambahkan, kegiatan RAFFLESIA 2010 dimaksudkan untuk menggali potensi-potensi keanekaragaman hayati dan pelibatan masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Burangrang sehingga menghasilkan sebuah rekomendasi yang berkaitan dengan pengembangan dan pengelolaan kawasan termasuk pelestarian fungsi kawasan Cagar Alam Gunung Burangrang sebagai salah satu kawasan perlindungan dan pelestarian sistem penyangga kehidupan (life support system).

Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah eksplorasi keanekaragaman hayati difokuskan kepada mamalia, burung (aves), herpetofauna (reptil dan amfibi), dan kupu-kupu serta eksplorasi flora.

Selain itu, mengadakan eksplorasi potensi ekowisata yang berbasiskan konservasi dan sosial budaya masyarakat dengan wawancara dan diskusi serta ekplorasi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Burangrang.

Kemudian mengintegrasikan hasil setiap kelompok pemerhati sebagai suatu komponen ekosistem melalui analisa ilmiah serta berbagai diskusi untuk memperkaya wawasan mahasiswa sehingga mampu menganalisa masalah-masalah lingkungan, demikian Henny Windarti.(T.A035/R007/P003)


Sumber: ANTARA News (Jumat, 12 Pebruari 2010 10:23 WIB)

Kerusakan Hutan Bengkulu Capai 300 Ribu Hektare

Bengkulu (ANTARA News) - Kerusakan kawasan hutan di Provinsi Bengkulu mencapai 300 ribu hektare (ha) dari total luas kawasan 920 ribu hektare. "Data ini juga kami dapatkan dari citra satelit pada tahun 2005 lalu yang artinya kerusakan saat ini jauh lebih luas," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Khairil Burhan, Kamis.

Kerusakan hutan di Bengkulu sebagian besar diakibatkan perambahan liar oleh masyarakat dan penebangan kayu secara liar atau illegal logging.

Untuk kawasan Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas, sebagian besar dirambah untuk ditanami sawit, sedangkan di Hutan Lindung diganti menjadi tanaman sawit.

"Karena hutan produksi terbatas sebagian besar memang berada di wilayah pesisir sehingga tanaman yang sesuai adalah sawit sedangkan hutan lindung banyak terdapat di dataran tinggi yang sudah diganti menjadi tanaman kopi," jelasnya.

Untuk mengatasi perambahan liar dan penebangan liar, Dinas Kehutanan akan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang fokus pada perlindungan hutan.

Perlindungan kawasan dengan UPTD tersebut diharapkan bisa menanggulangi kerusakan kawasan hutan karena badan bentukan ini akan fokus pada perlindungan kawasan hutan.

Selain itu, terhadap kawasan hutan yang sudah terlanjur dirambah masih diberikan izin pengelolaan dengan sistem Hutan Kemasyarakatan (HKm).

"Masyarakat tetap bisa mengelola kawasan itu dengan sistem Hkm dimana masyarakat harus menanami kembali hutan yang sudah dibuka dengan tanaman produktif tapi tidak bisa ditebang," katanya.

Pada tahun 2010 ini, Dishut mengusulkan 8.000 ha kawasan hutan yang sudah dirambah menjadi Hkm dengan anggaran yang diusulkan mencapai Rp70 miliar.

Pihaknya sudah sudah menyampaikan usulan tersebut ke Kementerian Kehutanan untuk dibahas dalam APBN perubahan 2010 nanti.

Kawasan hutan ini sudah dirambah jadi sesuai dengan Permenhut No 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakan, dengan arti lain masyarakat bisa mengelola.(K-RNI/A038)


Sumber: ANTARA News (Kamis, 11 Pebruari 2010 18:13 WIB)

Puluhan Ribu Hektare Hutan di Muaraenim Rusak

Muaraenim, Sumsel (ANTARA News) - Sekitar 53.334 hektare hutan konversi milik negara di kawasan hutan produksi hutan tanaman industri (HPHTI) PT Musi Hutan Persada (PT MHP) di Kabupaten Muaraenim, Sumatra Selatan rusak berat akibat penebangan liar.

"Sudah 70 persen HPHTI PT MHP di Muaraenim yang mengalami kerusakan cukup parah, mengingat dari luas hutan sebelumnya 76.191 hektare, ternyata yang masih tersisa hanya sekitar 30 persen atau 22.857 hektare masih utuh. Kerusakan hutan ini akibat ulah oknum yang tidak bertanggungjawab melakukan perambahan," kata Kabid Penataan Guna Hutan Dinas Kehutanan Muaraenim, Ahmad Mirza, di Muaraenim, Kamis.

Ia menyatakan, lahan yang sudah dilakukan penanaman itu sebenarnya merupakan eks kebun benih PT Inhutani V dengan luas 761,91 hektare.

Sesuai dengan SK Menhut No. 1775/Menhut/VIII/2001, pengelolaan hutan itu dilimpahkan ke Pemkab Muaraenim untuk dijadikan Pusat Pengembangan Perlebahan Khusus (Pusbahsus).

"Penanaman hutan tersebut dilakukan Dishut tahun 1978 dengan jenis tanaman
eukaliptus, pinus, pulai, dan akasia auri dengan ukuran tanaman 2 x 3 per meter atau
sekitar 1.650 batang untuk satu hektare-nya," ujar dia.

Kami masih mendata, untuk memastikan secara konkret luas hutan tersebut. Namun
dari hasil pengamatan hutan yang rusak sudah mencapai 70 persen dari sebelumnya, kata Mirza pula.

Dia menambahkan, kerusakan hutan itu akibat pencurian ratusan kubik pohon pinus milik Inhutani yang merupakan hutan hasil reboisasi PT MHP.

"Sekarang kondisi hutan tersebut habis dibabat oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, dengan bantuan aparat Polres Muaraenim berhasil mengamankan 10 truk bermuatan kayu gelondongan dan menangkap 23 pelaku yang sedang melakukan pencurian," ujar dia lagi.

Pihaknya sedang melakukan pendalaman terhadap lima orang saksi dalam kasus pencuarian kayu, yakni AY (45), SY (40), MATS (43), BAS (43), dan MAT (37) yang diduga kuat sebagai aktor intelektualnya.

Namun karena bukti-bukti di lapangan masih kurang, aparat penegak hukum belum bisa menetapkan para tersangka illegal logging tersebut.

Kasatreskrim Polres Muaraenim, AKP Awan Hariono, didampingi Kanit Pidsus, Ipda Fauzi, mengatakan sedang mengumpulkan data serta saksi-saksi untuk pemeriksaan lebih lanjut termasuk melakukan pengamanan barang bukti (BB) yang masih berada di lapangan hasil tangkapan kayu itu.

"Mengingat hutan tersebut merupakan milik negara, tentunya perlu data pendukung yang lebih tepat dan akurat dalam proses penyidikan," ujar dia.

Menurut Awan, perlu dilakukan pendataan kembali kayu yang masih ada di lahan, mengingat ada 12 titik pengumpulan kayu gelondongan atau masih ada ratusan kayu
gelondongan lagi, dan sekarang diamankan dengan pembatas garis polisi. (U005*B014/K004)


Sumber: ANTARA News (Kamis, 11 Pebruari 2010 06:57 WIB)

DPRD: KLH Merangin Lemah Dalam Pengawasan

Jambi (ANTARA News) - DPRD Kabupaten Merangin, Jambi, menilai, Kantor Lingkungan Hidup (KLH) di daerahnya masih lemah dalam melakukan pengawasan terkait dengan jebolnya tanggul limbah pabrik kelapa sawit (PKS) milik PT Kresna Duta Agroindo (KDA) di Desa Jelatang, Kecamatan Pamenang, Merangin.

"Kita harus mempertanyakan kinerja Kantor LH Merangin terkait jebolnya tanggul limbah PT KDA, ada kesan instansi ini tak serius dan lemah dalam mengawasi Amdal perusahaan tersebut," kata anggota Komisi III DPRD Kabupaten Merangin Ali.

Jebolnya tanggul limbah PKS itu telah meresahkan masyarakat Desa Jelatang karena diduga telah mencemari lingkungan di desa mereka.

Peristiwa itu seharusnya tidak terjadi kalau KLH melakukan pengawasan secara rutin dan tegas. Hal ini justru menunjukkan lemahnya kinerja pengawasan oleh KLH Merangin.

Selain itu, KLH juga belum pernah menjelaskan bahwa pembuangan limbah yang dilakukan oleh PT KDA sudah sesuai prosedur atau belum.

"KLH seharusnya secara rutin memantau dan mengawasi proses pembuangan limbah oleh PT KDA. Sekarang kalau ditanya ke KLH, apakah pembuangan limbah sudah sesuai prosedur atau belum, saya yakin KLH tak punya argumen untuk menjawabnya. Karena memang LH tak mau tahu," ujarnya.

Bahkan, KLH tak mampu menunjukkan bukti riil kalau memang ada proses pengawasan Amdal terhadap PT KDA.

"Kalau sudah begini kan ketahuan bobroknya. Mana buktinya kalau KLH secara rutin melakukan pengawasan," tegasnya.

Sementara itu, warga Desa Jelatang meminta kepada KLH Merangin menunjukkan bukti-bukti pengawasan yang telah dilakukan, sebab selama ini warga tidak pernah diajak dalam mengawasi limbah pembuangan dari PKS milik PT KDA.

"PT KDA tak memenuhi standar pembuangan limbah. Sedangkan limbah rumah tangga saja kita punya prosedurnya, apalagi ini limbah perusahaan. Ini kan sangat mengancam keselamatan warga," kata Sekretaris Kecamatan Pamenang Antoni.

Secara terpisah, Kepala Kantor Lingkungan Hidup Merangin Fauziah menyatakan tudingan terhadap instansinya semuanya tidak benar.

"Tuduhan itu tidak benar. Kita secara rutin dan terus menerus melakukan pengawasan terhadap limbah PT KDA. Saat ini memang kita tidak membawa bukti otentiknya tentang kapan saja pengawasan itu kita lakukan," katanya.

Ia tidak menjelaskan secara rinci bentuk-bentuk pengawasan yang telah dilaklukan terhadap limbah PT KDA tersebut. (YJ/K004)


Sumber: ANTARA News (Rabu, 10 Pebruari 2010 01:04 WIB)

2010-02-24

Inggris Meluncurkan Pelabelan Tarif Energi Ramah Lingkungan

Jakarta (ANTARA News) - Inggris telah meluncurkan sebuah skema untuk mengesahkan dan melabelkan listrik yang diproduksi secara ramah lingkungan. Langkah ini membantu para konsumen dan usaha kecil untuk dapat memilih tarif-tarif guna mendukung para pemasok melakukan lebih banyak melakukan pemotongan emisi karbon daripada mengharuskannya.

Seperti dilaporkan Reuters, Badan regulator Energi Inggris OFGEM pada Selasa mengatakan bahwa pemasok energi ramah lingkungan harus menunjukkan kepada sebuah tim independen bahwa mereka menjalankan kegiatan tambahan untuk mencari sumber listik terbarukan dan mengurangi emisi karbon rumah tangga.

"Saat ini hanya dua persen warga Inggris membeli energi ramah lingkungan, tetapi saya harap sebuah label yang dapat dipercaya akan meyakinkan lebih banyak orang untuk ramah lingkungan," kata seorang kepala tim itu dan ahli pengembang terkenal, Solitaire Townsend.

