Denpasar, 6/2 (ANTARA) - Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan internasional kelompok utama global dan pemangku kepentingan bidang lingkungan, yang akan berlangsung di Bali, 21-22 Februari 2010.
Menu utama pertemuan itu adalah membuat dasar pertukaran isu dan konsultasi tentang lingkungan hidup global, demikian surat elektronik dari Program Lingkungan PBB yang dikutip ANTARA News di Denpasar, Sabtu.
Pertemuan internasional dengan 1.200 anggota delegasi dari berbagai negara dan 100 menteri lingkungan hidup akan disusul dengan Sesi Khusus Ke-11 Dewan Pemerintahan PBB/Forum Menteri Lingkungan Hidup Global pada 24-26 Februari nanti.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan membuka forum lingkungan global yang akan diselenggarakan di Balai Sidang Internasional Bali di Nusa Dua, Bali, itu dan memberikan pesan khususnya terkait kontribusi yang diberikan Indonesia.
Indonesia yang memiliki sekitar 5 juta kilometer persegi laut di dalam wilayah kedaulatannya, akan menawarkan satu pemikiran tentang kesepakatan terkait kelautan yang merupakan tindak lanjut dari Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado, Mei 2009.
Dalam proses pendahuluannya, sesuai dengan Aturan Nomor 69 tentang prosedur di tubuh Program Lingkungan PBB (UNEP), organisasi yang diakreditasi badan PBB itu akan menerima dokumen asli untuk dibahas.
Selain berbagai organisasi itu, Komite Perwakilan Permanen dalam Program Lingkungan PBB juga akan mendapat dokumen serupa, dilanjutkan forum konsultasi dengan masyarakat madani sehingga Dewan Pemerintahan bisa mendapat masukan dalam diskusi sebelum melangkah pada ranah kebijakan dan isu tematik lain.
Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner akan membuka forum diskusi utama, dengan topik kunci pada masalah terkait hasil capaian Konferensi Luar Biasa Pihak-pihak dalam Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam, dan Konvensi Stockholm.
Tujuan utama pembahasan hal itu guna meningkatkan kerja sama dan koordinasi di antara negara di dalam konvensi-konvensi itu.
Selain itu, juga akan dibuka diskusi tentang lingkungan dalam sistem multilateral, pemerintahan lingkungan internasional dan pembangunan berkelanjutan.
Diskusi dengan topik khusus masih dilanjutkan dengan sejumlah pembicaraan tentang ekonomika hijau, keragaman hayati dan ekosistem.
Sementara itu, dalam surat elektrinikanya, Institut Internasional Bagi Lingkungan dan Pembangunan (IIED) menyatakan, berbagai pertanyaan yang tidak terjawab mengancam kepercayaan terhadap pemerintahan di dunia terkait pendanaan yang program-program pengurangan dampak perubahan iklim global yang telah dicapai dalam Kesepakatan Kopenhagen.
Dalam Kesekapatan Kopenhagen, negara-negara maju diwajibkan untuk menyediakan 30 miliar dolar AS sejak 2010 hingga 2013, dan dana sebanyak 100 miliar dolar AS setahun sejak 2020.
Seluruh skema pembiayaan itu ditujukan bagi negara-negara berkembang yang berpotensi mengurangi dampak negatif perubahan iklim global.
"Bagaimanapun, masih jauh dari jelas untuk mengetahui asal-muasal pendanaan itu, apakah itu sesuatu yang benar-benar baru dan bersifat tambahan, pula bagaimana pengalokasiannnya dan penundaannya bisa terjadi," kata peneliti senior IIED, Saleemul Huq.
Huq dan kelompok peneliti senior di IIED telah mengeluarkan satu telaah tentang hal itu, yang dirangkum dalam enam pertanyaan besar.
Tim peneliti itu terdiri dari Direktur Stusi Lingkungan Universitas Brown di Amerika Serikat, Timmons Roberts, peneliti senior di Pusat Studi Komparatif dan Internasional Universitas Zurich, Martin Stadelmann.
"Berbagai kritik bisa diajukan, bahwa kebanyakan janji di Kopenhagen itu merupakan `bantuan daur ulang`," kata Roberts.
Menurut dia, sudah banyak sekali kesepakatan yang diciptakan namun tidak terwujud sebagaimana mestinya, dan kita tidak lagi bisa berada pada keadaan itu jika berurusan dengan perubahan iklim global.
"Untuk bisa menanggulangi resiko kegagalan itu, mutlak diperlukan lebih banyak diskusi yang lebih luas tentang bagaimana pendanaan itu diatur, dimonitor, dan dijejaki," katanya.(A037/A038)
Sumber: ANTARA News (Sabtu, 6 Pebruari 2010 12:10 WIB)