2010-09-08

Batam "Bergelar" Kota Paling Tercemar

Batam (ANTARA News) - Batam adalah kota dengan tingkat pencemaran terburuk di Sumatera, kata Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup Sabar Ginting.

"Batam yang terburuk, lalu diikuti Dumai dan Belawan," kata Sabar usai pertemuan dengan dunia usaha di Batam, Senin.

2010-09-07

Hutan Bakau Medan Labuhan Terancam Punah

Medan (ANTARA News) - Hutan bakau di pinggiran muara Sungai Percut Kecamatan Medan Labuhan, Sumatera Utara (Sumut), terancam punah beberapa tahun mendatang akibat pembukaan lahan tambak udang yang tidak terkendali.

Beberapa warga di sekitar muara Sungai Percut di Kelurahan Nelayan Indah, Kecamatan Medan Labuhan, Senin, mengkhawatirkan kemungkinan punahnya hutan bakau di daerah mereka itu.

Mereka mengatakan, ancaman serius terhadap hutan bakau itu sudah terlihat sejak lima tahun lalu akibat gencarnya pembukaan lahan tambak udang di muara daerah aliran Sungai (DAS) Percut.

"Di Kelurahan Nelayan Indah ini saja sudah puluhan hektare hutan mangrove yang diperkirakan berubah fungsi menjadi areal tambak udang," kata Umar.

Warga Kelurahan Nelayan Indah yang sudah puluhan tahun bermukim di daerah itu mengatakan, lahan tambak tersebut dikuasai dan dikelola oleh sejumlah warga setempat dan pengusaha.

Para pemilik tambak itu diuntungkan oleh relatif mudahnya mereka mendapat pasokan air payau serta pangsa pasar komoditas udang yang cukup luas, katanya.

Umar mengatakan, tidak tertutup kemungkinan, aksi penebangan pepohonan hutan bakau itu masih akan terjadi di masa mendatang.

Akibatnya, kemungkinan punahnya hutan bakau di wilayah itu bisa menjadi kenyataan jika pihak terkait tidak segera melindungi hutan bakau yang tersisa dari aksi penebangan liar.

Ia mengatakan, tindakan pencegahan dan penyelamatan hutan bakau di sekitar kawasan perkampungan nelayan itu belum dilakukan secara terpadu baik oleh pemerintah maupun masyarakat dan relawan organisasi pencinta lingkungan hidup.

Pengalihan fungsi hutan bakau menjadi lahan tambak itu, menurut dia, turut memicu menurunnya populasi ikan, udang dan kepiting di muara DAS Percut sehingga berdampak buruk pada hasil tangkapan nelayan tradisional di Medan Labuhan dan sekitarya.

Kondisi tersebut diperparah lagi dengan kasus pencemaran limbah cair ke DAS Percut yang diduga berasal dari sejumlah pabrik di kawasan insdustri Medan (KIM) Mabar, katanya.

Sebagai negara bahari, Indonesia miliki hutan bakau yang luas. Diperkirakan luas hutan bakau negara kepulauan terbesar dunia ini mencapai 2,5 - 4,5 juta hektar.
(T.ANT-197/R013/P003)


Sumber : ANTARA News (Senin, 26 Juli 2010 10:50 WIB)

2010-09-06

234 Spesies Burung di Indonesia Terancam Punah

Bogor (ANTARA News) - Sebanyak 234 spesies dari 1.599 jenis burung di Tanah Air terancam punah, kata Henny Sembiring, Kepala Komunikasi dan Pengembangan Bisnis Burung Indonesia di Bogor, Sabtu.

Berdasarkan pengamatan Perhimpunan Pemerhati Burung Liar Indonesia pada tahun 2009, kata Henny, jumlah burung di dunia sekitar 10.000 spesies, dan 1.599 jenis di antaranya terdapat di Indonesia dengan 353 jenis buruk endemik.

"Indonesia memiliki 1.599 jenis burung, atau peringkat keempat di dunia. Tapi, dari 1.599 spesies itu, 234 jenis di antaranya terancam punah," kata Henny M. Sembiring.

Dia menjelaskan 234 spesies burung yang terancam punah itu terdiri atas 117 jenis terancam punah, 17 jenis kritis, 30 jenis genting, dan 70 jenis rentan.

Menurut Henny, kerusakan lingkungan berdampak pada punahnya burung itu, di samping ulah manusia yang melakukan perburuan unggas tersebut.

