Lingkungan yaitu kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti air, tanah, energi surya, serta fauna dan flora yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti Manusia, Hewan, Tumbuhan, dan organisme - mikro (bakteri dan virus).
Ilmu yang mempelajari lingkungan adalah Ilmu Lingkungan atau ekologi. Ilmu lingkungan adalah cabang dari ilmu biologi.
Menurunnya proporsi luas kawasan hutan terhadap luas daratan. Luas kawasan hutan tetap di Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan tahun 2002 adalah 91,22 juta ha, tidak termasuk tiga provinsi yang masih dalam proses penunjukan (Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah).
Berdasarkan penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000 kawasan hutan tetap seluruh Indonesia adalah seluas 110 juta ha dengan luas kawasan yang masih berhutan adalah 72 juta ha, sedangkan areal yang lain berupa non-hutan dan tidak ada data (tertutup awan).
Berdasarkan data Statistik Kehutanan Indonesia tahun 1993 dan 2001, kondisi luas hutan Indonesia telah menyusut dari 130,1 juta ha menjadi 123,4 juta ha. Dengan demikian, proporsi luas kawasan hutan terhadap luas daratan di Indonesia menurun dari 67,7 persen pada 1993 menjadi 64,2 persen pada 2001. Penyusutan luas hutan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain penjarahan hutan, kebakaran, perubahan (konversi) untuk kegiatan pembangunan lain di luar kehutanan seperti untuk pertambangan dan pembangunan jalan, permukiman, dan sebagainya.
Laju deforestasi selama kurun waktu 1985 sampai dengan 1997 untuk bioregion Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua adalah sekitar 1,8 juta ha/tahun. Terjadinya krisis ekonomi dan penerapan otonomi daerah diperkirakan meningkatkan laju deforestasi setelah tahun 1997. Penurunan luas hutan sekaligus juga merupakan penurunan fungsi dan peran ekologis hutan terhadap lingkungan yang akan berakibat pada terjadinya krisis air di masa depan.
Kecilnya rasio kawasan lindung. Kawasan lindung dapat berupa kawasan konservasi dan lindung. Kawasan konservasi meliputi kawasan konservasi daratan dan perairan yang terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru. Termasuk di dalam kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Dengan mengacu pada definisi yang digunakan secara internasional mengenai kawasan lindung, keenam tipe kawasan konservasi itu dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu sepenuhnya dilindungi atau totally-protected area (cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional) dan sebagian dilindungi atau partially-protected area (taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru). Perlindungan terhadap kawasan lindung ini bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya dan menjaga kelangsungan fungsi ekologis kawasan terhadap lingkungan dalam lingkup luas.
Pada 2002, Indonesia memiliki hutan lindung seluas 32.338.029,02 ha dan kawasan konservasi daratan sebanyak 371 unit seluas 18.344.410,04 ha. Dengan demikian, luas kawasan lindung adalah 50.682.439,05 ha.a Rasio kawasan lindung terhadap total luas daratan Indonesia 26,4 persen dari total luas daratan yang merupakan kawasan konservasi (Tabel 7.2).1 Bioregion Papua memiliki rasio tertinggi sebesar 41,3 persen; disusul Sulawesi sebesar 32,8 persen; Maluku 26,6 persen; Nusa Tenggara 24,4 persen; Sumatera 23,5 persen; Kalimantan 19,5 persen; dan terendah Jawa-Bali 9,5 persen. Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga memiliki kawasan konservasi laut yang signifikan. Kawasan ini terdiri atas 35 unit dengan luas 4.723.474 ha, mencakup jenis cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, dan taman nasional
Pengelolaan kawasan lindung dianggap penting bagi Indonesia dan masyarakat internasional sehingga banyak proyek bantuan atau pinjaman untuk kegiatan tersebut baik dari pemerintah dalam dan luar negeri maupun organisasi nonpemerintah lokal, nasional, dan internasional. Namun ancaman yang dihadapi juga tidak kalah banyaknya, terutama penebangan liar di taman-taman nasional. Di era reformasi dan otonomi daerah saat ini, semakin banyak hutan dijarah, penebangan liar semakin meningkat, dan batas wilayah konservasi tidak diakui. Degradasi ini terjadi tidak semata-mata karena penegakan hukum yang lemah namun juga karena maksud dan tujuan pembangunan jangka panjang serta fungsi cagar biosfer belum dipahami dengan baik.
