Bengkalis (ANTARA News) - Puluhan gajah liar sejak Minggu (25/7) hingga Selasa pagi masih berkeliaran dan menyantap sebahagian tanaman palawija siap panen milik warga kelurahan Balairaja, Kecamatan Pinggir, Bengkalis, Riau.
Pemuka masyarakat Kelurahan Balairaja, Bernan Panjaitan, saat dihubungi ANTARA dari Dumai, Selasa, mengatakan, sejauh ini belum ada laporan tentang konflik frontal antara satwa dilindungi itu dengan komunitas penduduk setempat.
Hanya saja, terang dia, warga yang takut hasil hasil kebunnya disantap dan kebun palawijanya dirusak terus berjaga-jaga sejak siang hingga malam hari.
"Kalau gajah mendekat, mereka mengusirnya agar menjauh dari kebun mereka. Pada siang hari warga mengusirnya dengan meriam bambu, dan kalau malam mereka mengusirnya dengan menyalahkan obor," kata Bernan.
Menurut Bernan, konflik frontal memang tidak ada setelah ditemukannya seekor anak gajah baru lahir yang tewas di belakang komplek PT Kojo, Kelurahan Balairaja akhir pekan lalu.
"Kita mensyukuri hingga kini belum ada warga yang mati dipijak gajah. Karena tidak juga ada solusi terbaik dan penanganan yang betul-betul serius dari pemerintah dan intansi terkait, saya khawatir bakal jatuh korban jiwa suatu saat nanti," paparnya.
Akibat dari gerombolan gajah itu, terang dia, hasil panen berupa sayur, coklat serta kelapa sawit milik warga banyak yang dimakan hewan bongsor itu.
"Tidak hanya itu, sejumlah tanaman petani juga banyak yang rusak hingga tidak sedikit petani di sini menunda rencana panennya," ungkapnya.
Karena khawatir melihat konflik gajah dan manusia berkepanjangan di daerahnya, Bernan mengaku pernah menulis surat kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Menteri Kehutanan maupun Bupati Bengkalis guna minta perhatian yang betul-betul serius. Namun sejauh ini, dikatakan dia, belum ada tanggapan serius.
"Surat itu saya kirim sejak empat bulan lalu. Dan kemarin, sejak gajah-gajah itu masuk kembali ke wilayah perkebunan warga, saya mencoba untuk mengirimkannya kembali," terang dia.
Dalam konflik gajah dan manusia di wilayah itu, dikatakan dia, gajah dan masyarakat merupakan dua makhluk yang berada pada posisi dirugikan.
Gajah yang tak punya habitat lagi terpaksa mencari makan ke kebun penduduk. Dan manusia yang sudah bermukim di kawasan suaka margasatwa Balairaja tak bisa pula diusir begitu saja.
"Mereka telah mengeluarkan uang untuk membeli tanah di tempat itu. Pemerintah daerah pun tak pernah mengusir warga dari atas lahan suaka itu," jelasnya.
Kepala Dinas kehutanan Bengkalis, Ismail sebelumnya sempat menyebutkan bahwa konfli itu tetap ada solusi. Soliusi tersebut menurutnya lebih pada mencari areal pengganti yang layak untuk memindahkan gajah tersebut sehingga memerlukan biaya yang relatif besar dan lahan yang luas.
Di lain pihak, Kepala BKSDA Trisnu Danisworo beberapa waktu lalu justru mengatakan tidak ada alasan untuk memindahkan gajah dari Balairaja karena belum ada kebijakan yang menghapuskan posisi Balairaja sebagai suaka untuk gajah.
(KR-FZR/D009/S026)
Sumber : ANTARA News (Selasa, 27 Juli 2010 14:56 WIB)
Pemuka masyarakat Kelurahan Balairaja, Bernan Panjaitan, saat dihubungi ANTARA dari Dumai, Selasa, mengatakan, sejauh ini belum ada laporan tentang konflik frontal antara satwa dilindungi itu dengan komunitas penduduk setempat.
Hanya saja, terang dia, warga yang takut hasil hasil kebunnya disantap dan kebun palawijanya dirusak terus berjaga-jaga sejak siang hingga malam hari.
"Kalau gajah mendekat, mereka mengusirnya agar menjauh dari kebun mereka. Pada siang hari warga mengusirnya dengan meriam bambu, dan kalau malam mereka mengusirnya dengan menyalahkan obor," kata Bernan.
Menurut Bernan, konflik frontal memang tidak ada setelah ditemukannya seekor anak gajah baru lahir yang tewas di belakang komplek PT Kojo, Kelurahan Balairaja akhir pekan lalu.
"Kita mensyukuri hingga kini belum ada warga yang mati dipijak gajah. Karena tidak juga ada solusi terbaik dan penanganan yang betul-betul serius dari pemerintah dan intansi terkait, saya khawatir bakal jatuh korban jiwa suatu saat nanti," paparnya.
Akibat dari gerombolan gajah itu, terang dia, hasil panen berupa sayur, coklat serta kelapa sawit milik warga banyak yang dimakan hewan bongsor itu.
"Tidak hanya itu, sejumlah tanaman petani juga banyak yang rusak hingga tidak sedikit petani di sini menunda rencana panennya," ungkapnya.
Karena khawatir melihat konflik gajah dan manusia berkepanjangan di daerahnya, Bernan mengaku pernah menulis surat kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Menteri Kehutanan maupun Bupati Bengkalis guna minta perhatian yang betul-betul serius. Namun sejauh ini, dikatakan dia, belum ada tanggapan serius.
"Surat itu saya kirim sejak empat bulan lalu. Dan kemarin, sejak gajah-gajah itu masuk kembali ke wilayah perkebunan warga, saya mencoba untuk mengirimkannya kembali," terang dia.
Dalam konflik gajah dan manusia di wilayah itu, dikatakan dia, gajah dan masyarakat merupakan dua makhluk yang berada pada posisi dirugikan.
Gajah yang tak punya habitat lagi terpaksa mencari makan ke kebun penduduk. Dan manusia yang sudah bermukim di kawasan suaka margasatwa Balairaja tak bisa pula diusir begitu saja.
"Mereka telah mengeluarkan uang untuk membeli tanah di tempat itu. Pemerintah daerah pun tak pernah mengusir warga dari atas lahan suaka itu," jelasnya.
Kepala Dinas kehutanan Bengkalis, Ismail sebelumnya sempat menyebutkan bahwa konfli itu tetap ada solusi. Soliusi tersebut menurutnya lebih pada mencari areal pengganti yang layak untuk memindahkan gajah tersebut sehingga memerlukan biaya yang relatif besar dan lahan yang luas.
Di lain pihak, Kepala BKSDA Trisnu Danisworo beberapa waktu lalu justru mengatakan tidak ada alasan untuk memindahkan gajah dari Balairaja karena belum ada kebijakan yang menghapuskan posisi Balairaja sebagai suaka untuk gajah.
(KR-FZR/D009/S026)
Sumber : ANTARA News (Selasa, 27 Juli 2010 14:56 WIB)