2010-07-07

20 Tahun Lagi Gletser Papua Hilang

Timika (ANTARA News) - Pimpinan kelompok peneliti inti es Papua, Prof Lonnie G. Thompson, dari Ohio State University memperkirakan dalam waktu 20 tahun hingga 30 tahun ke depan gletser di Gunung Cartensz, dekat Puncak Jaya, Papua akan hilang sebagai akibat dari pemanasan global.

"Hampir pasti di sini dan di tempat-tempat tropis yang lain kira-kira dalam 30 tahun gletser akan hilang akibat perubahan iklim," kata Lonnie Thompson kepada ANTARA di Timika, Sabtu.

Ia memimpin proyek penelitian pengeboran inti es Papua 2010 kerja sama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan Byrd Polar Research Center (BPRC) The Ohio State University yang beranggotakan sejumlah peneliti dari Amerika Serikat, Rusia, Perancis dan Indonesia.

Kelompok peneliti pimpinan Lonnie Thompson selama 13 hari tinggal di tiga titik gletser yang masih ada di Papua yaitu gletser Cartensz, E.Nortwall Firs dan W.Northwall Firs yang hampir habis atau hilang.

Menurut pengakuan Lonnie Thompson, selama 13 hari berada di kawasan gletser Papua, gletser setempat mengalami penurunan sekitar 30 centi meter. Ia memperkirakan, setiap tahun gletser Papua hilang beberapa meter.

Lonnie Thompson mengatakan, proses pencairan es pada gletser Papua sangat cepat akibat dari faktor iklim dimana setiap hari di kawasan itu selalu turun hujan.

"Benar kalau gletser di sini kemungkinan akan cepat habis karena setiap hari turun hujan. Hujan merupakan salah satu faktor cuaca yang paling cepat menghabiskan gletser," katanya.

Selama berada di kawasan gletser Papua, Lonnie dan rekan-rekannya mengambil sampel 88 meter Ice Core dengan mengebor enam inti es sampai dasar es lalu dipotong-potong menjadi satu meter dan dimasukan ke dalam freezer untuk diteliti lebih lanjut di Ohio State University Amerika Serikat.

Hasil penelitian ini diperkirakan akan selesai akhir tahun 2010 dan akan dipublikasikan sekitar bulan Juni 2011.

"Misi pengambilan sampel es ini untuk mendapatkan informasi iklim yang masih ada di gletser Papua sebelum informasi iklim itu akan hilang semua," jelas Lonnie Thompson.

Ia mengatakan, suhu rata-rata di kawasan gletser Papua pada siang maupun malam hari berkisar pada 5 derajat celcius hingga minus 5 derajat celcius di bawah 0. Menurut Lonnie, gletser yang ada di pegunungan Papua merupakan yang paling rendah dibanding dengan gletser di tempat-tempat lain di berbagai belahan dunia.

"Kami sudah mengambil semua sampel es dari berbagai gunung di dunia, dimana yang tertinggi di pegunungan Himalaya (perbatasan Tibet dan Cina) dengan ketinggian sekitar 7.200 meter diatas permukaan laut. Sedangkan yang ada di Papua berada pada ketinggian di bawah 5.000 meter di atas permukaan laut," jelasnya.

Lonnie Thompson mengatakan, kegiatan penelitian gletser di Papua tidak lepas dari dukungan PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang emas, tembaga dan perak yang beroperasi di Mimika, Papua.

"Tanpa bantuan Freeport, tidak mungkin kami mengambil es dari gletser untuk dibawa secara cepat dengan helikopter lalu dimasukkan dalam freezer untuk dikirim ke pusat penelitian di Amerika Serikat. Karyawan Freeport juga banyak memberikan bantuan untuk memindah-mindahkan peralatan penelitian selama berada di kawasan gletser Papua," katanya menambahkan.
(T.E015/P003)


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 26 Juni 2010 10:34 WIB)

2010-07-06

Pemerintah Pertahankan 68 Persen Hutan

Jakarta (ANTARA News) - Pada peluncuran Yayasan Dana Lestari Sumatera atau Sumatera Sustainability Fund (SSF) di Jakarta, tadi malam, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan berjanji mempertahankan 68 persen luas hutan dibandingkan daratan di Indonesia.