Tim itu menaksir tarif dari tujuh partisipan di dalam skema, antara lain British Gas, E.ON , EDF Energy, RWE npower, Scottishpower, Scottish and Southern Energy and Good Energy.

"Tarif ramah lingkungan selama ini telah sangat membingungkan dan menyesatkan," kata Keith Allot kepala perubahan iklim di WWF-UK.

"Kita berharap panduan baru dan skema sertifikat akan dimulai guna memberi konsumen jaminan bahwa dengan memilih tarif ramah lingkungan mereka telah membuat sebuah perbedaan," kata Allot menambahkan.(ADM/A038)


Sumber: ANTARA News (Rabu, 10 Pebruari 2010 13:34 WIB)

Hutan Lindung Kepulauan Riau Terancam Punah

Tanjungpinang (ANTARA News) - Beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung terancam punah karena sampai sekarang pelaku penebangan liar masih beraktivitas. Hal itu dikatakan Kepala Dinas Pertanian Kehutanan Peternakan Kepulauan Riau, Said Jafar, Selasa.

"Hutan yang terancam rusak berada di Desa Jago (Kabupaten Lingga), Batam dan Sei Pulai Kota Tanjungpinang," kata Said Jafar. Kepulauan Riau memiliki hutan seluas 301.956 hektare. Sebagian hutan menjadi gundul karena ditebang oleh oknum tertentu.

Pelaku pembalakan liar menjual hasil kayu yang didapat dari hutan. Mereka juga mengikutsertakan beberapa warga setempat.

Aksi pembalakan liar sering terjadi di Desa Jago. Pelaku pembalakan liar menebang pohon mahoni, kapur, meranti."Mereka mencuri kayu-kayu bagus di dalam hutan," katanya.

Dua hari lalu, kata dia, warga yang terlibat dalam aksi pembalakan liar membakar pos pengamanan hutan. Aksi warga tersebut disebabkan aparat yang menjaga hutan selalu menghalangi warga tersebut menebangi hutan.

"Saya berharap siapa pun oknum di balik aksi pembalakan liar tersebut ditangkap dan diadili. Saya tidak peduli siapa orang itu," ujarnya.

Said memperkirakan, hutan di Desa Jago akan gundul dalam waktu satu bulan ini bila aktivitas penebangan pohon masih tetap berlangsung.

"Sebagian hutan di Desa Jago telah rusak. Kami perkirakan kelestariannya akan punah dalam waktu sebulan ini," katanya.

Pembalakan liar terjadi karena lemahnya pengawasan dan kurangnya kesadaran terhadap manfaat hutan.

Hingga sekarang, kata dia, Kepulauan Riau belum memiliki polisi kehutanan dan penyidik yang memadai. Kondisi itu membuat para pelaku semakin merajalela mencuri hasil hutan.

"Kami seperti macan ompong yang hanya dapat mengejar pelaku tanpa membuahkan hasil," katanya. (PK-NP/A038)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 9 Pebruari 2010 18:21 WIB)

Banyak Perusahaan di Babel Tak Taati Pengelolaan B3

Pangkalpinang (ANTARA News) - Sekitar 30 persen perusahaan di Provinsi Bangka Belitung (Babel) kurang menaati pengelolaan dampak terhadap lingkungan dari limbah bahan berbahaya beracun (B3).

Kepala Badan Lingkungan Hidup daerah (BLHD) Babel, Amrulah Harun, di Pangkalpinang, Senin, mengatakan, kurang taatnya perusahaan dalam pengelolaan limbah B3 kemungkinan besar adalah perusahaan yang tidak memiliki izin dalam pengelolaannya.

"Kami melihat kurangnya perusahaan dalam pembuatan surat izin pengelolaan limbah B3, sebab selama ini setiap perusahaan dipastikan akan mengelola limbahnya untuk dipakai kembali," ujarnya.

Ia mengatakan, pengelolaan limbah B3 ini yang sering dilakukan oleh perusahaan di Babel salah satunya pemanfaatan oli bekas yang sudah dipakai, kemudian digunakan kembali oleh perusahaan itu.

"Memang dampaknya tidak terasa, tapi lama kelamaan akan mempunyai dampak bagi lingkungan sekitar perusahaan tersebut," kata Amrulah.

Menurut dia, BLHD selalu melakukan pengawasan terhadap perusahaan agar tidak melakukan pelanggaran dalam pengelolaan B3 dan juga selalu melakukan pembinaan kepada para pengusaha.

"Kami selalu melakukan pengawasan terhadap perusahaan dan pembinaan terhadap pengusaha, agar tidak melakukan pelanggaran dalam pengelolaan B3," katanya.

Ia menambahkan, dalam pengelolaan B3 harus ada izin dan ada tata cara dalam pengelolahan dan setiap limbah yang dihasilkan perusahaan berbeda-beda tergantung limbah yang dihasilkan perusahaan tersebut.

"Tujuan dari pengelolaan B3 ini untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkngan yang sudah tercemar, sehingga sesuai dengan fungsinya," ujar Amrulah.

Menurut dia, hal ini dipertegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 1994 yang diperbaharui dengan PP nomor 12 tahun 1995 dan diperbaharui kembali dengan PP nomor 18 tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 dan diperkuat lagi dengan PP nomor 74 tahun 2001 tanggal 26 November 2001 tentang Pengelolaan Limbah B3.

"Jadi setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH dan ditembuskan ke BLHD," katanya. (KMN/K004)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 9 Pebruari 2010 02:47 WIB)

Harimau di Wonogiri Tak Ganggu Warga

Wonogiri (ANTARA News) - Harimau Jawa (panthera tigris sundaica) yang diduga masih ada di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, tidak mengganggu warga sekitar.

"Harimau tersebut sudah jarang ditemukan, tetapi dari hasil keterangan warga di sekitar hutan Wonogiri masih ada," kata Asisten Perhutani (Asper) Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Wilayah Purwantoro, Kabupaten Wonogiri, Roby R., di Wonogiri, Selasa.

Ia mengatakan, binatang itu tidak mengganggu kehidupan warga sekitar sehingga mereka tidak memburunya.

Kawasan hutan di bawah Perhutani BKPH Purwantoro seluas sekitar 4.800 hektare meliputi Kecamatan Kismantoro, Purwantoro, Slogoimo, dan Jatiroto.

Ia mengatakan, wilayah itu diantaranya berupa hutan lindung yang memungkinan masih sebagai tempat tinggal harimau.

Laporan rutin setiap tiga bulan oleh petugas Perhutani setempat, katanya, tidak pernah menyebutkan adanya harimau Jawa.

"Petugas kami di lapangan hanya melaporkan hewan yang sering ditemui di hutan Wonogiri antara lain kera, kijang, ayam hutan, dan burung betet. Tetapi mereka tidak pernah menemui harimau," katanya.

Ia mengatakan, warga sekitar pertapaan Girimanik Desa Kitren, Kecamatan Slogoimo sering melihat harimau.

"Harimau itu turun jika ada warga yang membuat api unggun di kawasan itu," katanya lalu mengatakan binatang itu tidak menggangu warga sehingga warga tidak memburunya.

Asper BKPH Wonogiri, Budi Rusmanto, menjelaskan, petugas di lapangan tidak pernah melaporkan temuan harimau Jawa karena mereka tidak pernah melihat secara langsung jenis binatang itu.

Tetapi, katanya, pada Tahun 2009, petugas mendapat informasi dari warga tentang seekor harimau relatif besar yang melintasi jalan di kawasan hutan setempat yang mereka sebut sebagai Alas Kethu, Kabupaten Wonogiri.

"Warga tidak tahu apakah itu harimau tutul atau Jawa yang dikabarkan hampir punah itu," katanya.

Ia menyatakan memperkirakan bahwa harimau Jawa yang cirinya antara lain garis bulu warna kuning hitam itu masih ada di kawasan itu meskipun sulit ditemukan.

Sejumlah warga sekitar Gunung Kotak, Kabupaten Wonogiri, menduga harimau Jawa masih ada di kawasan perbatasan antara Wonogiri dengan Ponogoro, Jawa Timur itu.

Seorang warga RT 04/RW 05 Dukuh Growong, Desa Ngroto, Kecamatan Kismantoro, Wonogiri, Pomo (55), mengaku, pernah melihat bekas telapak kaki harimau sebesar tangannya yang diduga jenis harimau Jawa.

Warga setempat menyebut harimau Jawa sebagai "macan gembong". Informasi tentang kepunahan harimau Jawa memang nampaknya masih simpang siur. Penelusuran di internet tentang kepunahan harimau Jawa antara lain pada era 1980-an.

Masyarakat setempat, katanya, hingga saat ini masih yakin bahwa jenis harimau Jawa itu masih ada di wilayahnya. (K-BDM/A038)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 9 Pebruari 2010 14:07 WIB)

2010-02-23

Jepang Langgar HAM Soal Aktivis Greenpeace

Denpasar (ANTARA News) - Aktivis Greenpeace, di Jakarta, Senin, melakukan protes atas penahanan aktivis antipemburuan paus Greenpeace Jepang sejak 2008, sambil membawa spanduk menuntut keadilan bagi mereka dan mengantarkan surat kepada Duta Besar Jepang untuk Indonesia.

Surat elektronika aktivis Greenpeace Jakarta yang diterima ANTARA,News di Denpasar, Senin, menyatakan, mereka akan melakukan protes di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta setiap hari selama sepekan ini sembari mengikuti proses persidangan yang akan dilakukan pekan depan.

Komisi Hak Asasi Manusia PBB sebelumnya menyatakan pemerintah Jepang melakukan pelanggaran berbagai hak asasi manusia yang telah disepakati secara internasional, dengan melakukan penahanan terhadap dua aktivis Greenpeace yang berhasil mengungkap kasus korupsi besar dalam program pengelolaan ikan paus Jepang.

Junichi Sato dan Toru Suzuki, atau kerap disebut "Tokyo Two", akan menjalani persidangan pada 15 Februari mendatang di negara itu. Pada Desember lalu Komisi Kerja Untuk Penahanan Semena-mena UNHRC menginformasikan pemerintah Jepang bahwa mereka telah melanggar HAM kedua orang itu.

"Junichi dan Toru bertindak atas nama kepentingan publik untuk membongkar skandal yang melibatkan korupsi dari program paus yang didanai pembayar pajak Jepang. Sekarang sangat jelas pelanggaran HAM bukan hanya menurut Greenpeace, tetapi juga menurut badan resmi PBB," kata Arif Fiyanto, juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara.

"Kami berharap Pengadilan Jepang mencatat pendapat ini dan melakukan penilaian hukum dengan adil dan semestinya," katanya.

Komisi kerja itu menyatakan, Sato dan Suzuki telah "bertindak atas dasar kepentingan publik yang lebih besar saat melakukan pengungkapan kejahatan di dalam industri paus yang didanai oleh pembayar pajak".

Kedua orang ini juga sudah menyatakan bersedia bekerja sama dengan polisi dan jaksa dalam pengungkapan kasus korupsi ini.

Tetapi pemerintah Jepang, dalam penahanan keduanya tidak memasukkan informasi penting seperti aktivitas rinci mereka sebagai aktivis lingkungan, hasil investigasi yang telah mereka lakukan, dan bahkan bukti-bukti yang dikumpulkan keduanya yang sebenarnya sangat membantu yang berwenang melakukan investigasi.

