Jakarta (ANTARA News) - Indonesia segera menyatakan dukungannya (berasosiasi) terhadap "Copenhagen Accord" yang merupakan hasil dari KTT ke-15 Perubahan Iklim dari UNFCCC di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 lalu.
"Indonesia akan berasosiasi dengan `Copenhagen Accord` dengan beberapa catatan," kata Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional, Liana Bratasida, dalam Seminar Sosialisasi Copenhagen Accord di Jakarta, Selasa.
Liana yang juga Ketua Badan Tambahan untuk Implementasi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (SBI-UNFCCC) 2008-2009 itu mengatakan, catatan Indonesia adalah meminta penjelasan lebih lanjut kepada UNFCCC antara lain mengenai target penurunan emisi dari negara Annex-2, program mitigasi aksi dan sebagainya.
Selain menyatakan berasosiasi dengan "Copenhagen Accord", Indonesia juga akan mengirimkan surat pernyataan (submisi) target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 26 persen pada 2020 dan program mitigasi perubahan iklim yang akan dilakukan kepada UNFCCC.
Surat pernyataan yang disebut NAMA`s (National Appropriate Mitigation Actions) akan berisi nama negara dan aksi yang dilakukan pada 31 Januari 2010 sesuai tenggat waktu (softdeadline) UNFCCC kepada semua negara.
Sesuai "Copenhagen Accord", setiap negara wajib menyerahkan NAMA`s bagi negara berkembang, dan target penurunan emisi GRK bagi negara maju dengan tenggat waktu 31 Januari 2010 dan paling lambat pada KTT ke-16 Perubahan Iklim di Meksiko pada Desember 2010.
Sedangkan Deputi Meneg LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman mengatakan, karena tenggat waktu dari UNFCCC untuk submisi dari semua negara hanya berupa soft deadline, maka Indonesia hanya akan mengirimkan garis besar program NAMA`s.
"Submisi tidak harus mendetil karena kita masih harus duduk bersama untuk membahas kebijakan antar sektor," katanya.
Masnellyarti yang lebih akrab dipanggil Nelly mengatakan, skenario program penurunan emisi 26 persen dari Indonesia (NAMA`s) tersebut belum final karena angka target emisi GRK dari sektor kehutanan masih belum final.
Sektor kehutanan yang bakal menyumbang 60 persen (48 persen dari alih fungsi lahan dan 12 persen dari lahan gambut) target penurunan emisi nasional, kata Nelly, belum jelas menyebutkan angka laju deforestasi dan program yang jelas untuk mitigasi perubahan iklim.
Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto mengatakan, laju deforestasi sektor kehutanan harus dihitung bersama-sama Kementerian Kehutanan dengan pihak lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM dan KLH.
"Karena laju deforestasi terkait dengan penggunaan lahan untuk pertanian, pertambangan dan sebagainya," kata Wandojo.
Sedangkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Emil Salim mengatakan, Kementerian Kehutanan harus mengikuti skenario target penurunan emisi 26 persen yang telah dibuat oleh Bappenas.
"Kehutanan harus menyesuaikan skenario dari Bappenas," katanya.
Sumber: ANTARA News (Selasa, 26 Januari 2010 22:00 WIB)
"Indonesia akan berasosiasi dengan `Copenhagen Accord` dengan beberapa catatan," kata Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional, Liana Bratasida, dalam Seminar Sosialisasi Copenhagen Accord di Jakarta, Selasa.
Liana yang juga Ketua Badan Tambahan untuk Implementasi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (SBI-UNFCCC) 2008-2009 itu mengatakan, catatan Indonesia adalah meminta penjelasan lebih lanjut kepada UNFCCC antara lain mengenai target penurunan emisi dari negara Annex-2, program mitigasi aksi dan sebagainya.
Selain menyatakan berasosiasi dengan "Copenhagen Accord", Indonesia juga akan mengirimkan surat pernyataan (submisi) target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 26 persen pada 2020 dan program mitigasi perubahan iklim yang akan dilakukan kepada UNFCCC.
Surat pernyataan yang disebut NAMA`s (National Appropriate Mitigation Actions) akan berisi nama negara dan aksi yang dilakukan pada 31 Januari 2010 sesuai tenggat waktu (softdeadline) UNFCCC kepada semua negara.
Sesuai "Copenhagen Accord", setiap negara wajib menyerahkan NAMA`s bagi negara berkembang, dan target penurunan emisi GRK bagi negara maju dengan tenggat waktu 31 Januari 2010 dan paling lambat pada KTT ke-16 Perubahan Iklim di Meksiko pada Desember 2010.
Sedangkan Deputi Meneg LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman mengatakan, karena tenggat waktu dari UNFCCC untuk submisi dari semua negara hanya berupa soft deadline, maka Indonesia hanya akan mengirimkan garis besar program NAMA`s.
"Submisi tidak harus mendetil karena kita masih harus duduk bersama untuk membahas kebijakan antar sektor," katanya.
Masnellyarti yang lebih akrab dipanggil Nelly mengatakan, skenario program penurunan emisi 26 persen dari Indonesia (NAMA`s) tersebut belum final karena angka target emisi GRK dari sektor kehutanan masih belum final.
Sektor kehutanan yang bakal menyumbang 60 persen (48 persen dari alih fungsi lahan dan 12 persen dari lahan gambut) target penurunan emisi nasional, kata Nelly, belum jelas menyebutkan angka laju deforestasi dan program yang jelas untuk mitigasi perubahan iklim.
Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto mengatakan, laju deforestasi sektor kehutanan harus dihitung bersama-sama Kementerian Kehutanan dengan pihak lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM dan KLH.
"Karena laju deforestasi terkait dengan penggunaan lahan untuk pertanian, pertambangan dan sebagainya," kata Wandojo.
Sedangkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Emil Salim mengatakan, Kementerian Kehutanan harus mengikuti skenario target penurunan emisi 26 persen yang telah dibuat oleh Bappenas.
"Kehutanan harus menyesuaikan skenario dari Bappenas," katanya.
Sumber: ANTARA News (Selasa, 26 Januari 2010 22:00 WIB)