"Dalam rapat di Kantor Wakil Presiden pagi tadi yang membahas masalah tata ruang, gubernur dan bupati mengeluhkan Kementerian Kehutanan yang menghambat tata ruang," katanya.

Zulkifli mengatakan saat ini luas hutan dibandingkan daratan sebesar 68 persen, sementara sisanya 32 persen adalah lahan budidaya.

"Kalau saya menyetujui tata ruang yang diajukan bupati dan gubernur tanpa dipilah maka luas hutan bisa terbalik yaitu hutan 32 persen dan lahan budidaya mencapai 68 persen," katanya.

Apabila hal tersebut terjadi, moratorium ijin konversi hutan alam dan lahan gambut sebagai kebijakan Presiden RI akan sia-sia, lanjutnya.

Menhut menjelaskan rusaknya hutan di Indonesia 66 persen akibat perambahan, baik perambahan untuk pertanian, perkebunan maupun untuk pertambangan.

"Hutan yang rusak akibat ijin konversi untuk perkebunan, jalan raya dan oleh bupati hanya 16 persen," katanya.(*)

N006/Z002/AR09


Sumber : ANTARA News (Rabu, 23 Juni 2010 01:52 WIB)

2010-07-05

10 Orangutan Sumatra Didatangkan ke Jambi

Jambi (ANTARA News) - Sepuluh orangutan sumatra (Pongo Abelii) kembali didatangkan ke Jambi untuk dilestarikan di kawasan Bukit Tigapuluh, upaya mempertahankan populasi species yang terancam punah itu.

Program pelepasliaran ini bertujuan meningkatkan populasi orangutan sumatra yang terus menyusut akibat maraknya pembukaan hutan menjadi areal perkebunan di habitat aslinya, kata Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera dari Frankfurt Zoological Society (FZS) Julius Paolo Siregar di Jambi, Selasa.

Saat ini diperkirakan hanya 6.000 ekor orangutan yang hidup liar. Penyitaan orangutan sebagai hewan peliharaan terus dilakukan untuk selanjutnya dilepasliarkan ke dalam hutan.

Menurut Julius Paolo Siregar, orangutan tersebut diberangkatkan dari Stasiun Karantina Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatra Utara pada hari Senin (7/6) sore dan dijadwalkan tiba di Jambi, Rabu (9/6) pagi.

"Transportasi orangutan menggunakan satu unit truk dan didampingi dokter hewan serta polisi hutan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatra Utara. Siang ini rombongan berada di Pekanbaru, Riau," ujar Julius, Selasa.

Setibanya di Kabupaten Tebo, Jambi, orangutan akan dipindahkan dari truk ke dalam dua unit mobil offroad. Diperlukan waktu tempuh 6-8 jam untuk mencapai di Stasiun Reintroduksi Orangutan.

Sementara, drh Yenny Saraswati dari Stasiun Karantina mengatakan rata-rata orangutan ini berusia enam tahun.

"Ada satu ekor orangutan yang berusia lebih dari 10 tahun. Kesepuluh orangutan ini terdiri dari enam betina dan empat jantan," ujar dia.

Sebagian besar orangutan berasal dari hasil sitaan di wilayah Aceh. Virina salah satu orangutan betina adalah sitaan dari seorang petani di Desa Kutacane. Petani tersebut mendapati Virina masuk dalam perangkap babi yang ia pasang di sawah.

"Di leher Virina masih terlihat bekas jeratan, namun kini sudah sembuh," ujar Yenny.

Kegiatan pelepasliaran orangutan merupakan bagian dari Program Konservasi Orangutan Sumatera (PKOS/SOCP) yang dilaksanakan oleh tiga lembaga non pemerintah yakni Pan Eco, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), dan FZS.

Ketiga lembaga ini melaksanakan programnya bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementrian Kehutanan.

Julius menyatakan dengan penambahan orangutan ini maka sejak 2002 FZS telah menerima 139 ekor orangutan. Hingga Maret lalu FZS telah melepasliarkan 116 ekor orangutan dan lima ekor lainnya kini tengah berada di hutan adaptasi.