Komisi itu berkesimpulan, hak asasi kedua aktivis lingkungan ini jangan dibatasi secara semena-mena, hak mereka bebas beropini dan berekspresi serta melakukan aktivitas legal harus dilindungi, serta harus dijamin hak mereka beraktivitas damai tanpa intimidasi dan kekerasan.

Komisi ini juga menemukan, pemerintah Jepang melanggar pasal 18, 19, dan 20 Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal serta pasal 18 dan 19 Perjanjian Hak Sipil dan Politik Internasional. Selain itu, komisi itu berkesimpulan, hak mempertanyakan penahanan Sato dan Suzuki sebelum pengadilan tidak dilakukan secara semestinya.

"Keputusan melakukan tuntutan berbau politis ini dilakukan pemerintah Jepang terdahulu. Pemerintahan baru kini bisa menghapuskan aib ini dengan memastikan persidangan berjalan adil dan menaati aturan hukum internasional," kata Dr Kumi Naidoo, Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional.

Dia akan berada di Jepang pekan depan untuk mengamati persidangan ini. "Perdana Menteri Hatoyama harus mengeluarkan instruksi untuk meneliti ulang kasus ini," katanya.

Sejak penahanan mereka pada Juni 2008, lebih dari seperempat juta orang di seluruh dunia telah menandatangani petisi yang menuntut keadilan bagi Sato dan Suzki, dan para ahli hukum termasuk advokat-advokad Mahkamah Agung seluruh dunia telah menyatakan keprihatinan.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional seperti Amnesti Internasional dan Transparansi Internasional juga telah mempertanyakan keabsahan penuntutan ini. Satu minggu protes di Kedutaan Besar Jepang di seluruh dunia dimulai hari ini menuju persidangan minggu depan.(A037/A038)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 9 Pebruari 2010 00:21 WIB)

Titik Api Bermunculan di Sumatera

Pekanbaru (ANTARA News) - Stasiun Meteorologi dan Geofisika Pekanbaru menyatakan titik api mulai bermunculan di Pulau Sumatera memasuki pergantian musim hujan ke musim kemarau di wilayah itu.

Analis Stasiun Meteorologi dan Geofisika Pekanbaru Ardhitama kepada ANTARA News di Pekanbaru, Selasa, menyatakan, sedikit-dikitnya terdapat delapan titik api di Pulau Sumatera dan lima diantaranya berada di Riau.

"Lima titik api itu masing-masing dua titik berada di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hilir, kemudian satu titik lagi berada di Kabupaten Pelalawan, sedangkan selebihnya terdapat di luar Riau," katanya.

Menurut dia, jumlah titik api tersebut berpotensi terus bertambah mengingat Riau dan sejumlah daerah lain di Sumatera bagian utara memasuki musim kemarau mulai Februari 2009.

Dengan kondisi iklim tersebut, risiko terjadi kebakaran lahan dan hutan di Riau yang sebagian besar didominasi oleh kawasan perkebunan dan lahan tidur, semakin besar.

Karena itu, pemerintah daerah, pengusaha perkebunan dan masyarakat setempat diimbau tidak sembarangan melakukan pembakaran lahan atau hutan yang bisa berdampak pada meluasnya api.

"Jika ingin membakar lahan, harus melakukan zonasi sehingga kemungkinan meluasnya api bisa diminimalkan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan," ujarnya. (M046/A038)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 9 Pebruari 2010 18:27 WIB)

Titik Api Bermunculan di Sumatera

Pekanbaru (ANTARA News) - Stasiun Meteorologi dan Geofisika Pekanbaru menyatakan titik api mulai bermunculan di Pulau Sumatera memasuki pergantian musim hujan ke musim kemarau di wilayah itu.

Analis Stasiun Meteorologi dan Geofisika Pekanbaru Ardhitama kepada ANTARA News di Pekanbaru, Selasa, menyatakan, sedikit-dikitnya terdapat delapan titik api di Pulau Sumatera dan lima diantaranya berada di Riau.

"Lima titik api itu masing-masing dua titik berada di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hilir, kemudian satu titik lagi berada di Kabupaten Pelalawan, sedangkan selebihnya terdapat di luar Riau," katanya.

Menurut dia, jumlah titik api tersebut berpotensi terus bertambah mengingat Riau dan sejumlah daerah lain di Sumatera bagian utara memasuki musim kemarau mulai Februari 2009.

Dengan kondisi iklim tersebut, risiko terjadi kebakaran lahan dan hutan di Riau yang sebagian besar didominasi oleh kawasan perkebunan dan lahan tidur, semakin besar.

Karena itu, pemerintah daerah, pengusaha perkebunan dan masyarakat setempat diimbau tidak sembarangan melakukan pembakaran lahan atau hutan yang bisa berdampak pada meluasnya api.

"Jika ingin membakar lahan, harus melakukan zonasi sehingga kemungkinan meluasnya api bisa diminimalkan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan," ujarnya. (M046/A038)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 9 Pebruari 2010 18:27 WIB)

Walhi Dukung Talang Mamak Kembalikan Kalpataru

Pekanbaru (ANTARA News) - Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau mendukung Patih Laman, pemuka adat suku asli Riau Talang Mamak, denganmengembalikan penghargaan Kalpataru.

Tindakan itu diambil sebagaibentuk kekecewaan terhadap minimnya dukungan pemerintah untuk menjaga hutan adat di Kabupaten Indragiri Hulu.

"Walhi siap memfasilitasi untuk mempertemukan Patih Laman dengan Gubernur Riau ataupun pemerintah pusat," kata Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman di Pekanbaru, Senin.

Ia mengaku sudah mengetahui niat Patih Laman, 90 tahun, yang ingin mengembalikan Kalpataru langsung kepada gubernur pada Senin (8/2).

Namun, rencana tersebut gagal akibat Patih Laman yang sudah datang ke Pekanbaru sejak pekan lalu tidak memiliki dana untuk menginap.

Dan Gubernur Riau Rusli Zainal memiliki jadwal yang sangat sibuk sehingga tidak berada di Pekanbaru untuk menemui Patih Laman.

"Hutan alam suku Talang Mamak itu, dulunya begitu nikmat dipandang mata dan termasuk salah satu hutan dataran rendah yang tersisa di Indonesia. Namun sayang, kini kondisinya sudah luluh-lantah," katanya.

Patih Laman menerima Kalpataru dari Presiden Megawati pada 2003 karena dinilai berhasil menjaga kelestarian hutan Panguanan dan Panyabungan di Indragiri Hulu dengan kearifan lokal masyarakat Talang Mamak.

Hutan tersebut digunakan untuk kebutuhan hidup masyarakat Talang Mamak yang bermukim di Desa Sungai Ekok, Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu.

Selain itu, Patih Laman juga pernah mendapatkan penghargaan bertaraf internasional dari WWF Internasional di Kinibalu, Malaysia pada 1999.

Hutan adat suku Talang Mamak sendiri terdiri atas empat kawasan, yakni hutan Panguanan dan Panyabungan seluas 1.800 hektar, serta tiga kawasan hutan lainnya, yaitu hutan Sungai Tunu (105 hektar), hutan Pusaka Kelumbuk Tinggi Banir (22 hektar), dan hutan Durian Berjajar sekitar 98 hektar.(F012/A024)


Sumber: ANTARA News (Senin, 8 Pebruari 2010 15:34 WIB)

TNUK Beri Pendidikan Konservasi Bagi Siswa SMA

Pandeglang (ANTARA News) - Pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) memberikan pendidikan masalah konservasi dan pemeliharan hutan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

"Kita bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memberikan pelajaran tentang koservasi serta pemeliharaan hutan dan manfaat hutan bagi kehidupan," kata Kepala Balai TNUK Agus Priambudi ketika dikonfirmasi di Pandeglang, Minggu.

Untuk tahap awal, kerja sama tersebut baru dilakukan dengan SMA Negeri 16 Labuan, sekaligus sebagai proyek pencontohan dari kegiatan tersebut.

Pihak SMA Negeri 16, kata dia, menyambut baik pemberian materi terkait dengan masalah kehutanan tersebut, sehingga materi tersebut telah dijadikan sebagai pelajaran muatan lokal.

"Setelah mengetahui materi yang disampaikan pihak sekolah memberikan respon sangat bagus dan ingin agar kerja sama tersebut terus dilanjutkan karena materi konservasi dan kehutanan telah dijadikan muatan lokal," ujarnya.

Mengenai pengajar yang memberikan materi, menurut dia, dari kepala dan pegawai Balai TNUK secara bergiliran.

Menurut Agus, masalah konservasi dan hutan harus disampaikan pada masyarakat sejak dini, dan saat di sekolah merupakan waktu yang paling tepat.

"Setelah mendapat pelajaran, mereka akan tahu pentingnya kegiatan konservasi dan hutan sehingga ke depan masalah tersebut akan menjadi perhatian mereka. Kita juga berharap para siswa dapat menyampaikan pada masyarakat di sekitar tempat tinggalnya," ujarnya.

Ia berharap, ke depan pendidikan konservasi dan kehutanan juga bisa disampaikan pada siswa sekolah lain di Pandeglang baik tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) maupun SMA/sederajat.

Materi yang disampaikan, kata dia, selain masalah konservasi dan kehutanan secara umum, juga terkait konservasi dan hutan yang ada di Kabupaten Pandeglang terutama TNUK.

Agus juga menjelaskan, kondisi TNUK cukup bagus dibandingkan hutan yang ada di daerah lain. Hingga saat ini tingkat kerusakan taman nasional itu hanya 3.200 hekter (Ha) atau 4,2 persen dari luas kawasan tersebut mencapai 76 ribu Ha.

Dari 3.200 Ha kawasan yang rusak itu, seluas 2.100 Ha telah dijadikan sawah dan 1.100 Ha dibuat kebun oleh masyarakat dan menjadi mata pencairan dari ribuah kepala keluarga warga yang ada di sekitar taman nasional tersebut.

Pemerintah, kata dia, tidak melarang masyarakat yang telah membukan kawasan untuk dijadikan sawah dan kebun itu karena sudah dilakukan sebelum kawasan itu menjadi taman nasional.

"Masyarakat telah membuka lahan untuk persawahan dan kebun ketika kawasan itu masih sebagai hutan produksi yang dikelola oleh PT Perhutani. Mereka kita biarkan saja dengan syarat tak boleh menambah areal garapan dan ikut menjaga keamanan di TNUK," ujarnya.(S031/K004)


Sumber: ANTARA News (Senin, 8 Pebruari 2010 04:51 WIB)

2010-02-22

Pemprov Sulut Imbau Wartawan Galakkan Program Menanam

Manado (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Utara (Sulut) menghimbau kepada jajaran wartawan, turut menggalakkan program menanam pada saat Hari Pers Nasional 9 Februari 2010 mendatang.

"Program menanam sudah menjadi kewajiban warga negara seiring mengatasi ancaman pemanasan global, dan kami membutuhkan partisipasi kalangan jurnalistik," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulut, Rachmat Mokodongan, di Manado, Sabtu.