Semakin tidak efisiennya pemakaian energi. Pemakaian energi final total di Indonesia pada 2000 adalah 641.270.629 SBM (setara barel minyak) atau sebesar 421.276.658 SBM dengan tidak memasukkan pemakaian biomasa (energi komersial). Angka ini meningkat dengan pertumbuhan rata-rata dari 1993 hingga 2000 sebesar 3,78 persen per tahun untuk pemakaian total atau 5,39 persen per tahun untuk energi komersial. Pada kurun waktu yang sama, pendapatan domestik bruto (PDB) mengalami perubahan dengan angka pertumbuhan tertinggi 8,2 persen pada 1995 dan terendah -13,13 persen pada 1998 (PDB menurut harga konstan tahun 1993). Peningkatan angka perbandingan penggunaan energi komersial dengan PDB dari 1993 ke 2000 menunjukkan semakin tidak efisiennya pemakaian energi di Indonesia.
Emisi CO2 per kapita nasional. Komunikasi Nasional Indonesia Pertama pada 1999 telah menginventarisasi
semua gas rumah kaca (GRK) yang penting, yaitu CO2, CH4, N2O, NOx, dan CO3. Ketepatan menduga emisi dan penyerapan GRK dari atmosfer pada umumnya tergantung tersedianya dan ketepatan data kegiatan dan faktor emisi. Di antara tiga sektor utama (energi, pertanian, dan kehutanan), sektor kehutanan memiliki ketidakpastian tertinggi, sedangkan sektor energi memiliki ketidakpastian terendah.
Pada 1990 hingga 1994 emisi GRK (CO2, CH4, dan N2O) di Indonesia tumbuh 6,5 persen per tahun (Tabel 7.4), dengan proporsi gas CO2 sebesar 70 persen. Dalam kurun waktu itu, 35–60 persen dari total emisi berasal dari sektor ekonomi yang memerlukan energi (industri, transportasi, permukiman, dan komersial), 20–50 persen dari sektor kehutanan, dan 15–25 persen dari sektor pertanian. Fluktuasi proporsi emisi ini terutama disebabkan oleh perubahan tingkat pembukaan hutan.4 Emisi CO2 dan CO2-e diperkirakan akan tumbuh tiga persen per tahun hingga dua dekade mendatang. Sektor-sektor pengkonsumsi energi (energy-demand sectors) menjadi kontributor utama emisi GRK dan peningkatannya hingga dua dekade mendatang. Sektor kehutanan diperkirakan berkon berkontribusi 11–33 persen, sedangkan sektor pertanian 12 persen dari total emisi.
Kebijakan dan program
Di dalam Propenas 2000–2004, kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya:
- mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya;
- menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan;
- mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap kepada pemerintah daerah;
- memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
- menerapkan secara efektif penggunaan indikator - indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkunganhidup;
- (6) memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu; dan
- mengikutsertakan masyarakat untuk menanggulangi masalah lingkungan global. Upaya-upaya tersebut dijabarkan ke dalam lima program pembangunan yang direncanakan untuk dilaksanakan. Kelima program itu saling terkait satu sama lain dengan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan berkelanjutan dalam kualitas lingkungan hidup yang semakin baik dan sehat. Program – rogram itu adalah:
- Program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
- Program peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi, dan rehabilitasi sumber daya alam.
- Program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
- Program penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
- Program peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
Tantangan
Di masa depan, ada empat isu yang menjadi poin utama dalam mewujudkan tatanan pembangunan berkelanjutan dan mengembalikan sumber daya yang hilang, yakni krisis ekonomi dan reformasi, desentralisasi, globalisasi, dan governance. Krisis ekonomi memperburuk keadaan ekonomi sepertiga masyarakat di kawasan hutan dan mengakibatkan semakin maraknya penebangan liar.8 Perubahan dengan adanya reformasi memberikan peluang bagi perbaikan di masa mendatang. Desentralisasi pemerintah dan pengelolaan keuangan di tingkat kota/kabupaten dan hilangnya hubungan hirarki antara provinsi dan kota/kabupaten dapat membuka peluang bagi perbaikan pengelolaan sumber daya alam, konservasi, dan efisiensi. Namun hal itu juga akan memperburuk kerusakan sumber daya hayati ketika keanekaragaman hayati ditempatkan sebagai sumber tambahan pendapatan dan penerimaan daerah.9 Globalisasi juga menyajikan peluang dan tantangan bagi pembangunan berkelanjutan. Globalisasi ini mencakup globalisasi kebijakan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.