2010-04-09

Dua Gajah Ditemukan Mati di TN Tesso Nilo

Pekanbaru (ANTARA News) - Dua gajah Sumatra ditemukan telah mati di habitatnya kawasan Taman Nasional (TN) Tesso Nilo, Riau.

"Dua gajah tersebut diperkirakan sudah mati sekitar seminggu lalu, dan bangkainya kami temukan di kawasan taman nasional," kata Kepala Balai TN Tesso Nilo, Hayani Suprahman, kepada ANTARA News di Pekanbaru, Minggu.

Ia menjelaskan, gajah liar itu ditemukan di belahan Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan.

Menurut dia, awalnya seekor gajah ditemukan telah mati pada Sabtu (27/3) malam lalu sekitar pukul 21.00 WIB. Gajah jantan tersebut diperkirakan berusia 6-7 tahun.

"Kondisi pada gajah, gading yang di sebelah kanan hilang, dan diduga bekas dipotong orang," ujarnya.

Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, kata dia, pihaknya kembali menemukan seekor gajah jantan yang juga sudah tak bernyawa, tak jauh dari lokasi temuan pertama. Meski begitu, kondisi gading pada gajah kedua masih utuh.

"Lokasi gajah kedua dengan yang ditemukan pertama hanya sekitar 100 meter," ujarnya.

Menurut dia, Balai TN Tesso Nilo bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, WWF dan Polsek Ukui, kini sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai penyebab kematian dua gajah tersebut.

"Kami belum bisa memastikan penyebab tewasnya dua gajah itu," katanya.

Humas WWF Riau, Syamsidar, mengatakan lokasi penemuan gajah tersebut merupakan daerah yang dirambah warga pendatang.

Hutan di daerah itu kini sedang dikonversi perambah untuk tanami kelapa sawit.

"Kalau dilihat dari gadingnya yang dipotong, kemungkinan besar pelaku bukan pemburu atau orang yang berprofesi sebagai pemburu gajah," ujarnya.

Dalam sebulan terakhir telah ada tiga ekor gajah Sumatra yang ditemukan mati akibat dibunuh di Riau. Awal pekan lalu, seekor gajah ditemukan mati dan gadingnya hilang di Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.

Namun, hingga kini aparat hukum belum bisa menangkap pelaku dari perbuatan pidana itu.


(T.F012/P004/P003)

Sumber: ANTARA News (Minggu, 28 Maret 2010 16:42 WIB)

Petani Nyaris Tewas Terinjak Gajah

Pekanbaru (ANTARA News) - Seorang warga Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, nyaris tewas akibat diinjak gajah liar di wilayah itu, demikian Kepala Desa Petani Rianto kepada ANTARA di Pekanbaru, Kamis.

"Seorang petani nyaris tewas karena gajah tiba-tiba berbalik dan menginjaknya, ketika hendak mengusir kawanan gajah yang masuk ke kebun kelapa sawit milik warga," kata Rianto.

Sunardi (42), petani yang nasibnya masih beruntung setelah diinjak gajah, luka cukup parah karena tulang rusuk dan tangan kirinya patah, setelah dengan beberapa warga berusaha mengusir puluhan ekor gajah liar yang masuk ke perkebunan kelapa sawit Rabu kemarin sekitar pukul 17.30 WIB.

Warga awalnya mengusir dengan membenturkan benda keras untuk menimbulkan kegaduhan yang berhasil membuat gajah keluar dari kebun dan lari, namun tiba-tiba kawanan satwa berbelalai itu berbalik arah dan menyerang warga.

"Sunardi terperosok ke dalam parit dan menjadi sasaran gajah. Untung dia berada di dalam parit sehingga tidak seluruh badannya diinjak gajah," ujar Rianto.

Ia mengatakan, Sunardi kini dirujuk ke sebuah rumah sakit di Pekanbaru untuk mendapat perawatan yang memadai.

Rianto mengatakan, akibat kawanan gajah yang berkeliaran selama dua bulan terakhir itu, sejumlah warga mengungsi. Ia menyesali lambannya Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau merespons keluhan warga.

"Kami sudah melapor ke BBKSDA sejak sebulan lalu, tapi penanganannya lamban. Sudah harta habis, sekarang nyawa kami pun menjadi taruhan," ujarnya.

Kepala BBKSDA Riau Trisnu Danisworo berjanji mengirim tim berikut dua ekor gajah latih untuk membantu warga Desa Petani menghalau gajah liar.

"Kami akan mengirim dua ekor gajah latih, dan kalau kurang akan kami kirim lebih banyak lagi" kata Trisnu.

Kawasan Desa Petani Kecamatan Mandau adalah daerah lintasan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dari Suaka Margasatwa Balai Raja, Bengkalis.

Gajah dan manusia berkonflik karena habitat gajah terus menyempit akibat alih fungsi lahan. Seekor gajah mati tak jauh dari Desa Petani akibat konflik ini.


F012/A041/AR09

Sumber: ANTARA News (Kamis, 25 Maret 2010 14:23 WIB)

2010-04-08

BC Gagalkan Penyelundupan 5000 Batang Kayu Bakau

Jakarta (ANTARA News) - Patroli Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun menggagalkan penyelundupan 5000 batang kayu bakau ilegal, kata hubungan masyarakat (humas) Bea dan Cukai, Evi Suhartantyo.

Dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, Evi mengatakan, diperkirakan nilai kerugian negara termasuk aset mencapai Rp200 juta.

"Kayu bakau merupakan kayu yang dilindungi karena merupakan pohon penangkal erosi pantai dan termasuk barang lartas atau larangan dan pembatasan," ujarnya.

Kayu tersebut juga merupakan kayu tahan air dan cocok untuk tiang-tiang pancang konstruksi pembangunan.

Kronologi penangkapan bermula dari kapal BC 8005 dengan kapten Zaenuddin, pada Senin (22/3) menangkap KM Harapan Baru bernahkodakan A. Salam di perairan Tanjung Dato, Kepulauan Riau.

Kapal tersebut bermuatan kurang lebih 5000 batang kayu gelondongan bakau (belum dilakukan pencacahan secara pasti) yang berasal dari Tembilahan, Riau, dan disinyalir kuat menuju Singapura.

Saat ini, kapal, muatan dan anak buah kapal (ABK) telah ditarik ke kantor Wilayah Bea dan Cukai Kepulauan Riau.

Evi menambahkan, kayu tersebut didapat dari para penebang liar yang kemudian dikumpulkan oleh pengepul, untuk selanjutnya dalam jumlah besar akan dikirim ke Singapura, setelah sebelumnya akan berdalih merupakan pelayaran antar pulau ke Batam.

Sebelumnya, Dirjen Bea dan Cukai, Thomas Sugijata, mengatakan, Ditjen Bea dan Cukai, melalui unit penindakan dan penyidikan, akan meningkatkan pengawasan terhadap adanya ancaman penyelundupan dari laut.

"Kita akan menitikberatkan pada pengawasan laut dengan melakukan pemetaan terhadap berbagai sektor yang mengalami rawan penyelundupan," ujarnya.


(T.S034/M012/P003)

Sumber: ANTARA News (Selasa, 23 Maret 2010 20:48 WIB)

Abrasi Ancam Enam Desa Tenggelam

Meranti (ANTARA News) - Enam desa di Kecamatan Rangsang, Kabupaten Bengkalis, Riau, yang berada di sekitar wilayah pantai, terancam tenggelam akibat abrasi berat.

Menurut laporan, kondisi enam desa itu cukup memprihatikan, terutama dikawasan pantai yang nyaris amblas digerus abrasi. Abrasi tersebut menerjang bibir pantai hingga 12 kilometer dengan laju 10 sampai 20 meter setia tahunnya.

"Keenam desa ini masuk dalam kategori dampak abrasi berat, yang dapat merusak areal perkebunan serta rumah warga. Setiap tahunnya, selalu ada warga yang pindah ketempat lain atau mengungsi kedaratan yang jauh dari terjangan abrasi," ungkap Camat Rangsang, Sudarwito, Selasa.

Disebutnya, keenam desa yang masuk dalam kategori dampak abrasi berat yakni, Desa Bantar, Tanjung Kedabu, Tanjung Samak, Tanjung Balak Bugur, dan Desa Sungai Guyung Kiri.

Dari enam desa tersebut, menurut Sudarwito, abrasi juga sudah merusak sedikitnya 200 hektar kebun warga dan menenggelamkan sekitar 60 rumah yang berada di tepi laut Rangsang hingga mengakibatkan penghuninya terpanksa mengungsi.

"Untuk menanggulangi atau menghambat percepatan abrasi, kami telah membentuk sebuah program yang dinamakan `Peduli Rangsang`. Dimana setiap pedatang dan warga Pulau Rangsang akan diberikan tanggungjawab untuk menjaga tanaman mangruve (bakau-red) yang rencananya akan kami tanam dalam waktu dekat ini," ungkapnya.

Selain itu, Sudarwito juga merencanakan anggaran kepada pemerintah setempat melalui dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk mencegah percepatan abrasi.

Anggaran ini nantinya akan digunakan untuk membuat dinding pembatas disetiap bibir pantai Pulau Rangsang dan membudidayakan hutan mangruve," papar dia.

Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Meranti, Fauzi Hasan, mengakui bahwa laju abrasi di Pulau Rangsang sudah masuk dalam tahap yang mengkhawatirkan higga dapat mengancam kelangsungan hidup warga disekitarnya.

Selaku anggota dewan asal Rangsang, ia berjanji akan memperjuangkan masalah abrasi tersebut bersama para anggota dewan lainnya.

"Tahap pertama rencana penanggulangan abrasi di tempat saya tinggal (Kecamatan Rangsang-red) akan dibahas dalam rapat anggota minggu depan. Sementara mengenai anggarannya, kami akan mengajukannya ke pemerintah Kabupaten Meranti dan Propinsi," tuturnya.