Dinas kehutanan Provinsi Sulut telah menyiapkan ratusan ribu bibit pohon yang akan disalurkan kepada organisasi kemasyarakat, organisasi profesi dan sebagainya, untuk dimanfaatkan sebaik mungkin.

Menurutnya, jika kalangan jurnalistik membutuhkan bibit pohon ke Dinas Kehutanan Provinsi Sulut, sebaiknya mengajukan permohonan untuk dilayani sesuai kebutuhan yang ada.

"Manfaatkan dengan baik bantuan bibit-bibit pohon dari pemerintah, dengan diarahkan penanamannya pada lokasi hutan kritis dan sebagainya," katanya.

Mokodongan juga menghimbau kalangan wartawan untuk selalu mensosialisasikan bahaya perambahan hutan dan lahan, terutama ancaman pemanasan global.

"Jika hutan selalu dirambah oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, akan terjadi kerusakan lingkungan serta bahaya bencana alam bisa mengancam," katanya.

(T.H013/R009)

Sumber: ANTARA News (Minggu, 7 Pebruari 2010 01:18 WIB)

Harimau Sumatera di Riau Punah 2015

Pekanbaru (ANTARA News) - Keberadaan harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) di Provinsi Riau diprediksi akan punah paling cepat pada tahun 2015, akibat kehilangan habitat dan perburuan yang hingga kini terus menjadi ancaman utama.

"Dengan kondisi ancaman yang ada sekarang, harimau Sumatera di Riau diperkirakan bisa punah paling cepat lima tahun lagi. Hal itu bisa berawal dari kepunahan ekosistem, dimana harimau yang tersisa tidak memungkinkan lagi untuk berkembang biak," kata Koordinator Monitoring Perdagangan Satwa WWF Riau, Osmantri, di Pekanbaru, Minggu.

Berdasarkan data WWF, jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi berdasarkan belangnya tinggal 30 ekor atau sekitar 10 persen dari jumlah populasi satwa liar itu di Pulau Sumatera.

Menurut dia, ancaman dari hilangnya habitat dan perburuan tidak sebanding dengan kemampuan harimau untuk berkembang biak. Seekor harimau betina diperkirakan bisa hidup di alam liar selama 15 tahun. Selama masa hidupnya, tiap individu hanya bisa melahirkan sebanyak tiga kali. Parahnya lagi, cuma dua ekor anak harimau yang maksimal bisa bertahan hidup sampai dewasa.

Osmantri mengatakan, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab sulitnya memberantas aktivitas perburuan harimau. Selama kurun waktu 1998 hingga 2009, telah ada sebanyak 46 ekor harimau ditemukan mati akibat konflik dengan manusia dan perburuan. Artinya, bisa dikatakan rata-rata sebanyak tujuh ekor harimau mati di Riau setiap tahun.

Namun, lanjut Osmantri, terjadi ketimpangan dalam proses pengusutan hukum karena hanya ada tiga kasus terkait perburuan harimau yang berakhir di pengadilan dalam periode waktu yang sama. Kasus perburuan dan pembunuhan harimau pernah disidangkan di Riau antara lain pada tahun 2001, 2004 dan 2009. Pada kasus terakhir, persidangan kasus perburuan dan pembunuhan harimau bertempat di Pengadilan Negeri Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir.

"Tapi bisa dikatakan hukuman yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera karena semua vonis kepada pelaku hanya penjara selama setahun," katanya.

"Penegakan hukum terhadap perburuan dan pembunuhan harimau di Riau paling lemah diantara daerah lainnya di Sumatera," lanjut Osmantri.

Untuk perdagangan kulit harimau, ujar Osmantri, biasa menggunakan jaringan antarprovinsi yang terjalin sangat rapi dan sulit dilacak. Jaringan perdagangan itu kerap dilindungi oleh oknum pemerintah hingga pemodal besar yang bermuara ke Singapura dan Malaysia.

Ia memperkirakan hingga kini ada sedikitnya 24 pemburu harimau aktif yang menyalurkan hasil buruan ke 34 penampung dari yang kecil hingga penampung besar. Di Pekanbaru, ujarnya mencontohkan, sedikitnya ada sembilan toko emas dan dua toko obat cina yang menjual bagian tubuh harimau dengan leluasa.(F012/A038)


Sumber: ANTARA News (Minggu, 7 Pebruari 2010 14:42 WIB)

Populasi Burung Hantu Ditemukan Kembali di Rangkasbitung

Rangkasbitung (ANTARA News) - Populasi "burung hantu" (spesies elang) setelah menghilang dari habitatnya ternyata kini ditemukan kembali di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

"Burung itu sekitar lima ekor karena suara mereka sahut-bersahutan di pohon besar itu," kata Sahrul Sabar (45) warga Judan, Desa Rangkasbitung Timur, Kabupaten Lebak, Sabtu.

Sahrul mengatakan, sejak 15 tahun warga di sini sudah tidak mendengarkan lagi bunyi burung hantu karena habitat mereka yang berlindung di pohon Ambon peninggalan zaman Belanda ditebang masyarakat.

Selain itu, mereka juga merasa kesulitan untuk mendapatkan makanan berupa kodok maupun ikan karena areal persawahaan menjadi pemukiman penduduk.

Kondisi demikian, kata dia, mengakibatkan populasi burung hantu melakukan imigrasi ke luar daerah akibat habitatnya terganggu juga menipisnya makanan.

"Saya mendengar bunyi burung hantu itu terakhir pada tahun 1995 lalu," kata Sahrul Sabar.

Dia juga mengatakan, sekitar tahun 1970-an sebagian besar warga di wilayah Rangkasbitung setiap malam selalu mendengar bunyi burung hantu di pohon-pohon besar.

Frekuensi bunyi burung hantu bisa terdengar sekitar satu kilometer dengan suara merdu serta menyeramkan.

Mereka biasanya mendengar bunyi burung hantu mulai pukul 20.00 sampai 04.30 WIB dan saling sahut-bersahutan sesama teman lain.

"Jika burung hantu berbunyi pada malam hari maka warga tidak ada yang berani ke luar rumah," katanya.

Dia menyebutkan, burung hantu adalah kelompok burung yang merupakan anggota ordo Strigiformes.

Burung ini termasuk golongan burung buas (karnivora, pemakan daging) dan merupakan hewan malam (nokturnal).

Diperkirakan tahun 1990-an, populasi burung hantu di Rangkasbitung sekitar 50 ekor dan mereka berkembang biak di pohon-pohon besar sebagai tempat berlindung.

Sebab burung pemakan tikus, serangga dan kodok kini semakin punah akibat terjadi kerusakan hutan itu.

Menurut dia, kehadiran burung hantu masih dianggap pembawa pratanda buruk, seperti akan terjadi musibah bencana alam atau kematian. Oleh karena itu, sebagian warga banyak melakukan pemburuan untuk dimusnahkan.

Padahal, burung itu termasuk dilindungi oleh undang-undang tentang flora dan fauna.

"Mnculnya bunyi burung hantu pada Sabtu dinihari itu tentu mengingatkan kita pada kematian. Sebab burung hantu itu selalu pertanda ada orang meninggal dunia," katanya.

Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak Asep Mauladi, mengatakan pihaknya merasa senang jika burung hantu itu ditemukan kembali di Rangkasbitung.

Karena itu, pihaknya akan mendata kembali populasi burung hantu yang ada di Kabupaten Lebak.

Pendataan tersebut, lanjut Asep Muladi , untuk mengetahui sejauh mana keberadaan populasi burung hantu baik di kawasan hutan bagian selatan dan tengah Kabupaten Lebak.

"Saat ini populasi burung hantu berkurang bahkan terancam punah," katanya.

Sementara itu, Nan Jumhana (45) warga Pasir Kongsen, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, menyatakan, dirinya sejak kecil sering mendengar burung hantu di belakang rumah. Namun sejak sekitar awal tahun 1990-an hingga kini belum mendengar kembali burung hantu itu.

"Kalau dulu saya setiap malam selalu mendengar suara burung hantu saling bersahutan antara satu dengan yang lainnya mulai pukul 21.00 sampai 04.00 WIB yang berlindung di pohon besar itu," katanya.

(PK-MSR/R009)

Sumber: ANTARA News (Minggu, 7 Pebruari 2010 03:09 WIB)

Pemangku Kepentingan Lingkungan Dunia Bertemu di Bali

Denpasar, 6/2 (ANTARA) - Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan internasional kelompok utama global dan pemangku kepentingan bidang lingkungan, yang akan berlangsung di Bali, 21-22 Februari 2010.

Menu utama pertemuan itu adalah membuat dasar pertukaran isu dan konsultasi tentang lingkungan hidup global, demikian surat elektronik dari Program Lingkungan PBB yang dikutip ANTARA News di Denpasar, Sabtu.

Pertemuan internasional dengan 1.200 anggota delegasi dari berbagai negara dan 100 menteri lingkungan hidup akan disusul dengan Sesi Khusus Ke-11 Dewan Pemerintahan PBB/Forum Menteri Lingkungan Hidup Global pada 24-26 Februari nanti.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan membuka forum lingkungan global yang akan diselenggarakan di Balai Sidang Internasional Bali di Nusa Dua, Bali, itu dan memberikan pesan khususnya terkait kontribusi yang diberikan Indonesia.

Indonesia yang memiliki sekitar 5 juta kilometer persegi laut di dalam wilayah kedaulatannya, akan menawarkan satu pemikiran tentang kesepakatan terkait kelautan yang merupakan tindak lanjut dari Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado, Mei 2009.

Dalam proses pendahuluannya, sesuai dengan Aturan Nomor 69 tentang prosedur di tubuh Program Lingkungan PBB (UNEP), organisasi yang diakreditasi badan PBB itu akan menerima dokumen asli untuk dibahas.

Selain berbagai organisasi itu, Komite Perwakilan Permanen dalam Program Lingkungan PBB juga akan mendapat dokumen serupa, dilanjutkan forum konsultasi dengan masyarakat madani sehingga Dewan Pemerintahan bisa mendapat masukan dalam diskusi sebelum melangkah pada ranah kebijakan dan isu tematik lain.

Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner akan membuka forum diskusi utama, dengan topik kunci pada masalah terkait hasil capaian Konferensi Luar Biasa Pihak-pihak dalam Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam, dan Konvensi Stockholm.

Tujuan utama pembahasan hal itu guna meningkatkan kerja sama dan koordinasi di antara negara di dalam konvensi-konvensi itu.

Selain itu, juga akan dibuka diskusi tentang lingkungan dalam sistem multilateral, pemerintahan lingkungan internasional dan pembangunan berkelanjutan.

Diskusi dengan topik khusus masih dilanjutkan dengan sejumlah pembicaraan tentang ekonomika hijau, keragaman hayati dan ekosistem.

Sementara itu, dalam surat elektrinikanya, Institut Internasional Bagi Lingkungan dan Pembangunan (IIED) menyatakan, berbagai pertanyaan yang tidak terjawab mengancam kepercayaan terhadap pemerintahan di dunia terkait pendanaan yang program-program pengurangan dampak perubahan iklim global yang telah dicapai dalam Kesepakatan Kopenhagen.

Dalam Kesekapatan Kopenhagen, negara-negara maju diwajibkan untuk menyediakan 30 miliar dolar AS sejak 2010 hingga 2013, dan dana sebanyak 100 miliar dolar AS setahun sejak 2020.

