Pekanbaru (ANTARA News) - Pemerintah Negeri Sabah, Malaysia, tertarik untuk meneliti Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu di Provinsi Riau.
Ketertarikan itu muncul karena kawasan konservasi yang diakui dunia internasional itu dinilai memiliki keunikan pada sistem pengelolaan yang melibatkan semua kepentingan (multi-stake holders).
"Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu adalah contoh yang terbukti dan cocok untuk dipakai di negeri kami," kata Juru Bicara Delegasi Negeri Sabah Jamili Nais kepada ANTARA di Pekanbaru, Rabu.
Menurut Jamili Nais , tujuan delegasi dari Sabah adalah untuk mempelajari sejumlah aspek dalam pengelolaan Cagar Biosfer. Ia mengakui pendekatan "bottom up" dalam program pengelolaan Cagar Biosfer di Riau merupakan daya tarik untuk penelitian. Sebabnya, pengelolaan kawasan itu menerapkan kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat serta perusahaan swasta.
Menurut dia, kedatangan ke Riau akan menjadi studi banding untuk pengembangan Taman Banjaran Crocker sebagai cagar biosfer yang telah diajukan Pemerintah Sabah sejak 2007.
"Karakteristik banyak kemiripan seperti keberadaan masyarakat dan perusahaan swasta. Perbedaannya adalah kontur di Sabah pegunungan, sedangkan di Riau adalah daerah basah," ujarnya.
Ia mengatakan rombongan itu terdiri atas Wakil Setiausaha Kementerian Pelancongan Negeri Sabah, tiga kepala distrik (setingkat bupati) yakni dari Distrik Ranau, Penampang, dan Tambunan.
Kemudian tiga wakil kepala distrik dari Keningau, Beaufort, dan Tenom. Selain itu, terdapat juga tiga peneliti dari JICA (Japan International Cooperation Agency). Mereka akan berada di cagar biosfer mulai tanggal 6 hingga 9 Juli.
UNESCO mengakui Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, menjadi cagar biosfer pada 26 Mei 2009 di Korea Selatan. Kawasan konservasi yang terletak di antara Kabupaten Siak dan Bengkalis itu melengkapi enam cagar biosfer di Indonesia yang telah ada. Selain itu, Giam Siak Kecil-Bukit Batu juga menjadi bagian dari WNBR (World Network of Biosphere) UNESCO yang terdiri atas 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara.
Cagar biosfer tersebut terdiri atas tiga zonasi, yaitu zona inti seluas 178.722 hektare (ha), zona penyangga 222,425 ha, dan zona transisi 304.123 ha.
Inisiatif pembangunan cagar biosfer di Riau itu berawal pada 2004, melibatkan Sinar Mas Forestry yang mengalokasikan sebagian area hutan produksinya seluas 72.255 ha untuk tujuan konservasi secara permanen.
Kawasan itu diubah menjadi koridor ekologi yang menggabungkan dua suaka margasatwa, Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. Luas suaka margasatwa Giam Siak Kecil mencapai 84.967 ha dan Bukit Batu, yang mencapai 21.500 ha.
"Kunjungan dari luar negeri ini menjadi kebanggan bagi masyarakat Riau dan juga Indonesia, dan menunjukkan bahwa Riau memiliki komitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup," kata juru bicara Sinar Mas, Nurul Huda.
(T.F012/A011/P003)
Sumber : ANTARA News (Rabu, 7 Juli 2010 13:53 WIB)
Ketertarikan itu muncul karena kawasan konservasi yang diakui dunia internasional itu dinilai memiliki keunikan pada sistem pengelolaan yang melibatkan semua kepentingan (multi-stake holders).
"Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu adalah contoh yang terbukti dan cocok untuk dipakai di negeri kami," kata Juru Bicara Delegasi Negeri Sabah Jamili Nais kepada ANTARA di Pekanbaru, Rabu.
Menurut Jamili Nais , tujuan delegasi dari Sabah adalah untuk mempelajari sejumlah aspek dalam pengelolaan Cagar Biosfer. Ia mengakui pendekatan "bottom up" dalam program pengelolaan Cagar Biosfer di Riau merupakan daya tarik untuk penelitian. Sebabnya, pengelolaan kawasan itu menerapkan kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat serta perusahaan swasta.
Menurut dia, kedatangan ke Riau akan menjadi studi banding untuk pengembangan Taman Banjaran Crocker sebagai cagar biosfer yang telah diajukan Pemerintah Sabah sejak 2007.
"Karakteristik banyak kemiripan seperti keberadaan masyarakat dan perusahaan swasta. Perbedaannya adalah kontur di Sabah pegunungan, sedangkan di Riau adalah daerah basah," ujarnya.
Ia mengatakan rombongan itu terdiri atas Wakil Setiausaha Kementerian Pelancongan Negeri Sabah, tiga kepala distrik (setingkat bupati) yakni dari Distrik Ranau, Penampang, dan Tambunan.
Kemudian tiga wakil kepala distrik dari Keningau, Beaufort, dan Tenom. Selain itu, terdapat juga tiga peneliti dari JICA (Japan International Cooperation Agency). Mereka akan berada di cagar biosfer mulai tanggal 6 hingga 9 Juli.
UNESCO mengakui Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, menjadi cagar biosfer pada 26 Mei 2009 di Korea Selatan. Kawasan konservasi yang terletak di antara Kabupaten Siak dan Bengkalis itu melengkapi enam cagar biosfer di Indonesia yang telah ada. Selain itu, Giam Siak Kecil-Bukit Batu juga menjadi bagian dari WNBR (World Network of Biosphere) UNESCO yang terdiri atas 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara.
Cagar biosfer tersebut terdiri atas tiga zonasi, yaitu zona inti seluas 178.722 hektare (ha), zona penyangga 222,425 ha, dan zona transisi 304.123 ha.
Inisiatif pembangunan cagar biosfer di Riau itu berawal pada 2004, melibatkan Sinar Mas Forestry yang mengalokasikan sebagian area hutan produksinya seluas 72.255 ha untuk tujuan konservasi secara permanen.
Kawasan itu diubah menjadi koridor ekologi yang menggabungkan dua suaka margasatwa, Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. Luas suaka margasatwa Giam Siak Kecil mencapai 84.967 ha dan Bukit Batu, yang mencapai 21.500 ha.
"Kunjungan dari luar negeri ini menjadi kebanggan bagi masyarakat Riau dan juga Indonesia, dan menunjukkan bahwa Riau memiliki komitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup," kata juru bicara Sinar Mas, Nurul Huda.
(T.F012/A011/P003)
Sumber : ANTARA News (Rabu, 7 Juli 2010 13:53 WIB)