(ANT/S026)

Sumber: ANTARA News (Selasa, 23 Maret 2010 17:08 WIB)

Jaringan Masyarakat Gambut Riau Dideklarasikan

Pekanbaru (ANTARA News) - Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) resmi dideklarasikan oleh peserta kongres masyarakat Riau yang berasal dari 32 desa di lima kabupaten, di depan gedung DPRD Riau, Rabu.

Pendeklarasian ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Kepulauan Meranti, Inhil, Inhu, Pelalawan dan Siak, terhadap pembukaan rawa gambut untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

\"Kami jenuh dengan pembukaan rawa gambut yang terus terjadi di Riau. Sejak dulu sampai sekarang tak pernah ada peyelesaiannya,\" ujar Isnadi Esman, masyarakat Kepulauan Meranti.

Dikatakannya, JMGR ini mempunyai visi mewujudkan tata kelola sumber daya ekosistem hutan rawa gambut Riau yang lestari, berkeadilan dan mensejahterakan masyarakat.

\"Selain itu JMGR ini dapat menjadi wadah pertukaran informasi, komunikasi dan konsultasi dibidang ekonomi, sosial budaya, hukum dan politik. Dan mengembangkan unit usaha produktif yang sejalan dengan pelestarian sumber daya gambut,\" jelasnya.

Wakil Ketua DPRD Riau, taufan Antoso Yakin, mengatakan bahwa pendeklarasian tersebut merupakan usulan yang tepat.

\"Hampir 4,6 juta ha lahan gambut yang dikelola di Riau padahal itu bukan hak mereka. Sebagai wakil rakyat, kami akan memikirkan itu,\" katanya.

Anggota DPRD Riau, Jefri Noer, mengatakan bahwa kerusakan hutan di Riau sangat memprihatinkan. Terlebih jika mengingat kerusakan hutan di Riau yang mencapai 1,08 juta hektare.

\"DPRD akan bersama-sama memikirkan hal tersebut.Komisi B mengenai tata kelola dan Komisi C mengenai lingkungan. Kita tidak bisa biarkan kerusakan hutan terus terjadi,\" jelasnya.

(IND/K004)

Sumber: ANTARA News (Kamis, 1 April 2010 01:47 WIB)

2010-04-07

Anak Gajah Terluka Gagal Diselamatkan

Pekanbaru (ANTARA News) - Seekor anak gajah Sumatra mati di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Minas, Kabupaten Siak, Riau, karena tidak mendapat perawatan yang layak.

Kepala PKG Minas, Muslino, kepada ANTARA di Pekanbaru Selasa mengakui bahwa pihaknya lamban menangani bayi hewan langka yang terluka cukup parah itu.

"Seharusnya gajah itu tidak perlu dibawa ke pusat konservasi gajah karena jaraknya cukup jauh dari lokasi gajah ditemukan. Sedangkan, gajahnya sudah lemas dan terluka parah," kata Muslino.

Anak gajah berkelamin betina itu ditemukan warga di tengah perkebunan kelapa sawit di Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, pada Selasa (30/3) dini hari.

Muslino mengatakan, pegawai Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) yang menangani gajah itu akhirnya memutuskan untuk membawa hewan yang masih mungil itu dengan mobil pickup dari Mandau ke Pusat Konservasi Gajah di Minas, yang memakan waktu perjalanan sekitar tiga jam.

"Alasannya, agar gajah itu mendapat perawatan dari dokter hewan di pusat konservasi. Seharusnya tim medis yang ke lokasi, tapi sudah terlanjur gajahnya dibawa. Ini salah taktik," katanya.

Menurut Dokter Hewan BBKSDA, drh. Rini, anak gajah yang diperkirakan berusia satu tahun itu menderita luka infeksi sangat parah di pangkal paha sebelah kiri.

Luka tersebut cukup besar dan sudah menyebar hingga sampai kemaluan gajah. Kondisi gajah ketika tiba sangat lemah karena menderita dehidrasi dan kekurangan asupan makanan.

"Infeksinya sudah menyebar, kemungkinan luka di gajah sudah terjadi lebih dari sebulan," katanya.

Menurut dia, tim medis BBKSDA sudah berupaya maksimal untuk menyelamatkan gajah itu.

Dalam perjalanan dari Mandau, gajah malang itu sudah menerima asupan empat botol susu. Sedangkan selama masa perawatan di pusat konservasi, tim medis sudah memberikan suntikan obat, susu dua botol, dan infus hingga tiga botol, sebelum gajah akhirnya mati.

Dari pantauan ANTARA, gajah malang itu ditempatkan di bawah tenda yang didirikan di lapangan. Luka di pangkal pahanya telihat menganga.

Kapala BBKSDA Riau, Trisnu Danisworo, mengatakan bahwa gajah tersebut berasal dari kawasan Suaka Marga Satwa Balai Raja, Bengkalis.

Penyebab luka di gajah belum bisa dipastikan. Luka itu bisa disebabkan tertusuk ranting atau terinjak kawanan gajah lainnya.

"Kondisi gajah ketika ditemukan sudah kritis dan tergeletak, sehingga tertinggal dari kawanannya," kata Trisnu.

Ia mengatakan penanganan gajah liar lebih sulit daripada menangani manusia.

"Kalau menangani gajah, kita tidak mengerti mereka ngomong apa," ujarnya sambil berkelakar.

Selama bulan Maret telah ada empat gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang mati di Riau. Sebelumnya, seekor gajah ditemukan mati tanpa gading di Desa Petani Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.

Dua gajah lainnya ditemukan mati akibat diracun perambah di Taman Nasional Tesso Nilo.


(T.F012/B/E010/S026)

Sumber: ANTARA News (Selasa, 30 Maret 2010 19:59 WIB)

Program Konservasi Bukit Tigapuluh Raih Penghargaan

Jambi (ANTARA News) - Perth Zoo, sebuah LSM lingkungan, meraih penghargaan nasional Konservasi In-Situ 2010 untuk upaya perlindungan sejumlah satwa yang sangat terancam punah di dunia, khususnya orangutan Sumatra, dan habitatnya di ekosistem Bukit Tigapuluh (TNBT), Jambi.

Chief Executive Perth Zoo Susan Hunt dalam siaran persnya, Minggu, menyebutkan, pihaknya menerima penghargaan untuk program Perlindungan Satwa Liar dan Ekosistem Bukit Tigapuluh.

Program tersebut dilaksanakan oleh Frankfurt Zoological Society (FZS), sebuah LSM yang bergerak di bidang konservasi satwa liar.

Program ini sedang berlangsung, dan bertujuan melindungi salah satu blok hutan hujan dataran rendah di Sumatra yang memiliki representasi lengkap fauna Sumatra, seperti orangutan Sumatra yang masuk dalam kelompok kera besar yang terancam punah di tingkat dunia dan juga Harimau Sumatra yang sangat terancam punah serta habitat Gajah Sumatra yang semakin menyempit.

Susan menyatakan, ekosistem Bukit Tigapuluh adalah daerah terakhir yang tersisa yang bersebelahan dengan dataran rendah kering di Sumatra, sehingga sangat sangat penting untuk melakukan segala upaya guna memastikan perlindungan terhadap kawasan ini.

"Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan lembaga non-pemerintah termasuk FZS, dan Australian Orangutan Project," katanya.

Sayangnya ada banyak ancaman terhadap habitat yang unik ini seperti penebangan liar, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit," ujar Susan.

Sementara, Counterpart Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi pada FZS Krismanko Padang menyatakan sangat bangga atas apresiasi yang diberikan Pemerintah Australia terhadap Perth Zoo yang merupakan salah satu pihak sponsor yang peduli terhadap pelestarian satwa kunci Sumatra di ekosistem Bukit Tigapuluh.

Hal ini menunjukkan bahwa bangsa luar juga peduli pentingnya upaya menjaga kelestarian alam di Bukit Tigapuluh. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi akan arti penting keanekaragaman hayati sebuah ekosistem.

Apresiasi ini menjadi sebuah ironi karena perhatian bangsa luar justru lebih baik dibandingkan Pemerintah Indonesia sendiri. Ini terlihat dari masih adanya upaya pemerintah untuk mengubah kawasan penyangga yang masuk dalam ekosistem menjadi kawasan hutan tanaman industri (HTI).

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementrian Kehutanan telah mengeluarkan surat izin prinsip untuk atas hutan seluas 61.496 hektare kepada PT Lestari Asri Jaya di hutan produksi eks HPH PT IFA dan 52.000 hektare kepada PT Rimbani Hutani Mas (RHM) di hutan produksi eks HPH PT Dalek Hutani Esa.

Padahal di kawasan merupakan habitat satwa kunci Sumatera seperti orangutan, harimau, gajah, dan tapir. Sementara suku terasing Talang Mamak, Suku Anak Dalam, dan Melayu Tua juga tinggal di wilayah ini.

Luas ekosistem Bukit Tigapuluh mencapai 400.000 hektare dan di dalamnya terdapat Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144.223 hektare.

Ekosistem ini berada di dua provinsi, yakni Provinsi Jambi di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, serta Riau di Kabupaten Indragiri Hilir.


(YJ/K004)

Sumber: ANTARA News (Senin, 29 Maret 2010 01:00 WIB)

Anggrek Asli Jawa Barat Hilang dari Pasar

Bandung (ANTARA News) - Anggrek spesies asli Jawa Barat "Phalaenopsis Javanicus" hilang dari pasar dan tidak ditemukan pada Pekan Anggrek dan Tanaman Hias di Bandung, kata Ketua Asosiasi Petani Anggrek Indonesia (APAI) Cabang Bandung Arif Joko di Bandung, Minggu.