Di Stasiun Reintroduksi, lanjut Julius, orangutan akan menjalani proses adaptasi dan sosialisasi. Orangutan juga akan dibekali berbagai kemampuan untuk dapat hidup di hutan kembali.

Setidaknya diperlukan waktu tiga bulan sebelum orangutan dilepasliarkan. Semakin lama orangutan dipelihara manusia sebelumnya maka proses adaptasi akan semakin lama.

"Biasanya orangutan yang masih jinak akan dilepasliarkan di hutan adaptasi. Sedangkan orangutan yang sifatnya masih liar dapat langsung dilepaskan ke dalam hutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh," imbuh Julius.

Dengan terus berlangsungnya program reintroduksi ini diharapkan populasi orangutan sumatera yang masuk dalam klasifikasi satwa sangat terancam punah ini dapat diselamatkan.

(ANT/S026)


Sumber : ANTARA News (Selasa, 8 Juni 2010 18:57 WIB)

2010-07-04

Warga Rokan Hilir Tangkap Buaya 5 Meter

Rukan Hilir (ANTARA News) - Warga Kepenghuluan Harapan Jaya, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), menangkap seekor buaya jenis "tomistoma schlegelii" (buaya ikan) dengan panjang 5,5 meter.

Informasi yang dihimpun dari sejumlah penduduk setempat, Sabtu, buaya yang ditangkap oleh warga di Perairan Sungai Pedamaran, Kecamatan Rimba Melintang, pada Jumat (4/6) kemarin, diduga telah memangsa seorang anak berusia 17 tahun yang dikabarkan hilang sejak beberapa pekan sebelumnya.

Kepala Kepolisian Resor Rohil, AKBP Bambang Sudarmaji ketika dimintai konfirmasi membenarkan bahwa warga setempat berhasil menangkap buaya tersebut dengan mengunakan dua buah pancing dan jala di perairan Sungai Pedamaran pada hari Jumat (4/6) pukul 10.00 WIB.

"Namun sangat disayangkan, di tengah perjalan buaya itu mati," katanya.

Warga, kata Kapolres Bambang Sudarmaji, lantas membedah isi perut makhluk buas tersebut dan menemukan tulang belulang yang mirif dengan tulang manusia.

Dikatakan Kapolres, pihaknya belum dapat memastikan temuan itu apakah tulang manusia atau binatang karena harus memalui pemeriksaan dari tim kedokteran setempat.

"Untuk memastikannya, buaya tersebut dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau dan dilakukan pemeriksaan terhadap tulang-tulang yang berada di dalam perutnya," katanya.

Di lain pihak, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Rohil, Tugiman Marto, menerangkan penangkapan dan pembedahan terhadap buaya tersebut sebelumnya sudah dilaporkan kepada pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat.

"Langkah pembedahan atas buaya tersebut sebelumnya sudah mendapat izin dari BKSDA setempat karena bagaimana pun buaya itu merupakan hewan langkah yang masuk dalam daftar perlindungan negara," kata Marto menegaskan.
(T.KR-FZR/D007/P003)


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 5 Juni 2010 13:45 WIB)

2010-07-03

21 Juni, Hari Konservasi Badak Indonesia

Ujung Kulon, Pandeglang (ANTARA News) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bersama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mencanankan dan mendeklarasikan tanggal 21 Juni sebagai hari konservasi badak Indonesia.

Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Agus Priambudi di Ujung Kulon Pandeglang, Selasa mengatakan, tanggal 21 dideklarasikan sebagai hari Konservasi badak Indonesia untuk mengingatkan masyarakat Indonesia agar bisa menjaga dan melestarikan badak khususnya badak jawa(Rhinocerus Sondaicus) yang merupakan spesies paling langka di dunia, sehingga harus dijaga dari kepunahannya.

"Setiap tanggal 21 Juni mengingatkan masyarakat untuk selalu menjaga dan melestarikan badak, khususnya badak jawa di Indonesia yang hanya ada di TNUK," kata Agus Priambudi.