Seluruh skema pembiayaan itu ditujukan bagi negara-negara berkembang yang berpotensi mengurangi dampak negatif perubahan iklim global.

"Bagaimanapun, masih jauh dari jelas untuk mengetahui asal-muasal pendanaan itu, apakah itu sesuatu yang benar-benar baru dan bersifat tambahan, pula bagaimana pengalokasiannnya dan penundaannya bisa terjadi," kata peneliti senior IIED, Saleemul Huq.

Huq dan kelompok peneliti senior di IIED telah mengeluarkan satu telaah tentang hal itu, yang dirangkum dalam enam pertanyaan besar.

Tim peneliti itu terdiri dari Direktur Stusi Lingkungan Universitas Brown di Amerika Serikat, Timmons Roberts, peneliti senior di Pusat Studi Komparatif dan Internasional Universitas Zurich, Martin Stadelmann.

"Berbagai kritik bisa diajukan, bahwa kebanyakan janji di Kopenhagen itu merupakan `bantuan daur ulang`," kata Roberts.

Menurut dia, sudah banyak sekali kesepakatan yang diciptakan namun tidak terwujud sebagaimana mestinya, dan kita tidak lagi bisa berada pada keadaan itu jika berurusan dengan perubahan iklim global.

"Untuk bisa menanggulangi resiko kegagalan itu, mutlak diperlukan lebih banyak diskusi yang lebih luas tentang bagaimana pendanaan itu diatur, dimonitor, dan dijejaki," katanya.(A037/A038)


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 6 Pebruari 2010 12:10 WIB)

2010-02-21

Penerima Kalpataru Akan Kembalikan Penghargaan

Pekanbaru (ANTARA News) - Pemimpin Talang Mamak, suku asli Riau yang bermukim di Desa Sungai Ekok, Kecamatan Rakit Kulim, akan mengembalikan piala Kalpataru sebagai protes atas hilangnya hutan adat mereka.

"Hati saya sangat sakit. Kami tidak lagi punya Rimba Puaka. Entah bagaimana nasib masyarakat kami ke depannya," kata Patih Laman (89), pemimpin Talang Mamak, saat mengunjungi Kantor Berita ANTARA News Biro Riau di Pekanbaru, Jumat.

Patih Laman mendapat piala Kalpataru pada 2003 karena dinilai pemerintah berhasil menjaga dan melestarikan Penyabungan dan Penguanan, satu-satunya hutan adat Talang Mamak yang tersisa.

Ketika itu, tiga hutan adat lainnya, yang biasa disebut masyarakat Talang Mamak sebagai Rimba Puaka, yaitu kawasan hutan Sungai Tunu (104,933 ha), hutan Durian Jajar (98.577 ha) dan hutan Kelumbuk Tinggi Baner (21.901 ha), sudah ditebangi dan berganti sawit.

Belum lama ini, hutan Panyabungan dan Penguanan akhirnya juga tak bisa diselamatkan lagi oleh Patih Laman, dan berubah menjadi perkebunan sawit.

"Saya akan menyerahkan Kalpataru kepada Pak Gubernur," kata Laman lirih.

Akibat perjuangannya menghalangi pengrusakan hutan itu, Patih Laman sakit dan kini berobat ke Pekanbaru.Menurut Patih Laman, Rimba Puaka merupakan tempat bergantung suku pedalaman yang masih sangat tradisional.

Itu sebabnya, mereka secara turun-temurun mereka memelihara kawasan hutan Penyabungan dan Penguanan seluas 1.813 ha.

"Saya telah puas mengadu ke pemerintah tapi tidak ditanggapi. Hutan kami habis berganti kebun sawit," kata Laman.

Ia mengaku sangat letih tidak hanya karena menempuh perjalanan lintas darat sejauh 300 kilometer dari kampungnya hingga Pekanbaru tetapi juga akibat beban derita batin yang menderanya karena tidak dapat mempertahankan hutan puaka yang seharusnya dia jaga dengan baik.

Laman bersama masyarakatnya telah berjuang agar kawasan hutan tersebut tidak dilepaskan pada perusahaan atau perorangan, namun upaya tersebut sia-sia.

Ia mengaku sangat sedih dengan kenyataan yang dihadapinya. Penghargaan dari pemerintah pusat itu hanya sebentar membuatnya bangga tapi kemudian membuatnya menderita hingga jatuh sakit.

"Penghargaan yang diberikan kepada saya itu seakan membujuk saya agar rela menukarkan hutan adat kami dengan Kalpataru. Padahal tidak. Saya akan kembalikan Kalpataru agar hutan kami kembali," katanya.(E010/A038)


Sumber: ANTARA News (Jumat, 5 Pebruari 2010 14:08 WIB)

ITB Ciptakan Rekor dengan Peta Sampah Plastik

Bandung (ANTARA News) - Mahasiswa pelaksana "ITB Fair 2010" di Bandung, Jumat, mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) atas prestasinya membuat replika peta Indonesia terbesar, 15 x 5 meter, dari kumpulan sampah plastik.

Menurut ketua panitia Achmad Faris, ide awal pembuatan peta ini adalah keprihatinan terhadap pengelolaan sampah plastik yang tidak benar.

"Kita kan sering kalau lagi di kantin atau di warung-warung melihat sampah plastik yang dibuang sembarangan," kata Faris.

Menurut dia, bila masyarakat Indonesia terus tidak peduli pada sampah plastik mungkin Indonesia akan seperti peta itu.

"Lama-lama mungkin pulau-pulau di Indonesia akan dipenuhi sampah seperti ini," kata Faris.

Pembuatan peta itu membutuhkan waktu selama tujuh hari. Sedangkan proses pengumpulan sampahnya membutuhkan waktu satu bulan.

"Sampah-sampahnya kami kumpulkan dari ITB dan sekitarnya, dengan volume sampai 2,5 m3," katanya.

Wakil Direktur Museum Rekor Indonesia, Sutigno Susilo, mengatakan, pemberian rekor ini tidak hanya melihat hasil akhirnya saja, tapi makna di baliknya.

Menurut dia gerakan ini sarat akan kepeduian terhadap lingkungan hidup.

"Mereka mengajak 50 kampus lain untuk berbuat yang sama, siapa tahu nanti bisa dibawa ke Walikota Bandung sehingga satu kota bisa ikut peduli," kata Sutigno.

Dalam acara ini, perwakilan dari 50 universitas seluruh Indonesia yang diundang dalam "ITB Fair" turut mendukung gerakan ini dengan melakukan pengisian sampah plastik pada peta secara simbolik.

Menurut Faris, peta ini akan dipajang selama kegiatan "ITB Fair" berlangsung dan setelahnya akan diserahkan pada salah satu lembaga lingkungan hidup di Gede Bage untuk pembelajaran bagi masyarakat.


(T.PK-ASJ/S026)

Sumber: ANTARA News (Jumat, 5 Pebruari 2010 20:58 WIB)

Koalisi LSM Minta KPK Usut Mafia Kehutanan

Jakarta (ANTARA News) - Koalisi beberapa LSM dengan nama Koalisi Anti Mafia Kehutanan meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut mafia kehutanan dan kasus-kasus korupsi di kehutanan.

"Kami meminta KPK menjadikan kasus-kasus korupsi kehutanan sebagai salah satu prioritas penting," kata Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Walhi M Teguh Surya mewakili Koalisi Anti Mafia Kehutanan di Jakarta, Jumat.

Mereka juga meminta KPK untuk membentuk satu satuan tugas khusus yang fokus menyidik kasus-kasus perusakan hutan.

KPK juga diminta menindaklanjuti sembilan kasus besar di bidang kehutanan dengan estimasi kerugian negara Rp6,66 triliun.

Sebagai tindak lanjut penanganan kasus, koalisi meminta kepada KPK untuk segera menahan tiga tersangka kasus kehutanan di Riau.

"Koalisi meminta tiga tersangka yang sudah ditetapkan dalam kasus di Riau untuk segera ditahan," kata Teguh.

Dua orang berinisial AR dan ST yang merupakan mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau serta BH, mantan Bupati Kampar.

Koalisi meminta kepada KPK, setelah menilai Penyidik PNS Kementerian Kehutanan, polisi, PPATK dan kejaksaan gagal menangkap para dalang terorganisir (masterminds) perusakan hutan Indonesia.

Koalisi melihat perusakan hutan Indonesia berlangsung secara sistematis, masif, dan terorganisir.

"Illegal logging dikendalikan oleh para penjahat kelas kakap dan antarnegara (trans-national crime). Perusakan yang lebih parah terjadi oleh konversi hutan secara ilegal yang digerakkan oleh para investor nakal dengan dibantu para pejabat. Konversi ini dilakukan dengan mengubah hutan menjadi perkebunan dan pertambangan," kata Teguh.

Koalisi melihat konversi ilegal ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia.

Dari laporan Tim Terpadu Revisi RTRWP Kalteng 2009, konversi hutan di Kalimantan Tengah seluas 7,8 juta hektar hutan telah berubah menjadi kebun sawit, areal tambang, dan bentang alam lainnya yang bukan hutan di provinsi ini.

Seluruh bupati terdata memfasilitasi perusakan hutan oleh perusahaan-perusahaan perusak hutan dengan menerbitkan ijin usaha perkebunan dan atau kuasa pertambangan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa dalam 6 tahun terakhir, seluas 5,8 juta hektar hutan Papua rusak (www.bpkhpapua.org), bahkan diperkirakan hutan Papua akan habis pada tahun 2020.

Koalisi menyebutkan, data dari EIA/Telapak tahun 2007 bahwa Abdul Rasyid yang pernah merajalela merusak Taman Nasional Tanjung Puting bahkan tidak pernah menjadi tersangka oleh polisi dan Ali Jambi melenggang bebas di Singapura.

Komisaris Polisi MR yang menerima miliaran rupiah dari pengusaha yang diduga pelaku illegal logging divonis bebas pengadilan karena pembuktian jaksa yang lemah.

Bahkan putusan yang menusuk rasa keadilan publik ini menjadi semakin kukuh hanya karena jaksa terlambat mengajukan banding.

Investor perkebunan dan pertambangan perusak hutan skala besar pun sama merajalela.

Pejabat Penyidik Departemen Kehutanan (PPNS Dephut) sama sekali tidak pernah mengajukan perusahaan pengkonversi hutan ilegal ke persidangan.

Kasus yang terkait dengan PT. RAPP di Riau hingga kini tidak jelas penangangannya. Bahkan, dugaan pembalakan liar perusahaan ini justru di-SP3 oleh polisi.

Demikian juga dengan pelanggaran RKT oleh HPH Austral Byna di Kalimantan Tengah pun tidak pernah disidik sama sekali.

Pencaplokan wilayah HPH oleh PT. Antang Ganda Utama (MAKIN Group) di Kalimantan Tengah tidak diusut sama sekali. Puluhan ijin pertambangan yang dikeluarkan Bupati Barito Utara di atas lahan konsesi HPH Austral Byna pun bebas melenggang.

Koalisi juga mendengar bahwa para perusak hutan ini akan bisa disidik dengan menggunakan undang-undang antipencucian uang yang telah mencantumkan kejahatan kehutanan sebagai salah satu kejahatan awal (proceeds of crime) pencucian uang.