"Rusaknya lingkungan membuat burung berpindah ke tempat lain mencari tempat perlindungan yang lebih aman," ujarnya.

Diakatakan, makin banyaknya pertumbuhan pembangunan mengurangi jumlah ruang terbuka hijau sebagai tempat tinggal burung-burung itu.

Burung adalah binatang sensitif terhadap lingkungan. Burung memiliki kebutuhan dasar untuk tempat mencari makan, tempat berlindung dan tempat berkembang biak, katanya.

"Burung-burung akan berimigrasi bila tempat tinggalnya tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasarnya," kata Henny.

Dia mencontohkan di Kota Bogor. Jenis burung-burung air yang biasa menempati Kali Ciliwung sudah tidak terlihat lagi sejak setahun terakhir ini, seperti jenis mandar, raja udang, dan cekakak jawa.

"Saat ini kita sudah jarang sekali melihat burung-burung air yang biasa mendiami Kali Ciliwung. Kondisi ini karena kualitas kali sudah tidak bagus lagi, burung-burung sudah tidak mau menetap lagi," kata Henny.

Dia mengatakan ancaman kepunahan juga terjadi di Kebun Raya Bogor. Dia lantas mengutip pernyataan peneliti LIPI Siti Priyono pada sebuah seminar yang diseselenggarakan belum lama ini, bahwa pada tahun 1950 terdapat 150 jenis burung di Kebun Raya Bogor.

"Sekarang jenis burung di Kebun Raya Bogor tinggal 90 spesies," katanya.

Dia menegaskan bahwa burung merupakan bagian dari ekosistem. Karena itu, hilangnya burung akan memengaruhi mata rantai kehidupan. Dan, kondisi ini sangat tidak baik untuk kelangsungan hidup manusia.

Hilangnya jenis burung, kata dia, dapat menjadi pertanda bagi masyarakat sekitar dan pemerintah setempat bahwa kondisi lingkungan sudah tidak baik lagi.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati paling besar. Namun sayangnya, karena masyarakat tidak pandai menjaganya, maka Indonesia menjadi negara nomor satu paling terancam kepunahan keanekaragaman hayatinya.

Henny mengimbau masyarakat lebih peduli terdapat ancaman kepunahan tersebut dengan menjaga kelestarian lingkungan dan menghentikan perburuan terhadap burung tersebut.

Perhimpunan Pemerhati Burung Liar Indonesia yang peduli dengan burung melakukan berbagai kegiatan dan sosialisasi untuk melindungi ekosistem burung.

Berbagai pengamatan telah mereka lakukan, misalnya, dengan mengidentifikasi dan mendokumentasikan jenis-jenis burung di Indonesia. Melalui kegiatan ini, dapat memberikan referensi tentang jenis-jenis burung yang terdapat di Indonesia. (*)

(Rw.KR-LR*D007/R009)


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 24 Juli 2010 20:38 WIB)

2010-09-05

BKSDA Buru Pelaku Perdagangan Harimau

Pekanbaru (ANTARA News) - Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Riau, Trisunu Danis Woro, mengatakan pihaknya saat ini tengah memburu otak pelaku perdagangan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).

"Pihak Poltabes Pekanbaru kemarin berhasil menangkap kurir yang akan membawa tulang-belulang dan kulit harimau. Untuk pengembangannya, BKSDA saat ini tengah memburu otak pelaku perdagangan harimau, yakni Ed dan Gt," jelasnya di Pekanbaru, Senin.

Ia mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Poltabes Pekanbaru untuk pengembangan kasus tersebut. Menurut dia, kasus penyelundupan tulang belulang dan kulit harimau ke Malaysia dan Singapura, memang sudah beberapa kali terjadi.

"Perdagangan harimau ini memang marak terjadi di Sumatera. Hal ini dikarenakan tingginya permintaan tulang harimau yang akan digunakan untuk pengobatan tradisional. Sedangkan kulitnya digunakan untuk busana," jelasnya.

Trisnu mengemukaka, saat ini populasi harimau sumatera mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar smeua pihak baik pemerintah maupun masyarakat menjaga harimau baik dari habitat maupun perdagangan.

Berdasarkan data Dana Suaka Margasatwa (World Wild-Life Fund for Nature/WWF) Riau, saat ini populasi harimau sumatera berjumlah 300. Dan dari tahun ke tahun mengalami penurunan.