Agus mengatakan, populasi badak jawa di TNUK saat ini diperkirakan hanya tinggal 50 ekor lagi berdasarkan hasil sensusu populasi badak jawa. Sehingga, dengan dilakukan penangkaran yang diresmikan Menhut dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah Senin (21/6), akan bertambah menjadi 75 ekor pada 2015.

Selain deklarasi penangkaran badak jawa dan pencanangan hari konservasi badak Indonesia, dalam kesempatan tersebut, organisasi internasional konservasi alam dan sumberdaya alam (IUCN) mencanangkan tanggal 21 Juni sebagai hari badak internasional.

Agus Priambudi mengatakan, lokasi penangkaran badak jawa dipusatkan di area 3000 hektar dari luas habitat populasi badak jawa di TNUK sekitar 38 ribu hektar. Lokasi penangkaran tersebur berada di kawasan Gungung Honje bagian Selatan, yakni dengan cara dilakukan pemagaran beraliran listrik setinggi 2 meter sepanjang 24 kilo meter.

"Nantinya badak jawa tersebut akan digiring oleh tim ahli dan peneliti badak ke lokasi tersebut. Pagar listrik tersebut tidak membahayakan, karena hanya memberi efek kejut saja," kata Agus.

Tujuan penangkaran tersebut, untuk mencegah perburuan dan gangguan hewan lainnya terhadap populasi badak jawa, serta menjamin ketersediaan pakan, air serta menjadikan lokasi perkembangbiakan satwa langka itu. Dengan adanya lokasi penangkaran itu, ditargetkan hingga tahun 2015, populasi badak jawa bertambah menjadi 75 ekor dari jumlah populasi saat ini sekitar 50 ekor.

Sebelumnya, Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan bersama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah Senin (21/6) meresmikan penangkaran badak jawa di Pulau Peucang Kawasan TNUK. Selain meresmikan penangkaran badak jawa, Menhut dan Gubernur juga mencangkan tanggal 21 Juni sebagai hari konservasi badak Indonesia.
(ANT/A024)


Sumber : ANTARA News (Selasa, 22 Juni 2010 13:10 WIB)

Menhut akan Resmikan Penangkaran Badak Jawa

Serang (ANTARA News) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bersama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Senin (21/6), dijadwalkan akan meresmikan penangkaran Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang, Banten.

Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Agus Priambudi saat dikonfirmasi di Serang, Sabtu mengatakan, deklarasi dan peresmian penangkaran Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) akan dilangsungkan di Pulau Peucang di kawasan TNUK.

Acara itu akan dihadiri sekurangnya 200 orang undangan, terdiri dari pejabat terkait di Kementerian Kehutanan, Pemprov Banten, peneliti, sejumlah LSM dan dari Yayasan Badak Indonesia serta Yayasan Badak Internasional.

"Dengan dimulainya penangkaran Badak Jawa ini diharapkan jumlah satwa langka ini akan bertambah menjadi 75 ekor hingga tahun 2015," katanya.

Menurut Agus, saat ini Badak Jawa yang ada di Ujung Kulon jumlahnya diperkirakan ada sekitar 50 ekor sehingga dengan adanya penangkaran tersebut diharapkan akan menjamim ketersediaan makanan, air, lokasi perkembangbiakan serta memiliki habitat yang menjamin keberlangsungan hidup satwa tersebut.

"Dengan adanya penangkaran ini diharapkan nantinya juga bisa menjadi daya terik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara, karena bisa melihat secara langsung badak-badak itu" katanya.

Agus menjelaskan, secara teknis penangkaran Badak Jawa tersebut dimulai dengan memasang pagar listrik di sebagian wilayah TNUK seluas 3.000 hektare, yang saat ini menjadi habitat satwa itu di sekitar Blok Gunung Honje.

Adapun anggaran yang disiapkan untuk tahap pertama penangkaran sebesar Rp6 miliar, dialokasikan untuk pembangunan sarana pos pemantau dan pemagaran kawasan.

Ia berharap, dengan adanya lokasi penangkaran tersebut akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan pariwisata khususnya di Kawasan Ujung Kulon.

Selain itu, dengan adanya lokasi tersebut bisa memberikan dampak kemajuan ekonomi dan kesejahteraan bagi warga yang tinggal di sekitar kawasan TNUK.

