Beberapa ilmuwan, Minggu (14/3), mengungkapkan untuk pertama kali bagaimana sebagian ular dapat mendeteksi panas tubuh yang lemah dan dipancarkan oleh tikus dalam jarak satu meter dengan ketepatan yang cukup akurat serta kecepatan untuk berburu di dalam gelap.
Selama berabad-abad telah diketahui bahwa ular derik, boa dan piton memiliki apa yang disebut organ rongga di antara mata dan lubang hidungnya yang dapat merasakan bahkan sekelumit radiasi infra-merah --panas-- di sekitar mereka, sebagaimana dikutip dari AFP.
Di antara ular berbisa, "diamonblack rattlesnake", hewan asli Meksiko utara dan Amerika Serikat barat-daya, berada di klasnya sendiri --kemampuannya mencari panas 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan ular lain sepupunya.
Bahkan dengan potongan kecil yang menutupi matanya, ular tersebut telah memperlihatkan kemampuan untuk melacak dan membunuh korban dengan mata tertutup.
Tetapi bagaimana secara tepat hewan reptil itu mendeteksi dan mengubah sinyal infra-merah menjadi denyut syaraf tetap menjadi misteri, dan objek perdebatan tajam.
Satu calon ialah proses protokimiawi yang menggaris-bawahi pandangan, sedangkan mata melihat radiasi elektromagnetik --cahaya penglihatan bagi manusia-- dalam bentuk proton yang mengaktifkan sel-sel penerima, yang pada gilirannya mengubah energi jadi sinyak biokimia di otak.
Sebagian ikan, misalnya, dapat melihat ke dalam panjang gelombang spektrum elektromagnetik infra-merah.
Namun David Julius, ahli biologi molekular di University of California di San Fracisco, memperlihatkan dalam percobaan laboratorium bahwa jalur syaraf yang berbeda bekerja bagi "indra keenam" ular tersebut.
"Dalam kasus ini, radiasi infra-merah benar-benar terdeteksi di dalam organ rongga itu sebagai panas," kata Julius dalam wawancara telefon dengan kantor berita Prancis, AFP. "Kami mendapat molekul itu bertanggung jawab."
Membran yang sangat tipis di dalam organ rongga tersebut --terutama lubang dangkal yang terlihat tulangnya-- menghangat saat radiasi masuk melalui pembukaan pada kulit, ia menjelaskan.
Karena membran tersebut adalah ruang dangkal, itu sensitif terhadap perubahan temperatur.
"Jaringan yang memanas lalu mengirim sinyal ke serat syaraf untuk mengaktifkan penerima yang telah kami identifikasi", yang dikenal sebagai saluran TRPA1, katanya.
Jalur syaraf-kimiawi yang terlibat tersebut menunjukkan ular merasakan panas dan bukan melihatnya.
"Molekul yang kami temukan itu milik satu keluarga penerima yang berkaitan dengan jalur rasa sakit pada mamalia," kata Julius.
Pada manusia, mekanisme yang serupa disebut "wasabi receptor", karena itu memungkinkan sistem syaraf sensor manusia mendeteksi iritasi --seperti bumbu Jepang-- yang berasal dari keluarga mostar.
Namun, itu bukan diaktifkan oleh panas. Temuan tersebut, yang disiarkan di jurnal Nature, juga mungkin memberi cahaya mengenai bagaimana ular, yang telah melata di seluruh planet Bumi selama lebih dari 100 juta tahun, berevolusi.
"Mempelajari perubahan pada molekul sensor adalah cara yang menarik untuk meneliti evolusi karena saat hewan menghuni tempat yang berbeda, mencium dan merasakan benda yang berbeda, memburu hewan yang berbeda, sistem sensor mereka harus menyesuaikan diri," kata Julius.
Temuan itu juga menunjukkan bahwa kekuatan seleksi alam menghasilkan mekanisme pencari panas serupa yang luar biasa pada reptil dan pada kesempatan terpisah.
Tak seperti ular boa atau piton, yang juga memiliki organ rongga, viper --termasuk ular derik-- relatif baru muncul, dalam kasus evolusi, sehingga diduga telah mengembangkan kemampuan yang sama secara independen.
"Mengagumkan untuk menduga mutasi acak mungkin telah terjadi pada jenis penyelesaian yang sama lebih dari satu kali," kata Julius.