Pihak Poltabes Pekanbaru berhasil menggagalkan upaya penyelundupan tulang dan kulit harimau yang berasal dari enam ekor harimau dan dikemas dalam tiga kardus dan satu harimau dijual seharga Rp30 juta.

Sementara itu, Kepala Reserse Kriminal Kepolisian Kota Besar (Kasat Reskrim Poltabes) Pekanbaru, AKP Sapta Maulana Marpaung, mengemukakan bahwa berdasarkan pengakuan tersangka, penyelundupan harimau tersebut berlangsung empat kali dan seminggu.

"Pihak kepolisian berhasil mengamankan tersangka Yoga yang berprofesi sebagai kurir. Dan, seorang saksi Hidayat yang bertugas membersihkan kulit dan tulang-belulang harimau tersebut," katanya menambahkan.
(ANT/P003)


Sumber : ANTARA News (Senin, 19 Juli 2010 14:59 WIB)

2010-09-04

Berkas Penyelundupan 72 Trenggiling Dilimpah ke PN Jambi

Jambi (ANTARA News) - Berkas perkara dua tersangka kasus penyelundupan 72 trenggiling yang digagalkan Polisi Perairan (Polair) Kepolisian Daerah (Polda) Jambi, pada Mei 2010 kini siap dilimpahkan ke pengadilan negeri setempat untuk segera disidangkan.

Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jambi, Andi Ashari didampingi Jaksa Penuntut Umum (JPU), Dinar, Sabtu mengatakan, berkas kedua tersangka sudah lengkap tinggal dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jambi yang dijadwalkan pada Senin (19/7).

Berkas yang dilimpahkan tersebut atas nama dua tersangka yakni Riko (29) sebagai narkoba kapal dan Abdurahman Anak Buah Kapal (ABK) yang akan mengangkut atau mengirimkan puluhan ekor trenggiling ke Singapura dan Cina melalui jalur sungai dan laut Kabupetan Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi pada Rabu 26 Mei 2010, namun aksi tersebut berhasil digagalkan kepolisian setempat.

Dalam berkas perkara kedua tersangka dikenakan sesuai pasal 21 ayat 2 huruf a jo pasal 40 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 1999, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, jo pasal 55 ayat ke-1 KUHP.

Setelah berkas dilimpahkan ke PN Jambi, maka JPU tinggal menunggu jadwal persidangannya yang akan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri.

Kasus ini terungkap setelah Direktorat Polisi Perairan Polda Jambi menggagalkan rencana penyelundupan 72 ekor tenggiling hidup atau trenggiling dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang diduga hewan langka dan dilindungi undang-undang tersebut akan diperdagangkan ke luar negeri.

Trenggiling hidup tersebut ditemukan pertama kali oleh tim dari patroli Polair Polda Jambi yang sedang menjalani rutinitas pengawasan diperairan setempat dimana ada salah satu kapal yang dicurigai kedapatan membawa atau menyimpang hewan langka tersebut.

Penangkapan tersebut dilakukan tim patroli Polair Polda Jambi pada Rabu lalu (26/5) di perairan Sungai Pangabuan Parit Gompong Kabupaten Tanjung Jabung Barat, setelah aparat mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa ada salah satu kapal `speed boat` bermesin 400 Pk yang mambawa binatang langka.

Setelah petugas Polair itu menghentikan lajunya kapal speed boat yang dikemudikan oleh nahkoda bernama Rico (29) bersama dua anak buah kapal (ABK) dihentikan maka ditemukanlah binatang trenggiling tersebut didalam kapal itu dalam kondisi hidup yang diduga akan dibawa atau diselendupkan ke laur negeri dengan tujuan China dan transit di Singapura.

Saat digeledah, polisi menemukan 72 ekor trenggiling yang sudah dikemas sedemikian rupa, di dalam speed boat itu karena hewan tersebut merupakan salah satu hewan yang dilindungi maka hewan berikut barang bukti langsung diamankan di markas Dit Polair Polda Jambi.

Bagian tubuh trenggiling itu mempunyai sejumlah manfaat, antara lain untuk kebutuhan pengobatan alternatif, sehingga pangsa pasar internasional harganya cukup tinggi dan binatang langka itu masih terus diburu orang sampai saat ini.