"Tidak ada satu pun petani yang memamerkan dan menjual spesies itu," kata Arif Joko kepada ANTARA.

Dia mengungkapkan, di habitat aslinya di kawasan hutan yang ada di Garut, Cianjur selatan, dan Sukabumi selatan, Phalaenopsis javanica sudah sulit ditemukan karena sebagian besar hutan Jawa Barat rusak.

Pada 1970-an spesies anggrek ini masih dikenal luas dan mudah ditemui kalangan penggemar anggrek Indonesia.

"Terakhir saya melihat Phalaenopsis javanica tahun 2005 di kebun salah seorang kolektor anggrek di Lembang," kata Arif.

Dia menyebut kolektor anggrek menjadi salah satu penghambat lestarinya Phalaenopsis javanica.

"Sebenarnya beberapa kolektor punya anggrek spesies itu. Tapi mereka berpikiran kalau punya spesies langka itu prestise. Makanya tidak ada yang mau menjual dan memperbanyaknya," lanjut Arif.

Ia mengatakan, Phalaenopsis javanica justru banyak ditemui di Malaysia dan Taiwan dan mereka tidak menganggap anggrek ini spesies langka.

"Di sana satu pohon dijual seharga Rp150 ribu. Di Indonesia saya ditawari bibitnya saja oleh seorang kolektor seharga Rp600 ribu," kata Arif.

Menurutnya, kalangan penggemar anggrek spesies Indonesia menganggap anggrek hutan lebih bagus daripada anggrek spesies yang dikembangbiakkan melalui proses pembotolan.

Padahal, kata Arif, proses pembotolan bisa mempermudah dan mempercepat pengembangbiakkan anggrek spesies ketimbang harus mencarinya di hutan.

Sayang, teknologi pembotolan di Indonesia tertinggal dari negara lain di Asia karena Indonesia masih menggunakan teknik selfing (perkawinan sendiri), sedangkan di negara lain seperti Malaysia dan Taiwan sudah menggunakan teknik kloning.

Arif menyebut teknik kloning justru membuat kualitas bibit anggrek yang dihasilkan menjadi lebih bagus.

"Pemerintah harus membantu agar anggrek hutan tidak punah. Sekarang kan banyak terjadi pembalakan hutan, habitat asli anggrek," demikian Arif.


S018//AR09

Sumber: ANTARA News (Minggu, 28 Maret 2010 19:45 WIB)

2010-04-06

Berkurang Populasi Gajah Sumatra di TNWK

Sukadana, Lampung Timur (ANTARA) - Populasi gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) di kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Kabupaten Lampung Timur terus berkurang.

"Berdasarkan data RPU tahun 2002 jumlah gajah sumatera di TNWK mencapai 226 ekor. Meski tahun 2010 ini belum didata ulang, namun berdasarkan pantauan jumlahnya makin berkurang yaitu kurang dari 200-an ekor lagi," kata manajer Lembaga Swadaya Masyarakat Wildlife Conservation Society (LSM WCS), Doni Gunariadi, di Way Jepara, Lampung Timur, Jumat.

Menurutnya, tingkat kelahiran gajah terbilang lambat, sebab gajah yang masa kehamilannya setahun sekali sulit berkembang menjadi banyak. Hal itu belum dikurangi masa sela sampai anak gajah benar-benar dewasa.

"Biasanya gajah betina dapat menghasilkan keturunan setahun satu kali, dan baru bisa hamil dua tahun berikutnya," ujar Doni.

Dia menambahkan, selain lambatnya tingkat kelahiran gajah, faktor utama penyusutan populasi gajah saat ini akibat serangan penyakit dan perburuan liar di daerah itu.

"Tahun 2007 lalu, kali pertama ditemukan penyakit sejenis virus yang menyebabkan kematian satu ekor gajah. Kemudian pada tahun 2008, juga ditemukan gajah mati akibat kasus yang sama," paparnya.

Selain itu, perburuan liar juga masih marak di daerah itu, bahkan pada akhir 2009 ditemukan gajah jinak yang mati di pusat latihan gajah (PLG), akibat aksi nekat pencuri gading. Sehingga, gajah di PLG yang sebelumnya berjumlah 63 ekor, berkurang satu ekor gajah.

Sementara Kepala RPU TNWK Lampung Timur, Rosdi, menjelaskan, populasi gajah sumatra di TNWK yang makin berkurang menjadi perhatian sejumlah pihak.

Sebab, hewan yang bertubuh besar itu kini malah sering berkonflik dengan masyarakat desa penyangga di sekitar hutan TNWK.

"Untuk saat ini kami baru konsentrasi mengantisipasi konflik gajah dengan masyarakat desa penyangga, sedangkan masalah populasi gajah belum ditangani secara maksimal," terang dia.

Ke depan, lanjut dia, pihaknya akan melakukan pendataan ulang jumlah gajah liar di hutan TNWK dan di PLG, agar dapat dipantau perkembangan gajah secara intensif.


(JA*T013/K004)

Sumber: ANTARA News (Jumat, 26 Maret 2010 06:42 WIB)

Lagi Tiga Gajah Mati Diduga Dibunuh

Jambi (ANTARA News) - Tiga lagi gajah Sumatra (elephas maximus Sumatranus) mati, ini kali di lokasi rencana hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten Tebo, Jambi, dan diduga dibunuh oleh manusia.

"Dugaan dan dari analisa sementara, kematian tiga ekor gajah itu akibat dibunuh dengan cara diracun karena dianggap menganggu tanaman sawit masyarakat setempat," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Didy Wurjanto, di Jambi, Rabu.

Sedikitnya tiga tengkorak gajah Sumatra ditemukan di areal rencana HTI di Kecamatan Serai Serumpun, Kabupaten Tebo. Tengkorak tersebut ditemukan di dua tempat terpisah, yaitu di pertemuan Sungai Lalo dan di Sungai Pinang Belai dengan jarak sekitar 600 meter.

Tengkorak gajah itu ditemukan saat tim gabungan BKSDA Jambi dan Wildlife Protection Unit-Frankfurt Zoological Society (WPU-FZS) melakukan melakukan patroli dan survei distribusi gajah di wilayah tersebut.

Kepala BKSDA Jambi menjelaskan, kematian gajah itu berkaitan erat dengan konflik manusia dengan gajah di sekitar habitatnya sejak beberapa tahun terakhir.

Kawasan yang akan dijadikan HTI tersebut sebenarnya merupakan bagian dari habitat gajah, sekarang sebagian telah berubah menjadi kebun sawit. Gajah pun memakan tanaman sawit karena makanan pokoknya sudah tidak didapati lagi.

Menurut dia, tanaman sawit masyatakat ini muncul karena perusahaan yang akan membuka HTI membawa masyarakat untuk dijadikan petani plasma, tanpa disadari mereka talah merusak habitat gajah.

Gajah merupakan hewan tradisional, mereka setiap tahun akan melintasi jalur yang sama manakala akan mencari makan, terutama antara Tebo hingga Indragiri Hulu (Provnsi Riau) di tepi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) yang datarannya rendah.

"Karena daerah lintasannya telah berubah menjadi kebun sawit, gajah-gajah itu terpecah, sebagian masuk ke kebun sawit masyarakat dan merusaknya," kata Didy.

Oleh karena itu, agar hewan bertubuh besar itu tidak terganggu kehidupannya, perusahaan yang akan membuka HTI tidak mengambil seluruh areal berjalan gajah.

"Pemerintah seharusnya juga membatasi agar perusahaan tidak seenaknya membuka areal hutan yang sebenarnya merupakan habitat atau lintasan gajah," ujar Didy yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi.

Menurut dia, tiga gajah yang mati dan tengkoraknya ditemukan tergeletak di atas tanah berlumpur itu, diduga merupakan gajah dewasa.

Sebagai tindak lanjut atas rusaknya kebun sawit masyarakat oleh amukan kawanan gajah di wilayah Tebo itu, ia menyarankan kebun yang rusak sebaiknya dibiarkan saja, dan jangan lagi ditanami atau diganggu.

Pihak BKSDA bekerja sama dengan LSM akan mencari sponsor untuk menjadikan daerah itu sebagai kawasan ekowisata, misalnya tur gajah, mendirikan Pusat Latihan Gajah (PLG) untuk melatih gajah yang digunakan untuk menangkap gajah untuk dididik di PLG.

"Dengan demikian, masyarakat akan mendapatkan manfaatnya dengan ekowisata itu," katanya.

Didy mensinyalir perusahaan-perusahaan yang akan membuka HTI itu justru merugikan masyarakat, sebab areal mereka dibatasi dengan saluran (got) selebar empat meter dan dalam sehingga gajah-gajah tidak bisa masuk areal perusahaan.

"Kebun masyarakat berada di pinggirannya dan terus menjadi sasaran amukan hewan bertubuh besar yang dilindungi undang-undang ini," katanya.

Koordinator WPU-FZS Peni Widyaningsih menjelaskan, lokasi penemuan tengkorak gajah itu tepat berada di hutan produksi yang telah dialokasikan pemerintah untuk dijadikan HTI oleh PT Lestari Asri Jaya seluas 61.000 hektare lebih.

Tidak jauh dari lokasi penemuan tengkorak gajah, juga terdapat areal perkebunan kelapa sawit PT Reganas.

Sebelumnya, kata Peni, pada pertengahan Mei 2008 tim patroli FZS juga menemukan tiga bangkai gajah yang telah dibakar, beberapa bulan berikutnya ditemukan pula seekor bayi gajah yang keracunan pupuk dan kemudian mati di parit perkebunan kelapa sawit.

"Konflik gajah dengan manusia di Tebo mulai marak seiring perubahan fungsi hutan menjadi areal perkebunan dan pembangunan HTI secara besar-besaran," katanya.