(C003/A024)
Sumber: ANTARA News(Senin, 15 Maret 2010 10:18 WIB)
Selama berabad-abad telah diketahui bahwa ular derik, boa dan piton memiliki apa yang disebut organ rongga di antara mata dan lubang hidungnya yang dapat merasakan bahkan sekelumit radiasi infra-merah --panas-- di sekitar mereka, sebagaimana dikutip dari AFP.
Di antara ular berbisa, "diamonblack rattlesnake", hewan asli Meksiko utara dan Amerika Serikat barat-daya, berada di klasnya sendiri --kemampuannya mencari panas 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan ular lain sepupunya.
Bahkan dengan potongan kecil yang menutupi matanya, ular tersebut telah memperlihatkan kemampuan untuk melacak dan membunuh korban dengan mata tertutup.
Tetapi bagaimana secara tepat hewan reptil itu mendeteksi dan mengubah sinyal infra-merah menjadi denyut syaraf tetap menjadi misteri, dan objek perdebatan tajam.
Satu calon ialah proses protokimiawi yang menggaris-bawahi pandangan, sedangkan mata melihat radiasi elektromagnetik --cahaya penglihatan bagi manusia-- dalam bentuk proton yang mengaktifkan sel-sel penerima, yang pada gilirannya mengubah energi jadi sinyak biokimia di otak.
Sebagian ikan, misalnya, dapat melihat ke dalam panjang gelombang spektrum elektromagnetik infra-merah.
Namun David Julius, ahli biologi molekular di University of California di San Fracisco, memperlihatkan dalam percobaan laboratorium bahwa jalur syaraf yang berbeda bekerja bagi "indra keenam" ular tersebut.
"Dalam kasus ini, radiasi infra-merah benar-benar terdeteksi di dalam organ rongga itu sebagai panas," kata Julius dalam wawancara telefon dengan kantor berita Prancis, AFP. "Kami mendapat molekul itu bertanggung jawab."
Membran yang sangat tipis di dalam organ rongga tersebut --terutama lubang dangkal yang terlihat tulangnya-- menghangat saat radiasi masuk melalui pembukaan pada kulit, ia menjelaskan.
Karena membran tersebut adalah ruang dangkal, itu sensitif terhadap perubahan temperatur.
"Jaringan yang memanas lalu mengirim sinyal ke serat syaraf untuk mengaktifkan penerima yang telah kami identifikasi", yang dikenal sebagai saluran TRPA1, katanya.
Jalur syaraf-kimiawi yang terlibat tersebut menunjukkan ular merasakan panas dan bukan melihatnya.
"Molekul yang kami temukan itu milik satu keluarga penerima yang berkaitan dengan jalur rasa sakit pada mamalia," kata Julius.
Pada manusia, mekanisme yang serupa disebut "wasabi receptor", karena itu memungkinkan sistem syaraf sensor manusia mendeteksi iritasi --seperti bumbu Jepang-- yang berasal dari keluarga mostar.
Namun, itu bukan diaktifkan oleh panas. Temuan tersebut, yang disiarkan di jurnal Nature, juga mungkin memberi cahaya mengenai bagaimana ular, yang telah melata di seluruh planet Bumi selama lebih dari 100 juta tahun, berevolusi.
"Mempelajari perubahan pada molekul sensor adalah cara yang menarik untuk meneliti evolusi karena saat hewan menghuni tempat yang berbeda, mencium dan merasakan benda yang berbeda, memburu hewan yang berbeda, sistem sensor mereka harus menyesuaikan diri," kata Julius.
Temuan itu juga menunjukkan bahwa kekuatan seleksi alam menghasilkan mekanisme pencari panas serupa yang luar biasa pada reptil dan pada kesempatan terpisah.
Tak seperti ular boa atau piton, yang juga memiliki organ rongga, viper --termasuk ular derik-- relatif baru muncul, dalam kasus evolusi, sehingga diduga telah mengembangkan kemampuan yang sama secara independen.
"Mengagumkan untuk menduga mutasi acak mungkin telah terjadi pada jenis penyelesaian yang sama lebih dari satu kali," kata Julius.
(C003/A024)
Sumber: ANTARA News(Senin, 15 Maret 2010 10:18 WIB)