Jakarta (ANTARA News) - Ketika pendaki legendaris Inggris George Mallory mengambil gambarnya pada 1921 mengenai wajah utara Mount Everest, gletser perkasa yang berbentuk sungai itu dan berkelok-kelok di bawah kaki tampaknya abadi.
Setelah beberapa dasawarsa polusi dan belakangan pemanasan global, pendaki gunung modern David Breashears telah kembali mengambil gambar di tempat yang sama, dan membuktikan kenyataan yang mengkhawatirkan.
Bukan mendapatkan gambar lapisan es putih yang keras dan berbentuk S seperti yang disaksikan oleh Mallory sebelum ia meninggal di Mount Everest, yang ditaklukkannya, Main Rongbuk Glacier saat ini menyusut dan merana.
Gelombang beku puncak es --banyak di antaranya seukuran gedung kantor-- memang masih ada. Tetapi semuanya jauh lebih sedikit, lebih rendah dan berada di jalur sempit.
Breashears, yang membandingkan semua gambar yang sangat cocok, memastikan bahwa ukuran Rongbuk Glacier telah berkurang 97 meter.
"Angka pencairan di wilayah tengah dan timur Himalaya ini sangat luas dan dan menghancurkan," kata Breashears, Rabu (14/7), di Asia Society, New York, yang menjadi tuan rumah pameran tersebut. 13 Juli - 15 Agustus. Kegiatan itu dapat dilihat di http://sites.asiasociety.org/riversofice.
Di tengah perdebatan sengit politik mengenai penyebab dan kenyataan pemanasan global, Breashears berbicara benar-benar dari lapangan.
Ia mengikuti jejak tiga juru kamera-pendaki gunung terdahulu: Mallory, pelopor pemetaan kelahiran Kanada Edward Wheeler, dan Vittorio Sella dari Italia. Hasil kerja mereka merentang dari Abad 19 sampai Abad 20.
Hasilnya adalah serangkaian gambar masa-lalu-dan-sekarang dari Tibet, Nepal dan di dekat K2 di Pakistan, yang memperlihatkan tujuh gletser menyusut --bukan hanya jauh berkurang, tapi dalam satu kasus telah lumat jadi danau.
"Jika ini bukan bukti mengenai gletser yang menghadapi kemerosotan serius, aku tak tahu apa ini," kata Breashears, yang berbicara lembut.
Lebih dari ancaman
Gletser yang mencair tersebut menjadi lebih dari sekedar ancaman bagi "keharmonisan dasar" yang dulu digambarkan oleh Mallory ia temukan di puncak-puncak indah itu.
Gletser Himalaya adalah cadangan es terbesar ketiga setelah kutub Utara dan Selatan, dan es yang mencair setiap musim adalah sumber penting bagi berbagai sungai besar di Asia, termasuk Gangga, Indus, Mekong, dan Sungai Kuning.
Ahli China di Asia Society Orville Schell menggambarkan Nepal sebagai "semacam markas bagi pengairan seluruh Asia".
Akibatnya ialah pencairan cepat memicu "dampak air terjun bagi semua aliran ke muara, baik itu hewan, tanaman, sungai, pertanian dan bahkan manusia," kata Orville sebagaimana dilaporkan wartawan AFP, Sebastian Smith.
Kondisi saling terkait itu juga bekerja dengan cara lain: kemerosotan dari awan kabut tebal di atas pusat permukiman Asia mengotori gletser yang tampaknya terpencil, sehingga mempercepat kehancurannya.
"Jelaga karbon hitam ini kemudian mengubah gletser jadi sejenis pengumpul sinar Matahari. Bukannya memantulkan panas kembali ke luar atmosfir ke antariksa, semua itu malah menyerapnya," kata Schell.
Penanganan masalah tersebut memerlukan data dan itu terbukti sulit diperoleh, kata Sayid Iqbal Hasnain, ahli gletser utama India yang menghadiri pembukaan "Rivers of Ice" itu.
Hasnain mengetahui secara langsung mengenai kesulitan dalam masalah tersebut.
Ia mengatakan bahwa ia dikutip secara keliru oleh satu majalah yang menyatakan gletser Himalaya dapat hilang paling lambat pada 2035, prospek yang mengerikan tapi tak berdasar yang mengakibatkan kegemparan setelah pernyataan itu menyusup ke laporan perubahan iklim PBB awal tahun ini.
Hasnain terutama mengeluhkan rumitnya membawa pemerintah dan ilmuwan dari India, Pakistan, China dan Tibet untuk bekerja sama di wilayah perbatasan mereka --yang seringkali jadi wilayah sengketa.
"Kita mesti mengetahui berapa banyak gletser yang menyusut," kata Hasnain. "Tetapi ada masalah keamanan. NASA ingin melakukan penelitian udara tapi pemerintah India mengatakan `tak boleh` ... India sangat ragu dan mereka tak mau berbagi data."
Breashears mengatakan ekspedisi pendakian dan pengambilan fotonya berbahaya dan melelahkan karena ia mencari tempat yang menguntungkan yang digunakan lebih dari setengah abad lalu.
Satu gletser di dekat K2 memerlukan tiga pendakian setinggi 6.000 kaki sebelum ia menemukan pemandangan yang sama dengan yang dinikmati oleh Sella bertahun-tahun sebelumnya.
"Kami benar-benar terpana dengan orang yang pernah sampai ke sana," kata Breashears.