Kasus penyelundupan trenggiling ini merupakan kasus yang langka dan penangkapannya juga yang pertama kali di Jambi yang diduga, penyelundupan ini berhubungan dengan aktivitas perdagangan gelap trenggiling di luar negeri.
(T.N009/P003)


Sumber : ANTARA News (Sabtu, 17 Juli 2010 14:12 WIB)

2010-09-03

Malaysia Tertarik Pelajari Cagar Biosfer Riau

Pekanbaru (ANTARA News) - Pemerintah Negeri Sabah, Malaysia, tertarik untuk meneliti Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu di Provinsi Riau.

Ketertarikan itu muncul karena kawasan konservasi yang diakui dunia internasional itu dinilai memiliki keunikan pada sistem pengelolaan yang melibatkan semua kepentingan (multi-stake holders).

"Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu adalah contoh yang terbukti dan cocok untuk dipakai di negeri kami," kata Juru Bicara Delegasi Negeri Sabah Jamili Nais kepada ANTARA di Pekanbaru, Rabu.

Menurut Jamili Nais , tujuan delegasi dari Sabah adalah untuk mempelajari sejumlah aspek dalam pengelolaan Cagar Biosfer. Ia mengakui pendekatan "bottom up" dalam program pengelolaan Cagar Biosfer di Riau merupakan daya tarik untuk penelitian. Sebabnya, pengelolaan kawasan itu menerapkan kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat serta perusahaan swasta.

Menurut dia, kedatangan ke Riau akan menjadi studi banding untuk pengembangan Taman Banjaran Crocker sebagai cagar biosfer yang telah diajukan Pemerintah Sabah sejak 2007.

"Karakteristik banyak kemiripan seperti keberadaan masyarakat dan perusahaan swasta. Perbedaannya adalah kontur di Sabah pegunungan, sedangkan di Riau adalah daerah basah," ujarnya.

Ia mengatakan rombongan itu terdiri atas Wakil Setiausaha Kementerian Pelancongan Negeri Sabah, tiga kepala distrik (setingkat bupati) yakni dari Distrik Ranau, Penampang, dan Tambunan.

Kemudian tiga wakil kepala distrik dari Keningau, Beaufort, dan Tenom. Selain itu, terdapat juga tiga peneliti dari JICA (Japan International Cooperation Agency). Mereka akan berada di cagar biosfer mulai tanggal 6 hingga 9 Juli.

UNESCO mengakui Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, menjadi cagar biosfer pada 26 Mei 2009 di Korea Selatan. Kawasan konservasi yang terletak di antara Kabupaten Siak dan Bengkalis itu melengkapi enam cagar biosfer di Indonesia yang telah ada. Selain itu, Giam Siak Kecil-Bukit Batu juga menjadi bagian dari WNBR (World Network of Biosphere) UNESCO yang terdiri atas 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara.

Cagar biosfer tersebut terdiri atas tiga zonasi, yaitu zona inti seluas 178.722 hektare (ha), zona penyangga 222,425 ha, dan zona transisi 304.123 ha.

Inisiatif pembangunan cagar biosfer di Riau itu berawal pada 2004, melibatkan Sinar Mas Forestry yang mengalokasikan sebagian area hutan produksinya seluas 72.255 ha untuk tujuan konservasi secara permanen.

Kawasan itu diubah menjadi koridor ekologi yang menggabungkan dua suaka margasatwa, Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. Luas suaka margasatwa Giam Siak Kecil mencapai 84.967 ha dan Bukit Batu, yang mencapai 21.500 ha.

"Kunjungan dari luar negeri ini menjadi kebanggan bagi masyarakat Riau dan juga Indonesia, dan menunjukkan bahwa Riau memiliki komitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup," kata juru bicara Sinar Mas, Nurul Huda.
(T.F012/A011/P003)


Sumber : ANTARA News (Rabu, 7 Juli 2010 13:53 WIB)

2010-09-02

Gandenglah Negara Lain Untuk Selamatkan Harimau

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia harus bisa meningkatkan populasi harimau dengan menggandeng negara tetangga yang selama ini menjadi gerbang penyelundupan satwa langka ini, demikian Direktur Fauna dan Flora International Indonesia Programme, Darmawan Liswanto, di Jakarta, Selasa.

Menurutnya, kerjasama dengan negara lain itu bisa diupayakan pada forum tingkat tinggi Pertemuan Penyelamatan Harimau Dunia di Bali 12-14 Juli yang akan menggagas rencana pemulihan populasi harimau dunia oleh 13 negara pemilik harimau.

Sementara Direktur WCS-Indonesia, Noviar Andayani menyatakan, penyelamatan harimau tidak bisa mengandalkan 13 negara.