(T.E003/M008/S026)

Sumber: ANTARA News (Rabu, 24 Maret 2010 17:35 WIB)

Harimau Sumatera Terkam Pencari Ikan Hingga Tewas

Jambi (ANTARA News) - Harimau Sumatera (panthera tigris Sumatrae) dilaporkan menerkam Darmilus (25), warga Desa Sponjen, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, hingga tewas pada Senin dinihari (22/3).

Darmilus tewas seketika akibat luka serius diterkam harimau saat mencari ikan di pinggiran kawasan hutan tersebut. Kasus harimau menerkam warga ini merupakan kali kedua selama Maret ini, kata Kepala Desa Sponjen, Juhrianto, saat dihubungi ANTARA News.

Juhrianto mengemukakan, peristiwa tragis yang menimpa Darmilus terjadi sekira pukul 00:00 WIB saat korban mencari ikan tidak jauh dari Desa Sponjen, Kecamatan Kumpeh Ilir.

Menurut informasi yang diperolehnya, sudah sejak satu minggu lalu Darmilus sering pergi ke sungai yang berada di hutan tidak jauh dari tempat tinggalnya untuk mencari ikan.

Darmilus mencari ikan sekaligus menginap di sekitar hutan atau warga setempat menyebut dengan istilah "mandah" dengan membangun pondok setinggi 1,5 meter dari tanah bersama enam orang temannya.

Saat kejadian tersebut, Darmilus yang sedang mancing tiba-tiba saja tubuhnya ditarik harimau yang menggigit beberapa bagian tubuh korban, dan akibatnya kepala belakang korban robek, lengan kanan patah dan di punggung , serta terdapat lima bekas gigitan harimau.

Sementara itu, teman-teman korban yang mengetahui kejadian itu langsung berteriak dan berhamburan menyelematkan diri dan mendengar teriakan Darmilus, sedangkan harimaunya lari meninggalkan korban yang sudah tidak bernyawa.

Setelah harimau tersebut kabur, beberapa jam kemudian tubuh Darmilus dibawa temannya pulang ke desa mereka, dan sekitar pukul 09:00 WIB jenazah korban tiba di kediamannya dan langsung dimakamkan di tempat pemakaman umum setempat.

Sementara itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi, Didy Wurjanto, saat dihubungi mengatakan, pihaknya sudah mendapat laporan tersebut dan saat ini tim dari Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan pihak terkait, sedang turun ke lapangan.

"Dari hasil pemeriksaan dokter terhadap luka-luka di tubuh korban, kejadian ini positif akibat serangan harimau," katanya.

Tim turun ke lokasi kejadian bertugas untuk mencari tahu apakah lokasi kejadian itu berada di kawasan pemukiman masyarakat atau masuk dalam wilayah Taman Nasional Berbak (TNB), sebab menurut warga, korban adalah pencari ikan, karena itu tim turun ke lapangan untuk mengetahui kebenarannya.

Hasil investigasi tim nanti akan dilaporan kepada pemerintah daerah terkait serangan harimau itu dan untuk lokasi kejadian tepatnya, pihak BKSDA belum mengetahui apakah masuk pemukiman warga atau tidak, kata Diddy yang juga Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Budpar) Provinsi Jambi itu.

Pihak BKSDA Jambi juga sudah memasang perangkap harimau di sekitar Desa Sponjen yang dikatakan warga sebagai tempat kejadian tersebut dan perangkap itu dipasang di kawasan yang banyak terdapat jejak harimau.

Hal itu dilakukan BKSDA Jambi terkait adanya laporan warga setempat yang mengaku sejak satu minggu terakhir ini sudah ada empat ekor ternak sapi milik warga setempat yang dimangsa harimau.

Pemasangan perangkap itu belum membuahkan hasil, dan BKSDA juga belum mengetahui apakah harimau itu harimau tua yang merasa tersisih dengan harimau muda atau harimau yang marah lantaran hutan tempatnya mencari makan sudah tidak ada hewan untuk dimangsanya.

Kondisi Taman Nasional Berbak yang sebagian masuk dalam wilayah Kabupaten Muarojambi, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan.

"Hal ini terjadi akibat, maraknya pembalakan liar, tetapi harimau itu tidak hanya hidup di kawasan taman nasional saja, bisa juga di kawasan hutan produksi," kata Didy.

Sebelumnya, beberapa pekan lalu dalam bulan Maret, kejadian serupa juga menimpa korban M Ishak (37) warga Kumpeh Ulu, Kabupaten Muraojambi, Provinsi Jambi saat sedang mencari kayu gaharu di hutan setempat.

Ishak berhasil selamat dari maut saat diterkam harimau dan hanya menderita luka-luka di beberapa bagian tubuhnya dan tangan kanannya patah akibat digigit binatang buas tersebut.

Korban Ishak setelah kejadian itu langsung dibawa dan dirawat di rumah sakit umum Raden Mattaher Jambi secara intensif.

Korban yang masuk hutan bersama teman-temannya, diterkam saat sedang tertidur di pondok yang mereka dirikan di tengah hutan untuk menginap selama berada di dalam hutan kawasan Taman Nasional Berbak.


(T.N009/E003/P003)

Sumber: ANTARA News (Senin, 22 Maret 2010 18:29 WIB)

2010-04-05

Warga Bengkalis Ancam Bunuh Gajah

Bengkalis (ANTARA News) - Warga Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau mengancam akan membunuh gajah yang berkeliaran di perkampungan mereka apabila dalam waktu dekat pemeritah tidak mengambil tindakan terhadap hewan dilindungi itu.

"Saat ini kami sudah merasa resah dan gerah dengan gajah ini. Selain sudah merusak rumah kami, gajah-gajah ini juga terkadang mengancam keselamatan kami. Jadi jika dalam waktu dekat pemerintah tidak ada solusi, maka kami akan melakukan perburuan, dan kalau gajah itu buas, terpaksa kami juga harus membunuhnya sebelum ada korban manusia," kata Fahri (46) warga Desa Petani saat ditemui di desanya, Sabtu.

Selain Fahri, ucapan senada juga dikatakan Karman (60) yang mengaku rumahnya hancur karena diamuk kawanan gajah liar dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk menangani hewan langka berbadan besar itu.

"Pilih yang mana, gajah atau manusia. Kalau memang hewan ini dilindungi oleh negara, maka negara juga harus memberi jaminan pada keselamatan masyarakat yang berada di kawasan hunian gajah. Jangan sampai nantinya sudah ada korban, baru pemerintah sibuk," ujar Karman.

Menanggapi pernyataan warga, Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Alam dan Lingkungan (Gempal) Kabupaten Bengkalis, Riau, H. Simamora mengakui dan menilai jika penanganan gajah selama ini tidak serius.

Menurut dia, di daerah itu konflik gajah dan manusia sudah tidak dapat terhindarkan dan sepertinya tidak akan pernah berakhir.

"Kondisi ini bisa jadi disebabkan sumber makanan dan ruang tinggal gajah-gajah itu yang semakin menyempit akibat pengalihan kawasan hutan lindung yang terus beralih menjadi hutan tanaman industri," ujar Simamora.

"Salah satu cara menyudahi konflik itu, pemerintah harus menyediakan atau menambah luas pekarangan Pusat Pelatihan Gajah (PLG). Hal demikian juga jangan tunggu anggaran pusat, cukup anggaran daerah saja. Karena jika ditunggu dana dari pusat mau sampai kapan," tutur dia.

Sementara itu kawanan gajah liar sejak awal Maret 2010 kembali masuk ke perkampungan masyarakat di Desa Petani. beberapa rumah penduduk di desa itu ada yang hancur dan dirusak gajah.

Hewan yang hidup berkelompok itu acap keluar masuk perkampungan penduduk di Mandau karena tidak lagi ada hutan alami yang luas dan tidak ada kecukupan makanan bagi mereka.


(ANT/A038)

Sumber: ANTARA News (Minggu, 21 Maret 2010 04:36 WIB)

Walhi: Hutan Rusak Akibat Perkebunan Sawit

Pangkalpinang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wilayah Bangka Belitung (Babel), menilai kerusakan hutan di Babel akibat maraknya perkebunan sawit berskala besar yang dilakukan swasta di daerah itu.

Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Babel, Yudho H Marhoed di Pangkalpinang, Kamis, menyatakan, 70 persen kerusakan hutan di Babel rusak akibat perkebunan sawit berskala besar, sementara 30 persen kerusakan hutan disebabkan penambangan bijih timah ilegal dan ladang berpindah.

Setiap tahun Babel kehilangan 1.000 hingga 1.500 hektare hutan dan lahan produktif akibat pengalihfungsian hutan menjadi perkebunan sawit dan tambang timah ilegal sehingga menyebabkan perubahan iklim dan ekologi dan pemanasan global yang cukup tinggi, ujarnya.

"Untuk mencegah kerusakan hutan lebih parah lagi, kami berharap pemerintah menghentikan aktivitas pembukaan lahan baru perkebunan sawit karena dampak kerusakan hutan itu sudah dirasakan seperti curah hujan yang tidak menentu, perubahan suhu udara dan pasang surut air laut yang tidak menentu," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah telah melakukan kebohongan soal eksploitasi hutan. Di satu sisi, pemerintah menyuarakan untuk melindungi hutan yang tersisa di Indonesia seperti di Babel. Namun, di sisi lain, hutan justru dibabat untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit berskala besar.

"Pengelolaan hutan yang dilakukan pemerintah tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Justru apa yang dilakukan pemerintah menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat karena lahan dan perkebunan dikuasai oleh swasta," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah perlu dikaji ulang. Perkebunan kelapa sawit lebih baik dilakukan di areal hutan yang sudah rusak akibat aktifitas penambangan, kebakaran atau illegal logging.

