Jakarta - Ketakutan bahwa suhu global dapat berubah amat cepat dan menyebabkan perubahan iklim dramatis yang mungkin menghancurkan banyak negara dan penduduk, kian meningkat di seluruh dunia.
Tapi apakah yang menyebabkan perubahan iklim dan mungkinkah memprediksi perubahan iklim di masa datang?
Penelitian terbaru dari Institut Niels Bohr pada Universitas Copenhagen memperlihatkan bahwa pemanasan gloal mungkin terjadi akibat akumulasi pengaruh-pengaruh yang caotik (mengacaukan) sehingga sulit diprediksi. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters. Selama jutaan tahun iklim Bumi berselang seling berganti antara sekitar 100.000 tahun di zaman es dengan sekitar 10-15 ribu tahun era iklim hangat seperti yang kita rasakan sekarang.
Perubahan iklim dikendalikan oleh orbit Bumi di angkasa, atau kemiringan dan jarak Bumi dari Matahari.
Tapi ada juga pergeseran iklim lainnya dalam sejarah Bumi. Lalu, apa yang menyebabkannya?
Mengubah masa lalu
Dengan menganalisis inti es yang dibor hingga lebih dari tiga kilometer di lapisan es di Greenland, para ilmuwan bisa mendapatkan informasi mengenai suhu dan iklim Bumi sampai 140.000 tahun ke belakang.
Pergeseran iklim yang paling terkenal disamping akhir zaman es adalah rangkaian perubahan ilim selama zaman es di mana suhu tiba-tiba meningkat 10-15 derajat hanya dalam waktu 10 tahun.
Perubahan iklim terakhir mungkin terjadi 1.000 tahun, dan dar! suhu turun secara drastis dan iklim berubah lagi.
Ini terjadi beberapa kali selama zaman es dan pergeseran iklim ini disebut peristiwa Dansgaard-Oeschger, diambil dari dua nama ilmuwan yang menemukan dan menggambarkan fenomena ini.
Pergeseran iklim yang dramatis dan tiba-tiba dari satu tempat ke tempat ini lalu disebut titik pengungkit.
Kendati begitu, penyebab perubahan iklim yang demikian cepat itu tidak diketahui dan para peneliti tidak mampu mereproduksinya lewat model-model iklim modern.
"Kami telah membuat pemodelan teoritis mengenai dua skenario berbeda yang mungkin memicu perubahan iklim.
Kami ingin menyelidikinya jika itu menentukan apakah ada faktor eksternal yang menyebabkan perubahan iklim atau apakah pergeseran itu karena akumulasi fluktuasi-fluktuasi kecil yang kacau," papar Peter Ditlevsen, peneliti iklim dari Niels Bohr Institute.
Dia menjelaskan, satu skenario iklim tampak seperti papan jungkit yang naik di salah satu sisinya.
Jika beban secukupnya ditempatkan pada sisi satunya lagi dari papan jungkit itu naik, maka iklim akan berubah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Ini bisa merupakan peningkatan kandungan CO2 dalam atmosfer yang memicu pergeseran iklim.
Pada skenario kedua, iklim tampak seperti bola di sudut yang menunjukkan satu kondisi iklim.
Bola itu akan terus menerus ditekan oleh fluktuasi-fluktuasi dinamis yang caotik seperti badai, gelombang panas, hujan deras dan melelehnya lapisan es yang berdampak pada samudera sekarang dan seterusnya.
Kekacauan pada sistem iklim ini akhirnya menekan bola ke sisi lainnya yang menunjukkan kondisi iklim berbeda.
Penelitian Peter Ditlevsen menunjukkan bahwa Anda sebenarnya bisa membedakan dua skenario itu dan adalah fluktuasi dinamis yang caotiklah yang memicu perubahan iklim yang dramatis selama zaman es.
Ini artinya bahwa perubahan iklim sangat sulit diprediksi. Lalu, apa yang terjadi kini, dan kemudian?
"Kini kita menghadapi situasi berbeda dibanding zaman es. Bumi tidak mengandung CO2 tinggi di atmosfernya sejak lebih dari 15 tahun lalu, ketika iklim menjadi sangat hangat dan buaya hidup di Inggris.
"Maka itu kami mulai menyerongkan papan jungkit dan pada saat bersamaan bola ditendang lagi dan melompat ke sudut lainnya.
Ini bisa berarti bahwa iklim mungkin tak bergerak lambat menghangat selama 1.000 tahun ke depan, namun perubahan iklim yang besar itu dapat terjadi dalam beberapa dekade ke depan," kata Peter Ditlevsen.
Dia menegaskan, penelitiannya hanya menyelidiki iklim Bumi di masa lalu, tidak memprediksi iklim di masa depan. (*)
science daily/adm/AR09
Sumber: ANTARA News (Jumat, 29 Oktober 2010 17:18 WIB)