(N006/B010)

Sumber: ANTARA News (Jumat, 5 Pebruari 2010 09:14 WIB)

Komunitas Bisa Kurangi Risiko Perubahan Iklim

Denpasar (ANTARA News) - Para ahli perubahan iklim global sepakat bahwa komunitas masyarakat termasuk pemerintahan di mana saja bisa menyumbang dalam pengurangan dampak negatif perubahan iklim dunia.

Puluhan delegasi yang berkumpul dalam Konferensi Internasional ke-41 Tentang Adaptasi Berbasis Komunitas Perubahan Iklim Global di Daar es Salaam, Tanzania, menyimpulkan hal itu, sebagaimana dikatakan dalam surat elektronika yang diterima ANTARA, di Denpasar, Kamis petang.

Dalam pertemuan internasional itu, para delegasi, ahli di berbagai bidang, dan pegiat lingkungan hidup saling berbagi tentang pengurangan dampak negatif perubahan iklim global melalui berbagai hal.

Pencarian sumber air bersih, praktik pertanian alternatif, dan strategi pengurangan risiko menjadi menu-menu diskusi yang dikembangkan.

"Perubahan iklim global merupakan masalah global tetapi dampaknya terjadi secara lokal dan itu berarti memerlukan pemecahan yang khusus. Komunitas di seluruh dunia telah merasakan dampaknya dan mengambil langkah untuk mengurangi kerentanan mereka," kata Dr Hannah Reid, ahli dari Institut Internasional Lingkungan dan Pembangunan.

Salah satu tujuan utama pertemuan itu untuk mengidentifikasi strategi paling tepat dalam pembagian informasi di dalam dan di antara komunitas yang rentan, merangsang adaptasi berbasis komunitas ke tingkatan kebijakan nasional dan program internasional.

"Komunitas sangat tepat untuk dipacu dalam proyek adaptasi ini karena mereka mengetahui sangat baik tantangan lokal dan berdiri paling depan untuk menghadapi hal itu. Adaptasi terhadap perubahan iklim bisa dan harus terjadi di tingkatan komunitas tetapi memerlukan kebijakan nasional agar hal itu bisa terwujud," katanya.

Menurut Reid, berbagi pengetahuan dan praktik adaptasi dari berbagai bagian di dunia bisa meningkatkan kewaspadaan Tanzania dan negara rentan lain.

(T.A037/R009)

Sumber: ANTARA News (Kamis, 4 Pebruari 2010 21:38 WIB)

2010-02-20

Danau Tondano Terancam Kering

Manado (ANTARA News) - Danau Tondano yang berada di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), terancam dangkal atau kekeringan, karena kurangnya penanggulangan lingkungan dari pemerintah dan masyarakat.

"Masyarakat terkesan kurang serius menangani persoalan di Danau Tondano yang bisa berakibat penurunan debit air secara signifikan," kata Kepala Badan Pengelolah Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Tondano, Widiasmoro Sigit, di Manado, Rabu.

Menurutnya, setiap tahun debit air danau itu turun sekitar 40 hingga 50 centimeter (cm) dan bisa kering 15 hingga 20 tahun mendatang.

Kondisi Danau Tondano diperparah dengan ancaman pemanasan global, tidak adanya penghijauan, meningkatnya aktifitas masyarakat, pembalakan liar, kebakaran, konversi hutan, pertambangan golongan C yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi.

"BP DAS Tondano hanya menangani persoalan di aliran sungai dari Danau Tondano, tetapi merasa prihatin dengan kondisi Danau yang saat ini terjadi degradasi," katanya.

Akibat degradasi lingkungan di danau itu, kedalaman danau menjadi sekitar 20 meter dari permukaan, padahala pada 1934 dalamnya mencapai 40 meter, sedangkan tahun 1983 sekitar 27 meter.

Anggota DPRD Sulut Steven Kandouw mengaku prihatin dan berharap pemerintah daerah menghijaukan kembali pesisir danau itu.

Menurutnya, Danau Tondano memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, seperti menyuplai air bersih ke Perusahaan Air Minum di Minahasa, Minahasa Utara serta Kota Manado, menjadi media budidaya ikan tawar, pembangkit listrik Tanggari dan Tonsea serta pariwisata.


Sumber: ANTARA News (Rabu, 3 Pebruari 2010 16:28 WIB)

Kerusakan Hutan Akibatkan Gajah Masuk Kompleks Chevron

Pekanbaru (ANTARA News) - Kawanan gajah liar yang memasuki kompleks PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Kecamatan Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, adalah akibat satwa dilindungi tersebut kesulitan mencari makan di hutan habitatnya yang rusak parah .

"Gajah yang masuk kompleks perusahaan berasal dari Kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja. Namun, karena habitat mereka di Balai Raja telah rusak parah, maka gajah kini sulit mendapatkan makanan dan terpaksa masuk di areal perusahaan," kata Humas WWF Riau Syamsidar kepada ANTARA di Pekanbaru, Rabu.

Syamsidar mengatakan hal itu terkait masuknya puluhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di kompleks CPI Duri sejak 24 Januari.

Syamsidar mengatakan, kondisi hutan di Balai Raja yang merupakan habitat gajah kini tinggal bersisa sekitar 120 hektare. atau kurang dari 10 persen, dari luas sebelumnya yang mencapai 18 ribu hektare saat ditetapkan Menteri Kehutanan pada 1986.

Kondisi habitat tempat mencari makan satwa bongsor itu juga makin sempit karena hutan yang tersisa merupakan rawa-rawa dan sering meluap saat musim hujan.

"Kompleks Chevron sebenarnya bukan lintasan gajah, tapi sekarang sepertinya menjadi jalur lintasan alternatif karena habitat mereka makin sempit akibat beralih fungsi menjadi kebun sawit dan perumahan warga," katanya.

Berdasarkan catatan ANTARA, kawanan gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) sebelumnya pernah berkeliaran di dalam kompleks CPI Duri akibat meningkatnya konflik dengan manusia sejak tahun 2006.

Ia menambahkan, WWF kini bekerja sama dengan CPI berupa melakukan pembekalan pada sekuriti perusahaan agar tidak terjadi konflik antara gajah dengan manusia di dalam areal perusahaan.

"Kami hanya melakukan pembekalan kepada sekuriti karena penghalauan gajah semestinya dilakukan BKSDA Riau," katanya.
(F012/B010)


Sumber: ANTARA News (Rabu, 3 Pebruari 2010 13:19 WIB)

Walhi: Stop Alih Fungsi Rawa di Palembang

Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel) mendesak pemda dan para pihak di daerahnya, untuk menghentikan segala bentuk alih fungsi, termasuk penimbunan, rawa di Kota Palembang menjadi kantor pemerintah maupun kepentingan bisnis swasta.

Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) WALHI Sumsel, Hadi Jatmiko, mendampingi Direktur Eksekutif, Anwar Sadat, di Palembang, Selasa, menegaskan desakan stop alih fungsi rawa itu, guna mencegah bencana dan memaksimalkan resapan air untuk menghindari banjir.

Hadi menyebutkan, sebagian dari luas Kota Palembang 40.000 ha adalah rawa yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 didefinisikan bahwa rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat, serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis.

"Atas dasar inilah maka wajib bagi pemerintah untuk menjaga dan melindungi ekosistem rawa itu," kata Hadi pula.

Namun kenyataan yang terjadi saat ini, lahan rawa yang tadinya mempunyai luas 22.000 ha, kini hanya tersisa sekitar 30 persen dari luas tersebut (7.300 ha ).

Penyusutan lahan rawa itu, akibat alih fungsi rawa yang dijadikan perumahan, perkantoran dan pergudangan oleh pihak swasta maupun pemda itu sendiri.

Dia mencontohkan, konversi rawa oleh PT Orchid Residence Indonesia seluas 8 ha untuk pembangunan apartemen, pembangunan Komplek Perumahan Citra Grand City oleh Ciputra Grup dengan luas lahan rawa mencapai 60 ha, pembangunan kantor Bank Sumsel di Jakabaring seluas 3 ha, pembangunan gedung DPRD Kota Palembang 5 ha, dan pembangunan fasilitas lainnya.

Parahnya, menurut Hadi, konversi rawa tersebut dilegalkan oleh Pemerintah Kota Palembang melalui Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Retribusi Lahan Rawa, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa untuk pengalihfungsian lahan rawa di Kota Palembang, pengembang cukup dengan membayar retribusi sesuai yang telah ditetapkan.

Atas bertambah luas lahan rawa yang dikonversikan itu (tersisa 7.300 ha), membuat Kota Palembang terus mengalami bencana banjir, baik banjir yang diakibatkan oleh hujan maupun karena pasang surut air Sungai Musi.

Tetapi dengan rentannya bencana banjir tersebut, tidaklah menjadikan Pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel untuk menghentikan semua kebijakan yang telah mengizinkan alih fungsi rawa di kota Ini, kata Hadi pula.

Dia menyebutkan keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang yang masih memberikan Izin terhadap rencana pembangunan gedung perkantoran untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel seluas 80 ha di lahan rawa Jakabaring, serta pemberian Izin terhadap pembangunan gedung Carrefour seluas 5 ha di Jakabaring dalam waktu dekat ini yang juga mengalihkan fungsi lahan rawa.

Padahal dengan kebijakan itu, lanjut Hadi, dapat dipastikan bahwa ke depan akan semakin meluas dan merata bencana banjir di seluruh pelosok kota itu.

Karena itu, WALHI Sumsel menolak rencana pembangunan kompleks perkantoran Pemprov Sumsel, gedung Carrefour, dan lainnya yang akan mengalih fungsikan (penimbunan) lahan rawa di Jakabaring karena akan berdampak timbul bencana banjir.

WALHI Sumsel juga mendesak segera mencabut atau merevisi Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa yang selama ini hanya melegitimasi pengalihfungsian lahan rawa di Kota Palembang.

Sebelumnya, sejumlah pedagang pengecer di Pasar Induk Jakabaring, Palembang, juga menyatakan keberatan bila Carrefour pindah ke kawasan itu, karena dinilai akan
mematikan bisnis mereka yang berlangsung di pasar tersebut.

Seperti diberitakan sebelumnya, Carrefour, sebuah perusahaan asal Prancis, akan membangun gedung di kawasan Jakabaring, Palembang.

Peluang ini setelah Pemprov Sumsel menyediakan lahan seluas dua hektare di Jakabaring itu.

Asisten II Sekretaris Daerah Provinsi Sumsel, Eddy Hermanto, menjelaskan. lahan dua hektare itu akan dibangun oleh Carrefour dengan pola BOT (Build Operate and Transfer).

Carrefour yang berseteru dengan PT BJLS (Bayu Jaya Lestari Sukses) beberapa waktu soal penyewaan mereka di Palembang Square, Jl Angkatan 45, diberi waktu maksimal hingga awal tahun depan di mal tersebut.

Menurut Eddy Hemanto, pola BOT yang ditawarkan sangat menguntungkan Pemprov Sumsel.

Lahan kosong milik pemerintah Sumsel itu berada di Jakabaring, di samping Gedung Olahraga (GOR) Jakabaring, akan dimanfaatkan dan dibangun PT Carrefour Indonesia dengan pola BOT selama 20-30 tahun.(T.B014/K004)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 2 Pebruari 2010 23:31 WIB)

Nokia Daur Ulang 10.000 Ponsel di Indonesia

Jakarta (ANTARA News) - Produsen ponsel Nokia mengaku telah mendaur ulang 10.000 ponsel bekas dan asesorisnya di Indonesia dalam program penukaran ponsel bekas dengan penanaman sebatang pohon.