"Kami tidak setuju lahan hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit berskala besar yang hanya menguntung pihak tertentu saja, tanpa memikirkan dampaknya lingkungan dan kehidupan hajat hidup orang banyak masa mendatang," ujarnya.

Ia juga mengatakan, kerusakan hutan itu dikarenakan perubahan kultur perkebunan yang dilakukan masyarakat dari perkebunan multikultur menjadi perkebunan monokultur yaitu perkebunan sawit yang dilakukan swasta dan masyarakat.


(T.KR-KMN/R009)

Sumber: ANTARA News (Kamis, 18 Maret 2010 21:13 WIB)

Menhut Jangan Masukkan Kebun Sebagai Hutan

Jakarta (ANTARA News) - LSM lingkungan Greenpeace menginginkan agar Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan jangan memasukkan perkebunan kelapa sawit dalam kategori hutan karena berpotensi untuk membiarkan pengrusakan hutan terus berjalan di Tanah Air.

Siaran pers dari Greenpeace di Jakarta, Kamis, menyebutkan, LSM tersebut mengecam rencana pemerintah membuat peraturan yang memasukkan perkebunan kelapa sawit di dalam kategori hutan sambil membiarkan pengrusakan habitat kritis terus terjadi termasuk di hutan gambut.

Menurut Greenpeace, jika perkebunan akhirnya dimasukkan dalam kategori hutan, dikhawatirkan akan mengakibatkan makin besarnya emisi dari pengrusakan hutan dan lahan gambut yang kini sudah sangat besar.

Greenpeace berpendapat, konsumsi CPO (minyak kelapa sawit) dan rencana penggunaan CPO untuk biofuel di pasar internasional telah mengakibatkan meluasnya penghancuran hutan dan gambut di Indonesia.

LSM tersebut lebih menginginkan agar Menteri Kehutanan untuk fokus pada bagaimana melindungi hutan Indonesia yang masih tersisa, biodiversitas, dan masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan.

Indonesia termasuk negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia, dan berada sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.

Greenpeace menegaskan, bila pemerintah serius ingin mengurangi emisi maka moratorium (penghentian sementara) pengrusakan hutan dan perlindungan penuh terhadap lahan gambut merupakan cara yang paling efektif.

Selain Greenpeace, LSM lainnya seperti Walhi, Forest Watch, dan Sawit Watch, juga telah mengirimkan surat terbuka kepada Menteri Kehutanan dan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia untuk memperingatkan mereka akan bahaya dari kebijakan yang salah.


(Tz.M040/R009)

Sumber: ANTARA News (Kamis, 18 Maret 2010 20:29 WIB)

2010-04-04

Mangrove Aceh Timur Terancam Punah

Banda Aceh (ANTARA News) - Hutan mangrove di kawasan kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh dilaporkan terancam punah akibat alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi industri arang kayu.

Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari, Sayed Zainal dihubungi di Langsa, Kabupaten Aceh Timur, Rabu, menyatakan kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dan belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat.

Menurut hasil survei, monitoring dan investigasi Lembaga Advokasi Hutan Lestari (Lembahtari) sejak Januari 2008 - Februari 2010, hutan mangrove yang terancam punah tersebut seluas 22.900 hektare lebih.

Kerusakan hutan manggrove seluas 22.900 ha tersebut berada di kawasan pesisir Kabupaten Aceh Tamiang, yakni di Kecamatan Seruway, Kecamatan Bendahara dan Kecamatan Manyak Panyed yang berbatasan dengan Pemerintah Kota Langsa dan Kabupaten Langkat (Sumatera Utara).

Dari 22.900 ha lebih yang terancam punah tersebut, seluas 5.500 ha merupakan hutan lindung mangrove dan 17 ribu ha. merupakan kawasan hutan dan hutan produksi.

"Belum ada upaya kebijakan dan langkah-langkah hukum Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh untuk menghentikan penebangan hutan mangrove serta melakukan inventarisasi dalam upaya penyelamatan hutan tersebut," katanya.

Hal yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan mangrove itu, telah memicu terjadinya konflik di lapangan antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit.

"Dengan mengalihfungsikan hutan manggrove menjadi perkebunan kelapa sawit, maka kebijakan pengusaha perkebunan ini akan semakin rumit," katanya.

Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menimbulkan berpindahnya Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway yang ketiga kalinya akibat abrasi pantai. Pemupukan tanaman kelapa sawit oleh pemilik perkebunan juga menimbulkan pencemaran kawasan hutan bakau di sekitarnya.

Tidak hanya masalah lingkungan, katanya, dampak lain yang terjadi saat ini menurunnya mata pencaharian masyarakat nelayan tradisonal yang mencari nafkah di lahan hutan bakau, karena punahnya populasi ikan, kepiting, dan udang.

Ironisnya, kata Sayed Zainal, Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh dengan mudah merekomendasikan pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 17.000 ha kepada PT Bakau Bina Usaha tanpa melakukan kajian yang mendalam serta berkelanjutan.

Selanjutnya Hak Guna Usaha (HGU) PT Sumber Asih di Paya Rambe Desa Lubuk Damar, Kecamatan Seruway dibiarkan terus merambah kawasan lindung hutan bakau menjadi perkebunan kelapa sawit, tanpa ada tindakan hukum dari pemerintah.

Dia berharap, Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan bakau di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan

"Jika pemerintah tidak bertindak cepat dalam menyelamatkan hutan manggrove, maka kami LSM akan memediasikan kasus ini ke Green Peace Indonesia untuk mencari dukungan internasional," demikian Sayed.


(KR-IRW/A038)

Sumber: ANTARA News(Rabu, 17 Maret 2010 19:03 WIB)

Limbah Ferikloida Jadi Bahan Cat Natural

Bandung (ANTARA News) - Tiga pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri II Kudus menemukan cara pemanfaatan limbah "Feriklorida (FeCl3)" bekas bahan pembuatan Printed Circuit Board (PCB) atau papan sirkuit elektronik menjadi bahan baku cat natural.

Percobaan dan pengolahan limbah feriklorida yang dilakukan oleh Ahmad Hudaya, Zainal Husain dan Arofah Suryani itu akhirnya menyabet juar ketiga Lomba Kreatifitas Generasi Muda 2010 yang digelar Puslitbang PU Pengairan Kementrian Pekerjaan Umum di Bandung.

"Kebetulan di Kudus banyak industri pembuat PCB sirkuit untuk alat-alat elektronik, selama ini limbahnya belum bisa diolah maksimal, sehingga kami mencoba membuat limbah itu bermanfaat dan tidak ada lagi limbah yang dibuang ke sungai," kata Akhmad Hudayana, Selasa.

Ia menyebutkan, limbah feriklorida bekas pembuatan papan PCB sirkuit elektronika itu kemudian dicampur dengan natrosol untuk mencairkannya. Hasil olahannya menghasilkan cat natural dengan warna coklat padas.

Akhmad menyebutkan, hingga saat ini ia hanya bisa membuat cat natural dengan warna dasar coklat padas seperti warna PCB. Limbah feriklorida belas bahan baku PCB memiliki figmen yang kuat untuk cat.

"Warna yang dihasilkan coklat padas, sesuai dengan warna PCB. Sejauh ini belum dilakukan pencampuran warna lainnya," kata Akhmad yang kelas 12 SMKN II Kudus itu.

Ia menyebutkan, penemuannya itu terinspirasi oleh banyaknya limbah PCB yang selama ini tidak termanfaatkan. Padahal jumlahnya di Kudus tidak sedikit. Selama ini, limbah itu dibuang dalam bentuk cair ke sungai.

Akhmad berharap, ke depan penemuannya tersebut bisa dikembangkan dan menghasilkan beberapa varian lainnya disamping pembuatan cat natural.

"Mungkin masih sangat sederhana, namun bila dikembangkan bisa lebih baik lagi," katanya Akhmad Hudayana.


(U.S033/M019/P003)

Sumber: ANTARA News(Selasa, 16 Maret 2010 16:37 WIB)

Eksploitasi Hutan Musnahkan Budaya Adat Dayak

Barabai, Kalsel (ANTARA News) - Eksploitasi berlebihan di kawasan hutan tempat hunian masyarakat adat Dayak, berperan sangat besar terhadap musnahnya adat isatiadat dan budaya setempat.

Hal tersebut berkaitan erat karena peran hutan yang sangat penting terhadap pelaksanaan adat istiadat dan budaya bagi masyarakat adat Dayak, ungkap Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade, Jumat.

"Hutan bagi masyarakat adat Dayak bukan hanya sekedar tempat tinggal atau tempat berusaha. Hutan bagi mereka adalah Ibu Pertiwi," ujarnya di Barabai, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan (Kalsel), sekitar 165 Km Utara Banjarmasin.

Ia mengatakan, pelaksanaan adat istiadat dan budaya berkaitan langsung dengan hutan.

"Seperti tradisi Bahilai yang dilaksanakan terkait aktivitas menanam padi atau Aruh Ganal sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil panen. Bila hutan tak lagi ada, budaya itupun akan hilang," katanya.

Dalam hal berusaha dan bertahan hidup, bisa saja dilakukan masyarakat adat Dayak di luar kawasan hutan. Tetapi, untuk masalah adat istiadat, budaya dan bahkan kepercayaan terhadap Tuhan sangat berkaitan erat dengan keberadaan hutan.

Ditambahkannya, pengakuan dari pemerintah saat ini terhadap agama dan kepercayaan masyarakat adat Dayak yaitu Kaharingan, sedikit banyak telah membantu membangun kepercayaan diri mereka.

Sementara itu, menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalsel, Hegar Wahyu Hidayat, upaya pemerintah mengakomodir budaya adat hanya sebatas pelestarian saja.

