Banda Aceh (ANTARA News) - Hutan mangrove di kawasan kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh dilaporkan terancam punah akibat alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi industri arang kayu.
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari, Sayed Zainal dihubungi di Langsa, Kabupaten Aceh Timur, Rabu, menyatakan kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dan belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat.
Menurut hasil survei, monitoring dan investigasi Lembaga Advokasi Hutan Lestari (Lembahtari) sejak Januari 2008 - Februari 2010, hutan mangrove yang terancam punah tersebut seluas 22.900 hektare lebih.
Kerusakan hutan manggrove seluas 22.900 ha tersebut berada di kawasan pesisir Kabupaten Aceh Tamiang, yakni di Kecamatan Seruway, Kecamatan Bendahara dan Kecamatan Manyak Panyed yang berbatasan dengan Pemerintah Kota Langsa dan Kabupaten Langkat (Sumatera Utara).
Dari 22.900 ha lebih yang terancam punah tersebut, seluas 5.500 ha merupakan hutan lindung mangrove dan 17 ribu ha. merupakan kawasan hutan dan hutan produksi.
"Belum ada upaya kebijakan dan langkah-langkah hukum Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh untuk menghentikan penebangan hutan mangrove serta melakukan inventarisasi dalam upaya penyelamatan hutan tersebut," katanya.
Hal yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan mangrove itu, telah memicu terjadinya konflik di lapangan antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
"Dengan mengalihfungsikan hutan manggrove menjadi perkebunan kelapa sawit, maka kebijakan pengusaha perkebunan ini akan semakin rumit," katanya.
Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menimbulkan berpindahnya Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway yang ketiga kalinya akibat abrasi pantai. Pemupukan tanaman kelapa sawit oleh pemilik perkebunan juga menimbulkan pencemaran kawasan hutan bakau di sekitarnya.
Tidak hanya masalah lingkungan, katanya, dampak lain yang terjadi saat ini menurunnya mata pencaharian masyarakat nelayan tradisonal yang mencari nafkah di lahan hutan bakau, karena punahnya populasi ikan, kepiting, dan udang.
Ironisnya, kata Sayed Zainal, Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh dengan mudah merekomendasikan pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 17.000 ha kepada PT Bakau Bina Usaha tanpa melakukan kajian yang mendalam serta berkelanjutan.
Selanjutnya Hak Guna Usaha (HGU) PT Sumber Asih di Paya Rambe Desa Lubuk Damar, Kecamatan Seruway dibiarkan terus merambah kawasan lindung hutan bakau menjadi perkebunan kelapa sawit, tanpa ada tindakan hukum dari pemerintah.
Dia berharap, Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan bakau di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan
"Jika pemerintah tidak bertindak cepat dalam menyelamatkan hutan manggrove, maka kami LSM akan memediasikan kasus ini ke Green Peace Indonesia untuk mencari dukungan internasional," demikian Sayed.
(KR-IRW/A038)
Sumber: ANTARA News(Rabu, 17 Maret 2010 19:03 WIB)
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari, Sayed Zainal dihubungi di Langsa, Kabupaten Aceh Timur, Rabu, menyatakan kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dan belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat.
Menurut hasil survei, monitoring dan investigasi Lembaga Advokasi Hutan Lestari (Lembahtari) sejak Januari 2008 - Februari 2010, hutan mangrove yang terancam punah tersebut seluas 22.900 hektare lebih.
Kerusakan hutan manggrove seluas 22.900 ha tersebut berada di kawasan pesisir Kabupaten Aceh Tamiang, yakni di Kecamatan Seruway, Kecamatan Bendahara dan Kecamatan Manyak Panyed yang berbatasan dengan Pemerintah Kota Langsa dan Kabupaten Langkat (Sumatera Utara).
Dari 22.900 ha lebih yang terancam punah tersebut, seluas 5.500 ha merupakan hutan lindung mangrove dan 17 ribu ha. merupakan kawasan hutan dan hutan produksi.
"Belum ada upaya kebijakan dan langkah-langkah hukum Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh untuk menghentikan penebangan hutan mangrove serta melakukan inventarisasi dalam upaya penyelamatan hutan tersebut," katanya.
Hal yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan mangrove itu, telah memicu terjadinya konflik di lapangan antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
"Dengan mengalihfungsikan hutan manggrove menjadi perkebunan kelapa sawit, maka kebijakan pengusaha perkebunan ini akan semakin rumit," katanya.
Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menimbulkan berpindahnya Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway yang ketiga kalinya akibat abrasi pantai. Pemupukan tanaman kelapa sawit oleh pemilik perkebunan juga menimbulkan pencemaran kawasan hutan bakau di sekitarnya.
Tidak hanya masalah lingkungan, katanya, dampak lain yang terjadi saat ini menurunnya mata pencaharian masyarakat nelayan tradisonal yang mencari nafkah di lahan hutan bakau, karena punahnya populasi ikan, kepiting, dan udang.
Ironisnya, kata Sayed Zainal, Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh dengan mudah merekomendasikan pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 17.000 ha kepada PT Bakau Bina Usaha tanpa melakukan kajian yang mendalam serta berkelanjutan.
Selanjutnya Hak Guna Usaha (HGU) PT Sumber Asih di Paya Rambe Desa Lubuk Damar, Kecamatan Seruway dibiarkan terus merambah kawasan lindung hutan bakau menjadi perkebunan kelapa sawit, tanpa ada tindakan hukum dari pemerintah.
Dia berharap, Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan bakau di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan
"Jika pemerintah tidak bertindak cepat dalam menyelamatkan hutan manggrove, maka kami LSM akan memediasikan kasus ini ke Green Peace Indonesia untuk mencari dukungan internasional," demikian Sayed.
(KR-IRW/A038)
Sumber: ANTARA News(Rabu, 17 Maret 2010 19:03 WIB)