Mei-Ling Tan, manajer daur ulang Asia Tenggara perusahaan itu, di Cisarua, Bogor, Jabar, Selasa, mengatakan, jumlah ribuan ponsel bekas itu dikumpulkan dalam kurun waktu Agustus hingga Desember 2009.

Sebagai ganti ponsel bekas milik masyarakat yang dikumpulkan pada 98 kota di pusat layanan perusahaan itu, Nokia menanam pohon di sejumah daerah di Indonesia.

Setiap orang yang menyerahkan ponsel bekasnya mendapat sertifikat dari Nokia dan WWF yang menyebutkan dia telah menanam sebatang pohon.

Menurut Mei-Ling Tan, perusahaannya telah menanam 4.000 pohon di

sepanjang daerah aliran Sungai Ciliwung, dan 6.000 pohon dari komitmen 10.000 pohon di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah.

"Kita juga telah menanam lebih dari 10.000 pohon di Taman Nasional Rinjani, Lombok," katanya.

"Nokia secara resmi meluncurkan program `Nokia Give and Grow` pada Agustus 2009, meski telah dimulai pada 1997 di Swedia dan Inggris," katanya.

Ponsel yang terkumpul, kata Mei-Ling Tan, kemudian didaur ulang oleh perusahaan pendaur ulang dari Singapura, TES-AMM.

Perwakilan perusahaan TES-AMM Singapore, Bambang N Gyat, mengatakan, Nokia memilih perusahaannya sejak tiga tahun yang lalu untuk mendaur ulang ponsel dan asesories ponsel.

Menurut dia, ponsel dan asesories yang didaur ulang itu dikembalikan kepada bahan dasarnya, seperti "chasing" dikembalikan ke bentuk plastik dan material logam dikembalikan ke bentuk emas dan platina.

Bambang mengatakan, perusahaannya mendaur ulang dengan proses yang ramah lingkungan sesuai standard internasional.

Nokia dan perusahaan pendaur ulang dari Singapura mendonasikan dana kepada WWF-Indonesia untuk program penghijuan pada lahan seluas 10 hektare di DAS Ciliwung.(N006/R009)


Sumber: ANTARA News (Selasa, 2 Pebruari 2010 19:10 WIB)

2010-02-19

Eksplotasi Telur Penyu di Sumbar Mengkhawatirkan

Padang (ANTARA News) - Pusat data lembaga penelitian Sea Turtle Information Centre of Indonesia (Setia) menunjukkan, eksploitasi terhadap telur penyu di Sumatra Barat dalam siklus empat tahunan mengalami trend mengkhwatirkan karena mengalani peningkatan, padahal penyu adalah binatang langka yang dilindungi dunia.

Pada 2004, jumlah telur penyu yang dieksploitasi mencapai 28.57 butir, meningkat tajam menjadi 58.94 butir pada 2008, kata peneliti Setia, Harfiandri Damanhuri di Padang, Minggu.

Staf pengajar di Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang itu menambahkan, dari penelitian di lapangan, diketahui eksploitasi itu termasuk telur dilindungi termasuk Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) yang merupakan hewan terancam punah dan dilindungi berdasarkan kesepakatan CITES appendix I.

Eksploitasi telur penyu dilakukan nelayan dan diperjualbelikan secara bebas untuk konsumsi, sementara jumlah pedagang telur penyu di kawasan itu hingga 22 orang dan dapat berkurang atau bertambah tergantung volume telur yang dipasok pedagang pengumpul dan nelayan, kata Harfiandri.

Menurutnya, jika tidak ada upaya nyata dari pemerintah dan pihak terkait lainnya, maka kemungkinan besar hewan langka ini tidak dapat lagi ditemukan di sepanjang pesisir pantai atau pulau-pulau kecil di wilayah laut Sumbar.

Harfiandri meminta Pemerintah Daerah Sumbar sungguh-sungguh melindungi hewan langka ini, apalagi Sumbar telah ditetapkan sebagai satu dari 15 propinsi di Indonesia sebagai kawasan konservasi penyu.

Ia mengatakan, upaya perlindungan penyu di Sumbar baru dalam bentuk penetapan kawasan konservasi di Pulau Karabak Ketek, Kabupaten Pesisir Selatan sejak 2005, dan pulau kecil di Kota Pariaman dan Kabupaten Pasaman.

Selain itu, pemda dan pihak terkait beberapa kali melepaskan anak penyu (tukik) hasil penangkaran ke laut lepas, tambahnya.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 31 Januari 2010 22:44 WIB)

Seribu Penderita Kusta Tanam Bakau

Surabaya (ANTARA News) - Sedikitnya seribu penderita penyakit kusta memperingati Hari Kusta se-Dunia dengan menanam bakau di areal Ekowisata Mangrove, Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu.

Peringatan Hari Kusta se-Dunia itu dihadiri Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, Wali Kota Surabaya Bambang D.H., para pejabat di lingkungan Pemprov Jatim, dan Pemkot Surabaya, serta para petinggi TNI/Polri.

"Saya bangga bisa berkumpul dengan para penderita kusta. Mereka ternyata punya kepercayaan diri dan memiliki sejumlah keterampilan," kata Wagub Jatim.

Menurut dia, kegiatan tersebut perlu dilestarikan untuk menghilangkan stigma dan anggapan negatif terhadap para penyandang kusta.

Ia mengemukakan, penderita kusta di Indonesia setiap tahunnya mencapai sekitar 17.000 orang dan menduduki peringkat ketiga sedunia, sedangkan Jatim menyumbang 30 persen dan menduduki peringkat pertama nasional.

"Kalau gubernur, wakil gubernur, wali kota, TNI Polri atau masyarakat umum menanam mangrove itu sudah biasa dan umum. Tapi kalau penderita kusta ikut menanam, baru itu luar biasa," kata Wagub didampingi istrinya, Ummu Fatma Saifullah Yusuf.

Oleh sebab itu, dia meminta kepada para penderita kusta untuk tidak merasa rendah diri dalam bergaul dengan masyarakat. "Karena kalau hidup kita bermanfaat bagi orang lain, itu lebih mulia daripada orang lain. Dan juga saya berpesan kepada masyarakat di Jatim apabila ada yang menemukan gejala penyakit kusta segera membawanya ke rumah sakit," katanya.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Indonesia (Permata) Bahrul Fuad, mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan untuk mengahapus stigma dan pandangan negatif masyarakat terhadap penderita kusta.

Kegiatan itu juga untuk memperlihatkan kemampuan para penderita penyakit kusta. "Kami berharap masyarakat tidak takut lagi dengan kusta. Kami juga ingin masyarakat berkarya bersama penderita kusta tanpa ada membeda-bedakannya," katanya.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 31 Januari 2010 16:27 WIB)

Gajah Liar Rusak Pondok Petani di Aceh

Tapaktuan (ANTARA News) - Sekawanan gajah sumatra (elephas maximus sumatranus) liar yang diperkirakan tiga ekor merusak belasan pondok petani sawit di Desa Simpang, Kecamatan Bakongan Timur, Kabupaten Aceh Selatan.

Wartawan ANTARA dari Tapaktuan Minggu melaporkan, selain menghancurkan belasan pondok petani, satwa dilindungi itu juga merusak tanaman perkebunan seperti pisang, sawit dan Pinang.

Sekawanan gajah terdiri dari dua gajah dewasa dan seekor gajah kecil tersebut sejak dua minggu terakhir juga memasuki pemukiman penduduk dusun Alue Buloh desa Simpang.

Kepala desa Simpang, Hamdan mengatakan kerugian yang ditimbulkan akibat gangguan gajah itu diperkirakan mencapai puluhan juta.

"Selain pondok kayu milik petani, sekitar empat hektar tanaman sawit milik warga juga dirusak," kata Hamdan.

Menurutnya, sejak kawanan "Po Meurah" itu berkeliaran dipemukiman penduduk, warga desa yang berjarak sekitar 75 kilometer dari ibukota Kabupaten Aceh Selatan, Tapaktuan itu sudah tidak berani melakukan aktifitas pada malam hari.

"Sejak turunnya gajah ke pemukiman, warga lebih banyak mengurung diri di rumah, hanya beberapa pemuda yang berusaha mengusir kawanan gajah itu," katanya.

Didampingi Sekretaris desa (sekdes) Razali, ia mengatakan upaya pengusiran dengan cara tradisional seperti menggunakan bola api dan mercon telah dilakukan, namun usaha itu belum menunjukan hasil bahkan kawanan gajah itu semakin garang.

Sementara itu Camat Trumon Timur, H Lahmuddin mengatakan warga yang berprofesi sebagai petani di desa Naca, Jambo Dalem, Kapa Sesak dan beberapa desa lainnya mulai cemas.

"Biasanya setelah menghabiskan tanaman perkebunan di desa Simpang, Bakongan Timur, kawanan gajah itu akan berpindah ke kecamatan Trumon Timur," kata Lahmuddin.

Baik warga desa Simpang dan camat Lahmuddin mengharapkan instansi terkait dan lembaga yang peduli satwa untuk menanggulangi dan menghalau meluasnya gangguan gajah.

"Sudah hampir sepuluh tahun wilayah kami diganggu satwa liar itu, namun belum ada tanda-tanda kepedulian dari pihak terkait untuk menanggulanginya. Kami berharap pemerintah segera membangun posko penanganan satwa liar sehingga warga dapat beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup," kata Camat Trumon Timur.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 31 Januari 2010 16:07 WIB)

Eksploitasi Telur Penyu di Sumbar Meningkat

Padang (ANTARA News) - Eksploitasi telur penyu di Sumatra Barat dalam siklus empat tahunan meningkat, meski hewan itu termasuk satwa langka yang dilindungi dunia, demikian data lembaga penelitian Sea Turtle Information Centre of Indonesia (Setia).

Di tahun 2004 diketahui eskploitasi telur penyu di Sumbar mencapai 28.57 butir dan meningkat tajam menjadi 58.94 butir pada 2008, kata peneliti Setia, Harfiandri Damanhuri, di Padang, Minggu.

Staf pengajar di Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang itu menambahkan, dari data-data Setia itu menunjukkan terjadi trend peningkatan eksploitasi telur penyu di Sumbar.

Bahkan dari penelitian di lapangan, eksploitasi juga menimpa telur Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), hewan yang terancam punah dan dilindungi berdasarkan kesepakatan CITES Appendix I, katanya.

Eksploitasi telur penyu dilakukan oleh nelayan, yang kemudian memperjualbelikannya secara bebas untuk konsumsi.

Di kawasan Pantai Muaro Padang misalnya, terdapat sekitar 15 hingga 22 orang penjual telur penyu.

Ia menyebutkan, jumlah pedagang telur penyu dapat berkurang atau bertambah tergantung volume telur yang dipasok pedagang pengumpul dan nelayan.

Menurut dia, jika tidak ada upaya nyata pemerintahan dan pihak terkait lainnya mengatasi eksploitasi ini, maka kemungkinan besar suatu saat hewan langka ini tidak dapat lagi ditemukan di sepanjang pesisir pantai atau pulau-pulau kecil di Sumbar.