"Seperti Aruh Ganal yang pelaksanaannya difasilitasi oleh pemerintah, dilakukan hanya sekedar pelestarian saja dan kehilangan maknanya. Karena hal itu dilakukan dengan orientasi yang berbeda," ujarnya.

Kekhawatiran beberapa kalangan akan musnahnya adat istiadat dan budaya masyarakat adat Dayak saat ini bergulir seiring dengan musnahnya beberapa budaya yang ada, seperti Bahilai yang kini tak lagi dikenal.


(ANT/B010)

Sumber: ANTARA News(Jumat, 12 Maret 2010 11:52 WIB)

2010-04-03

Kawanan Gajah Mengamuk di Bengkalis

Bengkalis (ANTARA News) - Sekawanan gajah liar pada Jumat (5/3) tengah malam mengamuk dan memporakporandakan tiga rumah warga di RW 7, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Akibatnya, tiga rumah warga porak poranda. Beruntung, dua Kepala Keluarga (KK) yang menghuni masing - masing rumah itu berhasil menyelamatkan diri hingga terhindar dari amukan kawanan gajah tersebut.

Salah seorang warga Desa Petani yang ditemui ANTARA News, Sabtu, Poiman (45) mengatakan, kawanan gajah itu dalam sepekan terakhir terlihat memasuki areal perkampungan masyarakat. Saat kejadian pada Jumat malam, kawanan gajah itu masuk dari dua lokasi yang berbeda dengan merusak lahan perkebunan warga terlebih dahulu.

"Kami warga disini sebetulnya telah bersepakat untuk mengambil tindakan pengusiran," kata Poniman.

Upaya pengusiran yang dilakukan warga adalah menyalakan obor dan membakar ban mobil bekas serta membunyikan meriam bambu. Namun, upaya pengusiran itu sia-sia karena kawanan hewan berbadan tambun itu malah makin mendekati warga.

Menurut dia, saat kawanan gajah liar itu datang ia bersama warga lainnya panik dan merasa terancam jiwa sehingga mereka berhamburan menyelamatkan diri.

Sonia (43) seorang warga lainnya, mengatakan, amukan kawanan gajah ini merupakan rentetan peristiwa serupa sehari sebelumnya. Pada Kamis (4/3) hewan liar yang dilindungi pemerintah itu merusak sedikitnya lima hektare kebun palawija dan merusak satu rumah warga yang ada dekat kebun penduduk.

"Untuk saat ini sedikit-dikitnya ada tiga rumah warga dirusak, baik mengalami rusak ringan maupun berat. Tidak ada korban jiwa karena penghuni rumah masing-masing menyelamatkan diri dari amukan gajah liar yang kelaparan tersebut," jelas Patris (40), salah seorang warga yang rumahnya menjadi korban amukan gajah..

Menurut dia, karena keselamatan jiwa warga mulai terancam, sebanyak 11 kepala keluarga mengungsi ke tempat aman, misalnya dengan menumpang di rumah keluarga dekat atau tetangga yang letaknya agak jauh dari tempat tinggal mereka.

"Saat siang warga yang mengungsi itu kembali ke rumahnya masing-masing. Entah sampai kapan kami ulang alik mengungsi," katanya.

Dalam sepekan sejak kawanan gajah itu masuk perkampungan yang dihuni lebih dari 200 keluarga itu, sedikit-dikitnya 20 rumah permanen rusak ringan, sementara sekitar tiga rumah semi permanen milik warga Desa Petani mengalami rusak berat, karena dinding rumah dihantam oleh kawanan gajah itu hingga rubuh.


(E010/A038)

Sumber: ANTARA News(Sabtu, 6 Maret 2010 20:45 WIB)

Fahutan IPB Temukan Teknik "Guludan" Rehabilitasi Mangrove

Bogor (ANTARA News) - Pakar mangrove (hutan bakau) dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (Fahutan-IPB) Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS mengemukakan, tim peneliti IPB berhasil menemukan teknologi "guludan", yang bisa digunakan untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang rusak.

Saat ini di Indonesia lebih dari 50 persen kawasan mangrove yang ada berada dalam kondisi rusak, katanya dalam wawancara dengan ANTARA di Bogor, Selasa.

"Sebagian dari kawasan yang rusak tersebut berupa tapak-tapak khusus yang tidak bisa secara langsung ditanami mangrove. Dengan inovasi teknologi `guludan` ini tapak khusus tersebut dapat ditanami mangrove," katanya.

Teknologi tersebut, kata dia, sejak tahun 2005 telah diujicobakan untuk merehabilitasi jalur hijau dengan tanaman bakau di sepanjang jalan tol Sedyatmo, Jakarta Utara, yang merupakan program dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Provinsi DKI-Jakarta.

Jalur hijau tersebut membentang sepanjang lima kilometer dengan lebar 200 meter mulai dari pintu tol Muara Angke sampai dengan jalan layang (fly over) Cengkareng.

Teknik "guludan", kata dia, cara kerjanya yakni di antara tapak-tapak khusus dimaksud adalah lahan yang terendam air yang dalam --kedalaman air antara satu meter hingga dua meter--yang sebagian besar ditemukan sebagai hamparan lahan tambak yang terlantar ditinggal penggarapnya.

"Guludan", kata dia, adalah salah satu inovasi teknologi tepat guna untuk menanam mangrove pada lahan yang tergenang air yang dalam, dengan cara membuat "guludan" cerucuk bambu dengan ukuran tertentu, dalam hal ini berukuran 4 meter (lebar) x 6 meter (panjang) x 2 meter (dalam).

Dikemukakannya bahwa "guludan" tersebut diisi dengan tumpukan karung berisi tanah di bagian bawahnya, yang kemudian diurug dengan tanah curah di bagian atasnya sedalam lebih kurang 50 centimeter yang berperan sebagai media tanaman.

Selanjutnya, anakan mangrove ditanam pada permukaan tanah tersebut dengan pola tanam dan jarak tanam tertentu --di mana jarak yang berdekatan akan lebih ideal--sehingga hasilnya akan lebih baik.

Jenis yang ditanam adalah "Rhizophora mucronata" dan "Avicennia spp" dengan jarak tanam 1 x 1 meter, 0,5 x 0,5 meter, dan 0,25 x 0,25 m pada tahun pertama (2005).

Ia menjelaskan, bahan-bahan yang perlu disiapkan sebelum membuat konstruksi "guludan" cerucuk bambu adalah bambu, karung plastik, tali kapal dan tanah urug.

Menurut Cecep Kusman, penanaman mangrove dengan teknik "guludan" sebagai suatu alternatif solusi rehabilitasi mangrove pada tapak-tapak yang khusus diarahkan untuk penanaman pada lahan yang tergenang air yang cukup dalam (1-2 meter).

Dalam kegiatan itu, katanya, lokasi pembuatan "guludan" ditetapkan di tambak dengan kedalaman lebih kurang 2 meter di "arboretum" mangrove Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta.

Lokasinya berada di kawasan hutan yang berjarak lebih kurang 100 meter dari jalan tol Sedyatmo dan berjarak lebih kurang 10 meter dari salah satu ruas jalan raya perumahan Pantai Indak Kapuk (PIK), Jakarta Utara.

Tumbuh baik

Sementara itu, berdasarkan pemantauan di lapangan, pada petak-petak teknik "guludan" yang menjadi uji coba Fahutan IPB di antara tol Sedyatmo dan perumahan PIK, mangrove yang telah ditanam sejak tahun 2005 tumbuh dengan baik, dan sudah tumbuh dengan ketinggian lebih dari satu meter.

"Memang ada yang mencoba memakai teknik `guludan` ini di petak-petak lain, namun karena tidak dilakukan dengan bimbingan yang benar dari yang berkompeten, hasilnya sebagian besar gagal dan tanaman

mangrovenya malah mati," kata Dr Ir Istomo, salah satu peneliti Fahutan IPB yang bersama Cecep Kusmana dan Tarma Purwanegara telah membukukan teknik dimaksud.

Tiga peneliti Fahutan IPB itu membukukan hasil penelitian mereka dengan judul "Teknik Guludan Air Tenang (TGAT) Untuk Penanaman Mangrove Di Lahan Terendam Air Dalam Berarus Tenang: Manual Teknologi Tepat Guna", yang disponsori Direktorat Jenderal Pendidikian Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008, dan menjadi hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB.

Menurut Istomo, hasil penelitian tentang "guludan" itu, memang sejauh ini belum dipatenkan, apalagi ketua tim Prof Cecep Kusmana lebih memposisikan sebagai "amal jariah" sebagai sumbangsih mereka bagi masyarakat luas.

"Sampai hari ini, memang teknik `guludan` ini belum dipatenkan, tapi sudah banyak yang menggunakan teknik ini, meski hasilnya memang tidak sebagus yang telah kita ujicobakan," katanya.

Baik Cecep Kusmana maupun Istomo menyatakan bahwa secara prinsip, pihaknya siap membantu jika pemerintah daerah (Pemda) di berbagai daerah Indonesia yang mempunyai kawasan mangrove yang kritis membutuhkan bantuan.

"Karena lebih dari separuh mangrove di Indonesia rusak dan kritis, perlu upaya penyelamatan yang serius," demikian Cecep Kusmana.


(A035/K004)

Sumber: ANTARA News(Rabu, 10 Maret 2010 03:02 WIB)

Cara Ular "Melihat" Pada Malam Hari

Beberapa ilmuwan, Minggu (14/3), mengungkapkan untuk pertama kali bagaimana sebagian ular dapat mendeteksi panas tubuh yang lemah dan dipancarkan oleh tikus dalam jarak satu meter dengan ketepatan yang cukup akurat serta kecepatan untuk berburu di dalam gelap.

