Teluk Meranti (ANTARA News) - Negara maju juga mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi, kata juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun Indradi, di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Senin.
Dengan demikian, ia menegaskan, kewajiban menurunkan emisi yang tertera dalam skenario Reducing Emission Deforestasion and Degradation (REDD) tak hanya milik negara berkembang saja, melainkan juga negara maju.
"Karena negara maju yang terlebih dahulu membabat habis hutannya dan menyumbang emisi. Setelah habis hutannya, baru kemudian berkoar-koar untuk mengurangi emisi dengan mencegah laju kerusakan hutan di negara berkembang," kata dia.
Selain itu, ia mengatakan bahwa negara maju harus memberikan dana hibah atas pengurangan emisi yang dilakukan pemerintah Indonesia, bukan dana utang dari negara maju.
Dikatakannya, skema kerjasama negara maju jangan sampai hanya menguntungkan sepihak saja. Padahal mayoritas negara maju memiliki industri yang telah mengeluarkan emisi terbesar bagi dunia.
"Mereka mengetahui benar akan permasalahan Indonesia, yakni defisit anggaran. Oleh karena itu Prancis dan Jepang yang memberikan bantuan dana emisi dalam bentuk utang. Itu harusnya tidak diterima oleh Pemerintah Indonesia. Padahal sebenarnya adalah hibah," kata dia.
Oleh karena itu, ia mendesak agar Indonesia dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membenahi skema kerjasama REDD yang saling menguntungkan. Dimana dalam hal ini, Indonesia juga harus memperbarui dasar hukum dan implementasi moratorium penebangan hutan alam sebesar US$ 1 miliar dalam rangka pengurangan emisi yang telah disepakati bersama Pemerintah Norwegia.
"Khususnya untuk Riau, yang mempunyai tingkat deforestasi hutan tinggi, bisa mencapai 1,1 juta hektare pertahun. Ini perlu dicermati betul, apalagi permasalahan izin di Riau masih tumpang tindih, antara masyarakat dan dua perusahaan bubur kertas terbesar di Indonesia," jelasnya.
Ia menambahkan setidaknya, terdapat sekitar 324 izin yang masih bermasalah dan berada diatas lahan gambut. Dimana diantaranya terdapat lahan gambut dengan kedalaman diatas 3 meter dan secara undang-undang dilindungi.
(T.KR-IND/Y006/P003)
Sumber : ANTARA News (Senin, 21 Juni 2010 14:30 WIB)
Dengan demikian, ia menegaskan, kewajiban menurunkan emisi yang tertera dalam skenario Reducing Emission Deforestasion and Degradation (REDD) tak hanya milik negara berkembang saja, melainkan juga negara maju.
"Karena negara maju yang terlebih dahulu membabat habis hutannya dan menyumbang emisi. Setelah habis hutannya, baru kemudian berkoar-koar untuk mengurangi emisi dengan mencegah laju kerusakan hutan di negara berkembang," kata dia.
Selain itu, ia mengatakan bahwa negara maju harus memberikan dana hibah atas pengurangan emisi yang dilakukan pemerintah Indonesia, bukan dana utang dari negara maju.
Dikatakannya, skema kerjasama negara maju jangan sampai hanya menguntungkan sepihak saja. Padahal mayoritas negara maju memiliki industri yang telah mengeluarkan emisi terbesar bagi dunia.
"Mereka mengetahui benar akan permasalahan Indonesia, yakni defisit anggaran. Oleh karena itu Prancis dan Jepang yang memberikan bantuan dana emisi dalam bentuk utang. Itu harusnya tidak diterima oleh Pemerintah Indonesia. Padahal sebenarnya adalah hibah," kata dia.
Oleh karena itu, ia mendesak agar Indonesia dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membenahi skema kerjasama REDD yang saling menguntungkan. Dimana dalam hal ini, Indonesia juga harus memperbarui dasar hukum dan implementasi moratorium penebangan hutan alam sebesar US$ 1 miliar dalam rangka pengurangan emisi yang telah disepakati bersama Pemerintah Norwegia.
"Khususnya untuk Riau, yang mempunyai tingkat deforestasi hutan tinggi, bisa mencapai 1,1 juta hektare pertahun. Ini perlu dicermati betul, apalagi permasalahan izin di Riau masih tumpang tindih, antara masyarakat dan dua perusahaan bubur kertas terbesar di Indonesia," jelasnya.
Ia menambahkan setidaknya, terdapat sekitar 324 izin yang masih bermasalah dan berada diatas lahan gambut. Dimana diantaranya terdapat lahan gambut dengan kedalaman diatas 3 meter dan secara undang-undang dilindungi.
(T.KR-IND/Y006/P003)
Sumber : ANTARA News (Senin, 21 Juni 2010 14:30 WIB)