"Dengan adanya kawasan itu, harus mengangkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekitar sehingga mereka bisa menjaga kawasan hutan lindung," kata Agus Priambudi.
(M045/A035/S026)


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 19 Juni 2010 11:50 WIB)

2010-07-02

BKSDA Berencana Tangkap Gajah Liar di Bengkalis

Bengkalis (ANTARA News) - Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Riau berencana menangkap gajah liar yang telah merusak rumah milik sejumlah warga di Desa Petani, Kabupaten Bengkalis, Riau, belum lama ini.

"Ritual penangkapan gajah ini akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Hal itu karena gajah latih yang sebelumnya ditugaskan untuk menghalau kawanan gajah liar masuk kepermukiman warga terkesan gagal," kata Kepala Seksi Wilayah III Balai Besar BKSDA Riau, Hutomo kepada ANTARA News, Selasa.

Konflik gajah dengan manusia di Desa Petani menurut Hutomo sudah menjadi fenomena sejak lima bulan terakhir. Menurutnya, hingga saat ini kawanan gajah liar itu masih menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat Kecamatan Mandau dan Pinggir khususnya disejumlah desa yang berjarak tidak jauh dengan hutan huniannya sehingga memaksa pihaknya untuk mengambil langkah-langkah penyelesain darurat.

"Langkah yang kita ambil kali ini termasuk langkah darurat. Karena dalam penangkapan gajah tersebut jika tidak jeli maka akan mendatangkan mala petaka," ujarnya.

Kendati demikian, pihanya sudah menyiapkan orang-orang terlatih untuk meringkus gajah liar perusak tersebut sebelum kemudian diungsikan kekawasan tempat gajah tersebut akan dibina menjadi hewan yang jinak.

Dalam aksi penangkapan itu, Hutomo mengakui hanya mengincar dua ekor gajah yang berusia sedang atau beranjak dewasa.

"Alasan kami mengapa hanya menangkap dua ekor gajah itu, disamping pengaduan dari masyarakat, kami juga beralasan pengalaman yang menyatakan bahwa kominitas gajah tidak jauh bedanya dengan "demonstran", dimana pada tiap kelompoknya pasti memilki beberapa propokator.

"Nah, pada gerombolan gajah liar ini, kami meyakini dua ekor gajah remaja itu merupakan propokator yang menyebabkan beberapa rumah dan ratusan hektare kebun warga mengalami kerusakan berat," paparnya.

Hotomo menjelaskan, setelah berhasil menangkap dua ekor gajah itu, pihaknya akan membawanya ke Balai Latihan Gajah (BLG) Balai Raja, Bengkalis.

"Untuk gerombolan lainnya akan kita siapkan makanan secukupnya dihutan tempat asal mereka. Hal itu dilakukan karena kedatangan mereka disejumlah perkampungan tidak lain karena kelaparan," ucapnya.

Menanggapi pernyataan Hutomo, Kepala Desa Petani, Rianto, mengharapkan agar rencana itu dapat berjalan lancar sehingga mengurangi kecemasan warganya.

"Mudah-mudahan rencana BKSDA itu dapat berjalan lancar seperti yang kita harapkan," paparnya seraya menginformasikan bahwa kawanan gajah liar telah merusak sedikitnya sepuluh rumah dan ratusan lahan perkebunan milik warga disana dalam empat bulan terakhir.

Tidak itu saja, tambah Rianto, gerombolan gajah yang datang secara tiba-tiba pada Minggu malam (20/6) juga nyaris mengancam jiwa beberapa warga Desa Petani yang pada saat itu rumahnya diporak-porandakan kawanan hewan bertubuh bongsor itu.
(ANT/P003)


Sumber : ANTARA News (Selasa, 22 Juni 2010 11:25 WIB)

2010-07-01

Ratusan Ikan Mati Akibat Limbah CPO di Perairan Dumai

Dumai (ANTARA News) - Ratusan ekor ikan mati di laut Dumai, Riau, diduga akibat tumpahan limbah minyak mentah kelapa sawit (CPO) milik salah satu perusahaan yang belum dinetralisir secara maksimal.