Selama berabad-abad telah diketahui bahwa ular derik, boa dan piton memiliki apa yang disebut organ rongga di antara mata dan lubang hidungnya yang dapat merasakan bahkan sekelumit radiasi infra-merah --panas-- di sekitar mereka, sebagaimana dikutip dari AFP.

Di antara ular berbisa, "diamonblack rattlesnake", hewan asli Meksiko utara dan Amerika Serikat barat-daya, berada di klasnya sendiri --kemampuannya mencari panas 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan ular lain sepupunya.

Bahkan dengan potongan kecil yang menutupi matanya, ular tersebut telah memperlihatkan kemampuan untuk melacak dan membunuh korban dengan mata tertutup.

Tetapi bagaimana secara tepat hewan reptil itu mendeteksi dan mengubah sinyal infra-merah menjadi denyut syaraf tetap menjadi misteri, dan objek perdebatan tajam.

Satu calon ialah proses protokimiawi yang menggaris-bawahi pandangan, sedangkan mata melihat radiasi elektromagnetik --cahaya penglihatan bagi manusia-- dalam bentuk proton yang mengaktifkan sel-sel penerima, yang pada gilirannya mengubah energi jadi sinyak biokimia di otak.

Sebagian ikan, misalnya, dapat melihat ke dalam panjang gelombang spektrum elektromagnetik infra-merah.

Namun David Julius, ahli biologi molekular di University of California di San Fracisco, memperlihatkan dalam percobaan laboratorium bahwa jalur syaraf yang berbeda bekerja bagi "indra keenam" ular tersebut.

"Dalam kasus ini, radiasi infra-merah benar-benar terdeteksi di dalam organ rongga itu sebagai panas," kata Julius dalam wawancara telefon dengan kantor berita Prancis, AFP. "Kami mendapat molekul itu bertanggung jawab."

Membran yang sangat tipis di dalam organ rongga tersebut --terutama lubang dangkal yang terlihat tulangnya-- menghangat saat radiasi masuk melalui pembukaan pada kulit, ia menjelaskan.

Karena membran tersebut adalah ruang dangkal, itu sensitif terhadap perubahan temperatur.

"Jaringan yang memanas lalu mengirim sinyal ke serat syaraf untuk mengaktifkan penerima yang telah kami identifikasi", yang dikenal sebagai saluran TRPA1, katanya.

Jalur syaraf-kimiawi yang terlibat tersebut menunjukkan ular merasakan panas dan bukan melihatnya.

"Molekul yang kami temukan itu milik satu keluarga penerima yang berkaitan dengan jalur rasa sakit pada mamalia," kata Julius.

Pada manusia, mekanisme yang serupa disebut "wasabi receptor", karena itu memungkinkan sistem syaraf sensor manusia mendeteksi iritasi --seperti bumbu Jepang-- yang berasal dari keluarga mostar.

Namun, itu bukan diaktifkan oleh panas. Temuan tersebut, yang disiarkan di jurnal Nature, juga mungkin memberi cahaya mengenai bagaimana ular, yang telah melata di seluruh planet Bumi selama lebih dari 100 juta tahun, berevolusi.

"Mempelajari perubahan pada molekul sensor adalah cara yang menarik untuk meneliti evolusi karena saat hewan menghuni tempat yang berbeda, mencium dan merasakan benda yang berbeda, memburu hewan yang berbeda, sistem sensor mereka harus menyesuaikan diri," kata Julius.

Temuan itu juga menunjukkan bahwa kekuatan seleksi alam menghasilkan mekanisme pencari panas serupa yang luar biasa pada reptil dan pada kesempatan terpisah.

Tak seperti ular boa atau piton, yang juga memiliki organ rongga, viper --termasuk ular derik-- relatif baru muncul, dalam kasus evolusi, sehingga diduga telah mengembangkan kemampuan yang sama secara independen.

"Mengagumkan untuk menduga mutasi acak mungkin telah terjadi pada jenis penyelesaian yang sama lebih dari satu kali," kata Julius.


(C003/A024)

Sumber: ANTARA News(Senin, 15 Maret 2010 10:18 WIB)

2010-04-02

Harimau Mangsa Ternak Warga di Aceh Selatan

Tapaktuan (ANTARA News) - Sebanyak dua harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) memangsa ternak ayam dan bebek milik warga di Desa Ujung Tanah, Kecamatan Samadua, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh.

"Sejak beberapa hari terakhir warga resah akibat ternaknya dimangsa harimau dan jejaknya juga terlihat di sekitar pemukiman penduduk," kata Camat Samadua, S. Junaidi, di Tapaktuan, Selasa.

Ternak ayam dan bebek yang dimangsa satwa dilindungi itu milik Roni warga Dusun Sawang Bunga yang berada di pinggir jalan negara Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat) - Medan (Sumatera Utara).

Junaidi mengatakan, pihaknya akan segera melaporkan keberadaan satwa dilindungi ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) agar segera ditanggulangi.

"Keberadaan harimau di sekitar pemukiman warga itu harus segera diatasi agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar," katanya.

Ia juga berharap pihak terkait untuk segera mengatasi keresahan penduduk dengan menurunkan pawang harimau untuk menjinakkan atau menggiring kembali ke habitatnya.

Jika dibiarkan berlarut, maka ia mengkhawatirkan satwa langka itu akan memangsa manusia seperti yang terjadi di Kecamatan Meukek, Labuhan Haji Timur dan Bakongan Timur.

Sementara itu, salah seorang warga Dusun Sawang Bunga, Abdullah (52), mengataka bahwa sejak beberapa hari terakhir jejak kaki harimau terlihat sekitar 20 meter dari dapur rumahnya.

"Pada hari Senin (15/3) ada dua jejak kaki harimau yang terlihat di belakang rumah saya. Yang satu kakinya besar dan satu lagi kemungkinan anaknya," kata petani pala dan kakao itu.

Warga mengaku sejak mengetahui ada jejak kaki harimau, mereka tidak berani beraktifitas di kebun secara maksimal.

Aktivis Lingkungan, T. Masrizar mengatakan BKSDA harus segera menurunkan tim untuk mengatasi gangguan satwa liar itu.

"BKSDA selaku pihak yang bertangggung jawab harus segera mencari solusi penanganannya, kalau tidak saya khawatir warga akan menempuh cara-cara anarkis," katanya.

Direktur Eksekutif Institute of Studies Social Development Strategy (Insosdes) itu menyebutkan, turunnya satwa liar ke pemukiman penduduk, akibat masih maraknya penebangan liar di kawasan pegunungan.


(T.KR-IRW/A011/P003)

Sumber: ANTARA News(Selasa, 16 Maret 2010 12:56 WIB)

Kerusakan Hutan Lampung Terparah di Sumatra

Bandarlampung (ANTARA News) - Tingkat kerusakan hutan di Provinsi Lampung tergolong yang paling parah dibanding daerah lain di Sumatra, dengan tingkat degradasi kutipan sebesar 70 persen.

"Kerusakan hutan itu antara lain disebabkan ulah manusia dan aktivitas pembangunan serta pemanfaatan lahan hutan menjadi perkebunan," kata Wakil Gubernur Lampung, MS Joko Umar Said, di Bandarlampung, Senin.

Ia menyebutkan, hampir 60 persen hutan di Lampung rusak akibat pembalakan liar, perambahan, pengalihan fungsi hutan menjadi areal perkebunan, kebakaran dan lain-lain.

Menurut dia, kerusakan hutan di Lampung akibat kebakaran hanya sedikit. Berdasarkan data hot spot sebanyak 80 persen kebakaran terjadi di luar hutan, sedang 20 persen berada dalam kawasan hutan.

Joko menjelaskan, kebakaran hutan dan lahan tidak hanya mengakibatkan kerugian secara ekologis dengan hilangnya vegetasi dan habitat satwa, tetapi juga secara ekonomis.

Kerusakan hutan di Lampung itu katanya sejak tahun 1980 hingga saat ini belum dapat dituntaskan oleh pemerintah sehingga deforestasi (penurunan luas) hutan di daerah itu akan semakin meluas.

"Saat ini 70 persen tutupan hutan di Lampung terdegradasi," kata Joko.

Luas areal hutan Lampung menurut Joko, setiap tahun menyusut, pada 1991 luas hutan di daerah itu mencapai 1,237 juta hektare lebih (37,48 persen).

Pada tahun 1999, luas areal hutan di Lampung 1,144 juta ha (34,67 persen) dan tahun 2000 luas areal hutan 1,004 juta ha lebih (30,43 persen).

Wakil Gubernur Lampung itu menjelaskan, kondisi hutan di Lampung yang masih mencapai 66 persen yakni Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdurrahman dan sekitar kawasan Gunung Anak Krakatau (GAK).


(T.A054/S026)

Sumber: ANTARA News(Senin, 15 Maret 2010 21:27 WIB)

Ayo "Vote Komodo", April dan Mei

Kupang (ANTARA News) - April dan Mei ditetapkan sebagai bulan gerakan "Vote Komodo" mendukung komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban alam, kata Kepala Bidang Promosi Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan NTT Ulbadus Gogi di Kupang, Rabu.

"Sekarang ini kami lagi siapkan draf surat edaran gubernur tentang penetapan April dan Mei sebagai bulan gerakan `Vote` Komodo. Akhir bulan ini sudah bisa ditanda tangani untuk diteruskan kepada seluruh instansi terkait, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah," katanya.

Ulabdus mengungkapkan, melalui surat itu, instansi pemerintah, swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah diminta menyediakan perangkat lunak berupa satu unit komputer dan jaringan internet di instansinya.

Perangkat lunak ini akan dimanfaatkan cuma-cuma oleh pegawai, mahasiswa atau siswa/siswi di lingkup masing-masing yang ingin memberikan dukungan agar komodo menjadi salah satu keajaiban dunia.