Generasi mendatang takkan menghadapi kesulitan yang sama sebab Breashears mencatat setiap koordinat GPS masing-masing tempat itu.(C003/Z002)
Sumber : ANTARA News (Senin, 19 Juli 2010 20:09 WIB)
Setelah beberapa dasawarsa polusi dan belakangan pemanasan global, pendaki gunung modern David Breashears telah kembali mengambil gambar di tempat yang sama, dan membuktikan kenyataan yang mengkhawatirkan.
Bukan mendapatkan gambar lapisan es putih yang keras dan berbentuk S seperti yang disaksikan oleh Mallory sebelum ia meninggal di Mount Everest, yang ditaklukkannya, Main Rongbuk Glacier saat ini menyusut dan merana.
Gelombang beku puncak es --banyak di antaranya seukuran gedung kantor-- memang masih ada. Tetapi semuanya jauh lebih sedikit, lebih rendah dan berada di jalur sempit.
Breashears, yang membandingkan semua gambar yang sangat cocok, memastikan bahwa ukuran Rongbuk Glacier telah berkurang 97 meter.
"Angka pencairan di wilayah tengah dan timur Himalaya ini sangat luas dan dan menghancurkan," kata Breashears, Rabu (14/7), di Asia Society, New York, yang menjadi tuan rumah pameran tersebut. 13 Juli - 15 Agustus. Kegiatan itu dapat dilihat di http://sites.asiasociety.org/riversofice.
Di tengah perdebatan sengit politik mengenai penyebab dan kenyataan pemanasan global, Breashears berbicara benar-benar dari lapangan.
Ia mengikuti jejak tiga juru kamera-pendaki gunung terdahulu: Mallory, pelopor pemetaan kelahiran Kanada Edward Wheeler, dan Vittorio Sella dari Italia. Hasil kerja mereka merentang dari Abad 19 sampai Abad 20.
Hasilnya adalah serangkaian gambar masa-lalu-dan-sekarang dari Tibet, Nepal dan di dekat K2 di Pakistan, yang memperlihatkan tujuh gletser menyusut --bukan hanya jauh berkurang, tapi dalam satu kasus telah lumat jadi danau.
"Jika ini bukan bukti mengenai gletser yang menghadapi kemerosotan serius, aku tak tahu apa ini," kata Breashears, yang berbicara lembut.
Lebih dari ancaman
Gletser yang mencair tersebut menjadi lebih dari sekedar ancaman bagi "keharmonisan dasar" yang dulu digambarkan oleh Mallory ia temukan di puncak-puncak indah itu.
Gletser Himalaya adalah cadangan es terbesar ketiga setelah kutub Utara dan Selatan, dan es yang mencair setiap musim adalah sumber penting bagi berbagai sungai besar di Asia, termasuk Gangga, Indus, Mekong, dan Sungai Kuning.
Ahli China di Asia Society Orville Schell menggambarkan Nepal sebagai "semacam markas bagi pengairan seluruh Asia".
Akibatnya ialah pencairan cepat memicu "dampak air terjun bagi semua aliran ke muara, baik itu hewan, tanaman, sungai, pertanian dan bahkan manusia," kata Orville sebagaimana dilaporkan wartawan AFP, Sebastian Smith.
Kondisi saling terkait itu juga bekerja dengan cara lain: kemerosotan dari awan kabut tebal di atas pusat permukiman Asia mengotori gletser yang tampaknya terpencil, sehingga mempercepat kehancurannya.
"Jelaga karbon hitam ini kemudian mengubah gletser jadi sejenis pengumpul sinar Matahari. Bukannya memantulkan panas kembali ke luar atmosfir ke antariksa, semua itu malah menyerapnya," kata Schell.
Penanganan masalah tersebut memerlukan data dan itu terbukti sulit diperoleh, kata Sayid Iqbal Hasnain, ahli gletser utama India yang menghadiri pembukaan "Rivers of Ice" itu.
Hasnain mengetahui secara langsung mengenai kesulitan dalam masalah tersebut.
Ia mengatakan bahwa ia dikutip secara keliru oleh satu majalah yang menyatakan gletser Himalaya dapat hilang paling lambat pada 2035, prospek yang mengerikan tapi tak berdasar yang mengakibatkan kegemparan setelah pernyataan itu menyusup ke laporan perubahan iklim PBB awal tahun ini.
Hasnain terutama mengeluhkan rumitnya membawa pemerintah dan ilmuwan dari India, Pakistan, China dan Tibet untuk bekerja sama di wilayah perbatasan mereka --yang seringkali jadi wilayah sengketa.
"Kita mesti mengetahui berapa banyak gletser yang menyusut," kata Hasnain. "Tetapi ada masalah keamanan. NASA ingin melakukan penelitian udara tapi pemerintah India mengatakan `tak boleh` ... India sangat ragu dan mereka tak mau berbagi data."
Breashears mengatakan ekspedisi pendakian dan pengambilan fotonya berbahaya dan melelahkan karena ia mencari tempat yang menguntungkan yang digunakan lebih dari setengah abad lalu.
Satu gletser di dekat K2 memerlukan tiga pendakian setinggi 6.000 kaki sebelum ia menemukan pemandangan yang sama dengan yang dinikmati oleh Sella bertahun-tahun sebelumnya.
"Kami benar-benar terpana dengan orang yang pernah sampai ke sana," kata Breashears.
Generasi mendatang takkan menghadapi kesulitan yang sama sebab Breashears mencatat setiap koordinat GPS masing-masing tempat itu.(C003/Z002)
Sumber : ANTARA News (Senin, 19 Juli 2010 20:09 WIB)