Pekanbaru (ANTARA News) - Keberadaan harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) di Provinsi Riau diprediksi akan punah paling cepat pada tahun 2015, akibat kehilangan habitat dan perburuan yang hingga kini terus menjadi ancaman utama.
"Dengan kondisi ancaman yang ada sekarang, harimau Sumatera di Riau diperkirakan bisa punah paling cepat lima tahun lagi. Hal itu bisa berawal dari kepunahan ekosistem, dimana harimau yang tersisa tidak memungkinkan lagi untuk berkembang biak," kata Koordinator Monitoring Perdagangan Satwa WWF Riau, Osmantri, di Pekanbaru, Minggu.
Berdasarkan data WWF, jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi berdasarkan belangnya tinggal 30 ekor atau sekitar 10 persen dari jumlah populasi satwa liar itu di Pulau Sumatera.
Menurut dia, ancaman dari hilangnya habitat dan perburuan tidak sebanding dengan kemampuan harimau untuk berkembang biak. Seekor harimau betina diperkirakan bisa hidup di alam liar selama 15 tahun. Selama masa hidupnya, tiap individu hanya bisa melahirkan sebanyak tiga kali. Parahnya lagi, cuma dua ekor anak harimau yang maksimal bisa bertahan hidup sampai dewasa.
Osmantri mengatakan, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab sulitnya memberantas aktivitas perburuan harimau. Selama kurun waktu 1998 hingga 2009, telah ada sebanyak 46 ekor harimau ditemukan mati akibat konflik dengan manusia dan perburuan. Artinya, bisa dikatakan rata-rata sebanyak tujuh ekor harimau mati di Riau setiap tahun.
Namun, lanjut Osmantri, terjadi ketimpangan dalam proses pengusutan hukum karena hanya ada tiga kasus terkait perburuan harimau yang berakhir di pengadilan dalam periode waktu yang sama. Kasus perburuan dan pembunuhan harimau pernah disidangkan di Riau antara lain pada tahun 2001, 2004 dan 2009. Pada kasus terakhir, persidangan kasus perburuan dan pembunuhan harimau bertempat di Pengadilan Negeri Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir.
"Tapi bisa dikatakan hukuman yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera karena semua vonis kepada pelaku hanya penjara selama setahun," katanya.
"Penegakan hukum terhadap perburuan dan pembunuhan harimau di Riau paling lemah diantara daerah lainnya di Sumatera," lanjut Osmantri.
Untuk perdagangan kulit harimau, ujar Osmantri, biasa menggunakan jaringan antarprovinsi yang terjalin sangat rapi dan sulit dilacak. Jaringan perdagangan itu kerap dilindungi oleh oknum pemerintah hingga pemodal besar yang bermuara ke Singapura dan Malaysia.
Ia memperkirakan hingga kini ada sedikitnya 24 pemburu harimau aktif yang menyalurkan hasil buruan ke 34 penampung dari yang kecil hingga penampung besar. Di Pekanbaru, ujarnya mencontohkan, sedikitnya ada sembilan toko emas dan dua toko obat cina yang menjual bagian tubuh harimau dengan leluasa.(F012/A038)
Sumber: ANTARA News (Minggu, 7 Pebruari 2010 14:42 WIB)
"Dengan kondisi ancaman yang ada sekarang, harimau Sumatera di Riau diperkirakan bisa punah paling cepat lima tahun lagi. Hal itu bisa berawal dari kepunahan ekosistem, dimana harimau yang tersisa tidak memungkinkan lagi untuk berkembang biak," kata Koordinator Monitoring Perdagangan Satwa WWF Riau, Osmantri, di Pekanbaru, Minggu.
Berdasarkan data WWF, jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi berdasarkan belangnya tinggal 30 ekor atau sekitar 10 persen dari jumlah populasi satwa liar itu di Pulau Sumatera.
Menurut dia, ancaman dari hilangnya habitat dan perburuan tidak sebanding dengan kemampuan harimau untuk berkembang biak. Seekor harimau betina diperkirakan bisa hidup di alam liar selama 15 tahun. Selama masa hidupnya, tiap individu hanya bisa melahirkan sebanyak tiga kali. Parahnya lagi, cuma dua ekor anak harimau yang maksimal bisa bertahan hidup sampai dewasa.
Osmantri mengatakan, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab sulitnya memberantas aktivitas perburuan harimau. Selama kurun waktu 1998 hingga 2009, telah ada sebanyak 46 ekor harimau ditemukan mati akibat konflik dengan manusia dan perburuan. Artinya, bisa dikatakan rata-rata sebanyak tujuh ekor harimau mati di Riau setiap tahun.
Namun, lanjut Osmantri, terjadi ketimpangan dalam proses pengusutan hukum karena hanya ada tiga kasus terkait perburuan harimau yang berakhir di pengadilan dalam periode waktu yang sama. Kasus perburuan dan pembunuhan harimau pernah disidangkan di Riau antara lain pada tahun 2001, 2004 dan 2009. Pada kasus terakhir, persidangan kasus perburuan dan pembunuhan harimau bertempat di Pengadilan Negeri Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir.
"Tapi bisa dikatakan hukuman yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera karena semua vonis kepada pelaku hanya penjara selama setahun," katanya.
"Penegakan hukum terhadap perburuan dan pembunuhan harimau di Riau paling lemah diantara daerah lainnya di Sumatera," lanjut Osmantri.
Untuk perdagangan kulit harimau, ujar Osmantri, biasa menggunakan jaringan antarprovinsi yang terjalin sangat rapi dan sulit dilacak. Jaringan perdagangan itu kerap dilindungi oleh oknum pemerintah hingga pemodal besar yang bermuara ke Singapura dan Malaysia.
Ia memperkirakan hingga kini ada sedikitnya 24 pemburu harimau aktif yang menyalurkan hasil buruan ke 34 penampung dari yang kecil hingga penampung besar. Di Pekanbaru, ujarnya mencontohkan, sedikitnya ada sembilan toko emas dan dua toko obat cina yang menjual bagian tubuh harimau dengan leluasa.(F012/A038)
Sumber: ANTARA News (Minggu, 7 Pebruari 2010 14:42 WIB)