"Tidak semua orang memiliki perangkat lunak untuk memberikan dukungan dan pemerintah bersama instansi terkait akan menyediakan fasilitas itu, di kantor, kampus dan sekolah agar bisa dimanfaatkan untuk memberikan dukungan," katanya.

Dia menambahkan, pemerintah juga akan mengirim surat berisis permintaan dukungan serupa untuk komodo kepada seluruh gubernur di Indonesia.

Ulbadus berharap, dengan segala upaya yang sedang dilakukan pemerintah Provinsi NTT, perjuangan menjadikan komodo sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia terwujud.(*)


B017/K006/AR09

Sumber: ANTARA News(Rabu, 24 Maret 2010 14:19 WIB)

2010-04-01

Suhu Riau Dua Derajat Celcius Setahun

Pekanbaru (ANTARA News) - Seorang peneliti lingkungan dari Universitas Negeri Riau (UNRI) menyatakan suhu udara di Provinsi Riau naik rata-rata sekitar dua derajat celcius dalam setahun.

"Hasil penelitian terakhir yang kita lakukan telah terjadi peningkatan suhu udara di Riau dua mencapai derajat Celcius per tahun," ujar peneliti dari Badan Kajian Rona Lingkungan UNRI, Tengku Ariful Amri, kepada ANTARA di Pekanbaru, Senin.

Menurutnya, peningkatan suhu udara yang cukup tinggi di luar batas kewajaran karena peningkatan suhu udara di dunia rata-rata hanya mencapai satu derajat Celcius itu karena laju kerusakan hutan yang tidak terkendali.

Kondisi peningkatan suhu di Riau yang tak semestinya itu juga dipengaruhi dampak perubahan iklim dunia yang tidak mengenal batas wilayah sehingga Riau tergolong rentan sebagai daerah yang terkena dampak pemanasan global (global warming).

Penelitian Rona Lingkungan UNRI menyebutkan suhu maksimal kawasan kota di Riau yang tidak memiliki hutan berkisar antara 35-36 derajat Celcius, kemudian kawasan yang memiliki sejenis tumbuhan 33-34 derajat Celcius dan kawasan dengan tumbuhan heterogen 31-32 derjat Celcius.

"Kesimpulannya di kawasan hutan heterogen pemanasan suhu udara berkurang empat derajat Celcius, sedangkan yang memiliki tumbuhan sejenis hanya berkurang dua derajat Celcius," jelasnya.

Dengan kondisi itu, lanjutnya, maka suhu udara minimum di Riau kini 32 derajat Celcius atau mengalami peningkatan 3-4 derajat Celcius dari suhu minimun tahun 2007 berkisar antara 28-29 derajat Celcius.

Pada suhu minimum yang terjadi dewasa ini maka penduduk di Riau merasakan cuaca yang gerah ketika malam hari yang menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian energi listrik untuk mengopersikan mesin pendingin (air conditioner).

"Pemakaian mesin pendingin telah menyebabkan efek rumah kaca yang kembali mengakibatkan pemanasan global," ujarnya.

Sebelumnya Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) Susanto Kurniawan mengatakan tingkat kenaikan suhu udara di Riau berada di atas normal, karena mencapai dua derajat Celcius, sedangkan rata-rata kenaikan suhu dunia hanya satu derajat Celcius.

Fenomena cuaca itu terjadi, menurut dia karena 51 persen dari total luas wilayah daratan Riau terutama kawasan gambut, telah dibuka dengan laju kerusakan gambut sekitar 135 ribu hektare per tahun akibat aktivitas ekonomi.


(ANT/S026)

Sumber: ANTARA News(Senin, 8 Maret 2010 19:04 WIB)

Abrasi Ancam 300 KK Warga Rangsang, Rumah 60 KK Ditelan Air Pasang

Meranti (ANTARA News) - Sedikitnya 300 kepala keluarga (KK) yang berada di Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti, Riau, merasa terancam akibat tingginya tingkat abrasi di pulau itu.

Menurut keterangan sejumlah warga di sana, tinggi gelombang yang mencapai 2-3 meter menyebabkan tidak satu pun penyangga ombak yang ada di bibir pantai bisa bertahan lama, sehingga menyebabkan abrasi kian parah.

Kartini (40), seorang warga Desa Bantar, Kecamatan Rangsang yang ditemui ANTARA beberapa waktu lalu mengungkapkan, kondisi tebing penyanggah yang berada di belakang rumahnya hanya tingggal beberapa meter saja. Hingga terkadang percikan ombak juga menjangkau dinding rumahnya yang terbuat dari papan.

"Sebelum saya, sudah ada sekitar 60 keluarga yang mengungsi akibat rumahnya ditelan air pasang laut. Kalau nantinya kami harus sama seperti mereka, mau diapain lagi," ungkap Kartini.

Selain Kartini, kecemasan juga diungkapkan Rio (48), warga pulau Rangsang lainnya. "Kami mengharapkan agar pemerintah dapat membangun penyangga yang kokoh agar rumah kami tidak hanyut di telan laut," pintanya.

Pria yang mengaku memiliki seorang istri dan empat orang anak itu juga mengharapkan agar pemerintah dapat memperhatikan korban abrasi yang saat ini sudah mencapai puluhan. "Bantuan itu bisa berupa makanan, uang, atau apa saja yang bermanfaat," pintanya lagi.

Sementara itu, Kepala Desa Bantar, Zulhaidi saat dihubungi mengaku belum dapat malakukan apapun untuk warganya yang mengungsi akibat abrasi. Ia juga mengakui, abrasi hebat yang melanda pulau Rangsang juga dirasakannya. Hal itu karena rumahnya yang juga berada di tepi pantai.

"Banyak orang dari kota berjanji ingin membantu kami disini, tapi sampai sekarang juga `gak` jadi - jadi," ucap dia.

Zulhaidi juga mengungkapkan jika pemerintah sebelumnya juga sempat berjanji akan melakukan penanaman mangrove (hutan bakau-red) di sekitar area pantai. Namun sejak tiga tahun lalu, sebelum pemekaran kabupaten Meranti, janji tersebut belum kunjung terlaksana.

"Saat ini kami semua hanya bisa pasrah," ucap sigkat Zulhaidi.

(FZR/K004)

Sumber: ANTARA News(Selasa, 23 Maret 2010 03:10 WIB)

250 Hektare Lahan Semak di Dumai Terbakar

Dumai (ANTARA News) - Sedikitnya 250 hektare lahan yang berada di Jalan Thomas, Kelurahan Basilan, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, Riau, terbakar sehingga asap menutupi daerah tersebut.

Dari pantauan ANTARA di Dumai, Rabu, kepulan asap tampak meluas menutupi areal semak belukar itu. Tiupan angin yang kencang memudahkan api menjilat semak belukar yang mengering.

Beberapa warga yang ditemui ANTARA di sekitar lokasi kebakaran, mengatakan ratusan hektare lahan semak belukar itu sengaja dibakar untuk kepentingan perusahaan perkebunan.

\"Kalau dari analisa kami, lahan ini sengaja dibakar. Karena dari kemarin (Selasa, 30/3) selalu ada orang yang mengawasi pembakaran lahan disini,\" ungkap Jon (44), seorang warga yang ditemui di tempat kebakaran.

Selain Jon, An (30), seorang warga setempat lainnya yang ditemui disana mengaku kesal dengan pembakaran lahan itu. Pasalnya, sisa pembakaran akan menimbulkan asap yang membuat mata perih dan dapat mengganggu aktivitas luar rumah.

\"Jarak lahan yang dibakar memang jauh dari perkampungan, tapi karena lahan yang terbakar luas, efeknya sampai ke kampung tempat tinggal warga,\" tuturnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Kadisbunhut) Kota Dumai, Afifudin saat dikonfirmasi perihal penangganan kebakaran itu mengaku tidak mengetahui adanya kebakaran lahan tersebut.

\"Hingga sampai sekarang kami belum mendapatkan informasi adanya kebakaran lahan disana. Jika benar lahan yang terbakar seluas itu dan tidak ada penanggulangan dari pemilik lahan, maka bisa jadi itu bukan kebakaran, tapi pembakaran,\" kata Afifudin.

Menurut dia, luasnya lahan yang terbakar itu sangat dipengaruhi keterbatasan kendaraan patroli serta minimnya anggota yang turun memantau ketempat - tempat yang rawan kebakaran.

Ia menambahkan, lokasi kebakaran hutan tidak semuanya mudah dijangkau mobil pemadam kebakaran.

\"Beberapa titik kebakaran hutan bahkan hanya berbentuk jalan setapak. Selama ini petugas pemadam kebakaran hutan mengandalkan sekat bakar yang berfungsi mencegah api merembet lebih jauh ke dalam hutan,\" ucapnya.

Afifudin mengakui, Disbunhut Kota Dumai hingga saat ini masih kekurangan personil, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pembakaran liar diareal tersebut.

\"Saat ini tim lapangan kami yang aktif hanya sekitar 28 orang, untuk melakukan pemantauan terkadang masih terkendala,\" tuturnya.

Ditanya mengenai tindakan yang akan dilakukan pihaknya setelah mendapat informasi dugaan pembakaran lahan seluas 250 hektare itu, Afifudin berjanji akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian setempat dan memberi sanksi hukuman sesuai dengan Undang - Undang (UU) yang berlaku.

\"Koordinasi akan kami lakukan secepatnya, baik dengan polisi kehutanan serta jajaran Polres Dumai. Setelah itu, kami akan melakukan pemeriksaan secara intensif terhadap pelaku dan pemilik lahan,\" paparnya. (FZR/K004)


Sumber: ANTARA News(Kamis, 1 April 2010 02:49 WIB)

April 2010 KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Advanture

Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org