Harfiandri meminta pemerintah daerah Sumbar sungguh-sungguh dan serius melakukan upaya perlindungan terhadap hewan langka ini, apalagi Sumbar telah ditetapkan sebagai satu dari 15 provinsi di Indonesia sebagai kawasan konservasi penyu.

Ia mengatakan, upaya perlindungan penyu di Sumbar baru dalam bentuk penetapan kawasan konservasi di Pulau Karabak Ketek, Kabupaten Pesisir Selatan sejak 2005, lalu di pulau kecil di Kota Pariaman dan Kabupaten Pasaman.


Sumber: ANTARA News (Minggu, 31 Januari 2010 11:40 WIB)

2010-02-18

Pers Malaysia: Tentara Indonesia Terlibat Pencurian Kayu

Kuala Lumpur, (ANTARA News) - Sebuah harian terbesar Malaysia menurunkan berita bahwa tentara Indonesia terlibat dalam pencurian kayu (pembalakan liar) yang menghancurkan hutan dan memberikan kontribusi pada pemanasan global.

Dengan mengutip laporan Pusat Kerjasama Kajian Asia Timur (CEACoS) di Universitas Indonesia mengungkapkan sepanjang 1999-2006, terjadi penggundulan hutan di Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Malaysia yang melibatkan tentara Indonesia, mulai dari pangkat sersan hingga komandannya, demikian Utusan Malaysia, Sabtu.

Menurut Direktur Eksekutif CEACos Tirta N Mursitama, pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mencapai target pengurangan pencemaran hingga 26 persen mulai tahun 2005 hingga tahun 2020 dengan menghentikan pembalakan hutan secara ilegal, tapi sukar dilakukan karena adanya keterliban tentara dalam pembalakan kayu liar.

LSM itu mengeluarkan kajiannya di Universitas Indonesia beberapa hari setelah pemerintah Indonesia minta bantuan dana kepada negara-negara maju sebesar 1 miliar dolar AS untuk program penghijauan guna mengurangi pemanasan global.

Pembalakan hutan secara liar yang melibatkan tentara untuk menjual hasil kayu kemudian tanahnya dialihkan untuk perkebunan kelapa sawit.

Menurut Mursitama, pejabat militer menerima uang dari tentara bawahan yang terlibat dalam penebangan hutan liar, sedangkan segelintir elit tentara mempunyai hubungan erat dengan "cukong" atau ketua sindikat pembalakan hutan dengan ilegal.

Bentuk keterlibatan tentara Indonesia lainnya adalah investasi di perusahaan perkayuan dan menerima suap untuk menguruskan ijin penebangan hutan dari departemen kehutanan.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 30 Januari 2010 09:52 WIB)

Perusak Lingkungan Bisa Didenda Rp3 Miliar

Bekasi (ANTARA News) - Perusak lingkungan di Kota Bekasi akan dikenakan UU no 32 tahun 2009 yang memberikan sanksi berat bagi semua pihak yang melakukan pencemaran terhadap air, udara dan tanah dan pengenaan tersebut sudah didiskusikan dengan komisi Amdal dan pengadilan.

"Dengan UU 32 2009 yang menggantikan UU 23, seseorang atau badan usaha yang membuang sesuatu bahan berbahaya melebihi baku mutu, maka akan dikenakan sanksi hukuman minimal tiga tahun dan denda Rp3 Miliar," kata kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bekasi, Dudy Setyabudhi, di Bekasi, Sabtu.

Aparat BPLH yang tidak jeli melihat berbagai pelanggaran juga terancam dikenakan sanksi akibat tidak menjalankan tugasnya dengan hukuman minimal satu tahun hingga pengawasan betul-betul diterapkan.

Dudy menyatakan, industri-industri, rumah sakit, usaha rumah tangga, bengkel dan lainnya masih membuang limbah yang membahayakan media lingkungan dan parameternya melebihi ambang batas.

Untuk itu, ia akan melakukan sosialisasi terhadap pemberlakuan UU baru tersebut agar semua pihak mengetahui dan bisa menaati aturan tersebut.

Terkait dengan sampah yang mengandung bahan berbahaya beracun (B3) masuk ke lapak pengumpulan barang bekas di tempat penampungan barang bekas Pangkalan Bambu, RT 03 RW 01, Margahayu Bekasi Selatan, Dudi mengatakan, pemilik hanya akan menampung sampah plastik dan kayu saja.

Ia mengatakan, untuk menampung sampah atau limbah B3 harus ada ijin terlebih dahulu dari pusat, serta kajian-kajian dampaknya terhadap lingkungan sementara lapak penampungan sampah tersebut tidak pernah memiliki ijin.

"Kita sudah undang pemilik lapak, RT, lurah dan camat membahas tempat penampungan barang bekas yang diketahui ikut menampung sampah B3. Pemilik sudah berjanji, hanya akan menampung plastik dan kayu pengepakan saja," ujarnya.

Pihaknya juga mengingatkan pemilik lapak supaya menyimpan dan memilah barang bekas dengan hati-hati, bukan berantakan seperti selama ini.

Pemilik juga dilarang menumpuk barang bekas dan mengatur perputarannya, karena lokasi penampungan berada di pusat perdagangan Kota Bekasi.

"Kita minta mereka tidak menumpuk barang bekas dan perputarannya juga harus diperhatikan, supaya jangan sampai barang bekas menumpuk terlalu tinggi," ucapnya.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 30 Januari 2010 23:08 WIB)

Seribu Penggemar Sepeda Ontel Berparade di Bandung

Bandung (ANTARA News) - Seribuan penggemar sepeda ontel atau sepeda kumbang akan menggelar parade keliling Kota Bandung, Minggu (31/1) digelar dalam rangka mensosialisasikan kendaraan ramah lingkungan dan penggunaan sepeda kepada masyarakat.

"Penggemar sepeda ontel dari beberapa kota di Indonesia hadir, termasuk dari Singapura dan Malaysia," kata Panitia Parade Sepeda Ontel Bandung, Mateta Rizalulhaq di Bandung, Sabtu.

Para peserta akan mengenakan pakaian khas "tempo doeloe" seperti jas para inohong pejuang pergerakan, pakaian koko khas Jawa serta berbagai ornamen dan seragam lainnya.

Parade itu akan berlangsung melintasi beberapa ruas jalan utama di kota Bandung yakni start dari Balai Pelatihan PTKA di Jalan Laswi kota Bandung - Jalan Gatot Subroto - Jl Asia Afrika - Jl Banceuy - Jl Naripan - Jl Sunda - Jalan Lombok - Jalan RE Martadinata - Jl Laswi dan finish di Balai Diklat PTKA.

"Kegiatan ini sekaligus reuni bagi komunitas penggemar sepeda ontel, selama ini mereka terorganisir di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan beberapa kota lainnya," kata Mateta yang juga Kabid Humas Eskternal PTKA itu.

Ia menyebutkan, kampanye kendaraan ramah lingkungan tersebut sekaligus juga sebagai ajang menanamkan nilai-nilai sejarah perjuangan dan kebangsaan.

Seperti halnya Kereta Api (KA), sepeda ontel merupakan bagian penting dari sejarah transportasi di masa lalu.

Sepeda-sepeda itu, kata Mateta biasanya mempunyai sejarah masing-masing, bahkan sebagian masih memiliki surat-surat resmi.

"PTKA sendiri saat ini tengah menggejot Perjalanan Wisata Sejarah KA yang disinergiskan dengan program Tahun Kunjungan Wisata Museum 2010," kata Mateta menambahkan.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 30 Januari 2010 18:54 WIB)

Lingkungan Poboya Rusak Parah

Palu (ANTARA News) - Lingkungan di sekitar lokasi pertambangan emas rakyat Poboyo, Palu, Sulawesi Tengah, rusak parah akibat ekploitasi massal dalam dua tahun terakhir.

Perbukitan di Poboya tampak gundul dengan bongkahan tanah sisa galian tambang berserakan, demikian pengamatan wartawan ANTARA di Poboya, Jumat.

Pohon-pohon sudah jarang karena dibabati oleh para penambang dan sungai Poboya sudah dicemari sianida dan air raksa, zat yang digunakan penambang untuk memisahkan emas dan logam lainnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng Wilianita Selviana mengatakan, aktivitas penambangan emas di Poboya sebaiknya dihentikan untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula.

"Aktivitas penambangan di Poboya harus dimoratorium beberapa tahun agar kelestarian alam pulih kembali," katanya.

Pemkot Palu berulang kali berusaha menertibkan para penambang liar dengan harapan bisa mengurangi kerusakan lingkungan.

Bahkan Polda Sulteng segera turun tangan untuk mengamankan aktivitas penambang yang sudah tidak lagi memperhatikan rambu-rambu kelestarian alam.

Jumlah penambang di Poboya sekarang diperkirakan mencapai 7.000 orang yang berasal dari Bolaang Mongondow, Kotamobagu, Manado (Sulawesi Utara), dan sebagian berasal dari Gorontalo, dan Sulawesi Selatan.

Areal pertambangan emas rakyat di 15 kilometer arah timur Kota Palu itu luasnya sekitar 20 hektare.


Sumber: ANTARA News (Jumat, 29 Januari 2010 17:20 WIB)

2010-02-17

Sebagian Lahan Bekas Tambang Dijadikan Hutan Lindung

Tanjungpinang (ANTARA News) - Sebagian lahan bekas tambang di Provinsi Kepulauan Riau akan dijadikan kawasan hutan lindung, kata Kepala Badan Perencanan Pembangunan daerah Kepulauan Riau, Suhajar Dewantoro.

"Kepulauan Riau masih kekurangan kawasan hutan lindung," kata Suhajar kepada pers di Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Kamis.

Dia mengemukakan, beberapa kawasan bekas penambangan bauksit di Pulau Bintan (Kabupaten Bintan dan Tanjungpinang), penambangan timah di Karimun dan Lingga, lebih baik dimanfaatkan menjadi kawasan hutan lindung.

Karena bila dibiarkan hanya akan menjadi tanah tandus yang tidak berguna bagi masyarakat luas, ujarnya.

Namun beberapa lahan bekas penambangan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi masyarakat, seperti Kolong Amoi, Kabupaten Karimun. Sumber air bersih di Kolong Amoi tidak memiliki zat yang berbahaya bagi masyarakat.

"Beberapa lahan bekas tambang yang tidak berguna bagi masyarakat, bila memungkinkan akan dijadikan hutan lindung," ujarnya.

Penetapan lahan bekas tambang menjadi kawasan hutan lindung akan dilakukan dalam waktu dekat. Saat ini tim padu serasi Kementerian Kehutanan masih melakukan survei terhadap kawasan hutan lindung dan lahan bekas penambangan di Kepulauan Riau.

"Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam melaksanakan rencana tersebut," katanya.

Suhajar mengimbau semua elemen masyarakat di Kepulauan Riau menjaga hutan lindung yang berfungsi mencegah terjadinya banjir, erosi dan penyangga air.

"Pemerintah juga sedang mengupayakan memperbaiki hutan lindung yang mengalami kerusakan," ujar Suhajar.


(T.PK-NP/B/D009/D009) 28-01-2010 21:11:07
Sumber: ANTARA News (Jumat, 29 Januari 2010 05:57 WIB)

February 2010 KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Advanture

Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org