"Negara yang jadi daerah sebaran harimau tak bisa melakukan upaya penyelamatan harimau tanpa dukungan negara lain. Pertemuan di Bali menjadi penting sebagai wadah mengatasi laju penurunan populasi harimau," kata Noviar.

Sedangkan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan (Kemhut), Darori, menilai hutan yang rusak membuat populasi harimau turun.

Untuk pengamanan dan penegakan hukum berkaitan dengan perlindungan harimau itu, Kemhut sedang menyusun UU Tindak Pidana Kehutanan.

"Nantinya curi kumis harimau hukumannya minimal 5 tahun, pejabat yang lalai juga kena hukuman 5 tahun. Banyak protes tapi biarkan saja demi penegakan hukum," kata Darori.(*)

A027*N006/M012/AR09


Sumber : ANTARA News (Selasa, 6 Juli 2010 16:48 WIB)

2010-09-01

Walhi: Pemerintah Dapat Berdayakan Masyarakat di TNWK

Bandarlampung (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup wilayah Lampung menyatakan, pemerintah dapat melakukan upaya lain untuk menjaga kelestarian Taman Nasional Way Kambas (TNWK), tanpa harus mengusir masyarakat yang tinggal di dalam kawasan.

"Pengusiran dan pengosongan TNWK yang dilakukan pemerintah saat ini memiliki dampak sosial yang terlalu luas, karena sebenarnya para nelayan yang rumahnya dihancurkan itu dapat diberdayakan untuk menjaga kelestarian alam di kawasan konservasi itu," kata Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Hendrawan, di Bandarlampung, Selasa.

Dia membenarkan, berdasarkan UU no 5 tahun 1990 bahwa kawasan taman nasional adalah kawasan terlarang untuk ditinggali, namun pemerintah juga perlu melihat dampak sosial dari pengosongan tersebut.

"Dampak sosialnya terlalu banyak, karena mereka pasti akan kembali untuk menetap di sana," kata dia.

Menurut dia, seandainya masyarakat di empat desa tersebut diberdayakan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di dalam kawasan TNWK, maka pemerintah dapat menjaga kelestarian lingkungan dengan biaya yang lebih murah.

Hal yang sama juga dinyatakan penggiat lingkungan lainnya, Program Officer Southern Sumatra Heifer Indonesia, Rama Zakaria.

Menurut dia, para nelayan di TNWK yang saat ini sedang ditertibkan, tidak memiliki dasar keterampilan berkebun dan bercocok tanam, sehingga kecil kemungkinan akan melakukan pengrusakan.

"Terlalu berlebihan apabila alasan penertiban adalah mencegah mereka melakukan pengrusakan di TNWK, karena setahu saya mereka sudah di sana sejak 1957-an, dan tidak melakukan pengrusakan," kata dia.

Senada dengan Hendrawan, Rama juga menyatakan keberadaan mereka di TNWK dapat membantu pemerintah untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di sepanjang pantai timur Sumatra.

"Tinggal pemerintah melakukan pembinaan saja, dan mereka bisa membantu penyelamatan lingkungan," kata dia.

Sejak 15 Juli 2010 lalu, petugas gabungan dari polisi kehutanan, aparat kepolisian, dan sejumlah LSM lingkungan melakukan penertiban terhadap empat kampung ilegal nelayan di wilayah Taman Nasional Way Kambas.

Empat perkampungan yang ditertibkan adalah wilayah Kuala Kambas, Sekapuk, Wako Gubuk dan Wako Kali, semuanya terletak di tepi Pantai Timur Sumatra.

Sebagian besar rumah yang berdiri di perkampungan itu adalah rumah semi permanen, yang digunakan para nelayan yang mencari ikan di sekitar laut tersebut.

Awalnya, jumlah penghuni di kawasan tersebut sebanyak 500 orang, namun sebagian memilih meninggalkan lokasi secara sukarela pascasosialisasi pada Januari 2010.

Balai Besar Taman Nasional Way Kambas memberi batas waktu pengosongan areal tersebut hingga April 2010.

Penertiban tersebut menjadi bulan-bulanan media lokal setempat, karena dianggap tidak mengidahkan nilai-nilai kemanusiaan terhadap para penghuni yang gubuknya dihancurkan.
(T.ANT-046/P003)


Sumber : ANTARA News (Selasa, 20 Juli 2010 14:31 WIB)

September 2010 KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Advanture

Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org