Berdasarkan keterangan sejumlah warga yang berada di sekitar pinggiran laut Dumai, Senin, ratusan bangkai ikan tersebut terlihat mengapung dipermukaan laut sejak Sabtu (19/6) hingga hari ini.

"Bangkai-bangkai ikan itu mengapung di permukaan laut yang berada tidak jauh dari wilayah industri salah satu perusahaan CPO," kata warga Kelurahan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Amin Mukhtar (45).

Amin menjelaskan, sejak tercemarnya laut Dumai tersebut, dirinya dan sejumlah warga Kelurahan Pelintung lainnya terutama yang berprofesi sebagai nelayan merasa sangat dirugikan atas peristiwa itu.

"Akibat banyaknya ikan yang mati ini, tangkapan kami sebagai nelayan terus berkurang. Dan kalaupun ada sisa ikan yang hidup dan berhasil kami tangkap, ikan itu sudah bau minyak dan tidak laku di pasaran," kata seorang warga Pelintung lainnya, Junaidi (37) seraya meminta agar perusahaan tersebut bertanggungjawab dengan kondisi memprihatinkan itu.

Ditemui ditempat terpisah, Lurah Pelintung, Hanafi, kepada ANTARA menjelaskan, tercemarnya laut Dumai kali ini bukanlah yang pertama.

Menurut dia, limbah milik perusahaan CPO itu sudah berulang kali mencemari laut Dumai sehingga membuat ratusan bahkan ribuan ikan yang berada di sekitarnya mati dan berbau minyak hingga tidak layak untuk dikonsumsi.

"Tercemarnya laut Dumai ini membuat kebanyakan nelayan di satu kelurahan ini kesulitan dalam menangkap ikan. Kalau pun ada ikan yang dapat, ikan tersebut tidak layak dijual dan dikonsumsi karena berbau minyak," tuturnya.

Menanggapi hal itu, perusahaan CPO tersebut melalui Kepala Bidang Hubungan Masyarakat, Manumpak, saat dihubungi ANTARA, Senin malam, mengatakan, kondisi itu sebelumnya sempat didengarnya dari beberapa karyawannya yang tinggal di sekitar Kelurahan Pelintung.

"Untuk menindak lanjuti kebenaran itu, kami bersama tim melakukan survei secara langsung di sejumlah titik rawan terkena dampak dari pencemaran limbah industri minyak kelapa sawit.

"Setelah sekitar beberapa jam kami turun kelapangan, memang kami menemukan beberapa bangkai ikan, namun itu belum tentu disebabkan oleh perusahaan kami," katanya menyangkal.

Manumpak menjelaskan, sebelum melepas limbah industrinya, sejauh ini perusahaan CPO itu terlebih dahulu melakukan olah proses guna menetralisir limbah tersebut dengan proses yang cukup panjang.

"Sehingga bila dikaji secara mendalam, tidak mungkin dapat terjadi pencemaran yang mengakibatkan ikan-ikan di perairan Dumai mati," paparnya.

Ia juga menjelaskan, perusahaan yang berdiri megah di Kota Dumai sejak 22 tahun silam itu sebelumnya juga telah melalui izin prinsip atas analisis dampak lingkungan (Amdal) dalam pengelolaan limbah CPO sehingga dapat dipastikan sisa pembakaran atau limbah tidak akan mengganggu ekosistem dan lingkungan yang berada di sekitarnya.

Sementara itu seorang pakar Lingkungan dan Kesehatan Universitas Riau, Ariful Amri, sebelumnya menyatakan, akibat dari tercemarnya perairan dari limbah CPO, maka permukaan laut akan tertutupi oleh limbah tersebut dan membuat sinar matahari tidak dapat menembus lapisan minyak yang berada di permukaan.

Jika dibiarkan, menurut Amri, kondisi tersebut dikhawatirkan juga dapat mengurangi kadar oksigen bawah laut dan membuat sejumlah ekosistem yang berada di sekitarnya akan mati. (FZR/K004)


Sumber : ANTARA News (Selasa, 22 Juni 2010 01:05 WIB)

July 2010 KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Advanture

Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org