Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia akan menyederhanakan dokumen Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN PE GRK) untuk dilaporkan kepada Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
"Ada sekitar 50 kegiatan dalam RAN PE. Yang mau kita kirim hanya garis besar saja, tidak mungkin detil," kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo yang dihubungi di Jakarta, Jumat.
Agus yang lebih akrab dipanggil Pungki mengatakan Bappenas telah membuat skenario komprehensif yaitu RAN PE GRK untuk target penurunan emisi GRK sebesr 26 persen pada 2020.
Bappenas bersama DNPI dan Kementerian Negara Lingkungn Hidup sore ini melakukan rapat untuk menyederhanakan dan mengelompokkan program pada RAN PE.
RAN PE ini merupakan kompilasi dari program-program yang diajukan oleh berbagai sektor terkait seperti kehutanan, pertanian dan energi.
Punki mengatakan program pada RAN PE masih perlu dikoordinasikan dengan pihak terkait.
"Masih ada satu dua maslah yang perlu dibhas. Mudah-mudahan sebelum 31 Januari sudah selesai," katanya.
RAN PE atau NAMA`s (National Appropriate Mitigation Actions) merupakan akan diserahkan pada 31 Januari 2010 sesuai tenggat waktu (softdeadline) UNFCCC kepada semua negara.
Sesuai "Copenhagen Accord", setiap negara wajib menyerahkan NAMA`s bagi negara berkembang, dan target penurunan emisi GRK bagi negara maju dengan tenggat waktu (soft deadline) 31 Januari 2010 dan paling lambat pada KTT ke-16 Perubahan Iklim di Meksiko pada Desember 2010.
Sebelumnya, Deputi Meneg LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman mengatakan, karena tenggat waktu dari UNFCCC untuk submisi dari semua negara hanya berupa soft deadline, maka Indonesia hanya akan mengirimkan garis besar program NAMA`s.
"Submisi tidak harus mendetil karena kita masih harus duduk bersama untuk membahas kebijakan antar sektor," katanya.
Masnellyarti yang lebih akrab dipanggil Nelly mengatakan, skenario program penurunan emisi 26 persen dari Indonesia (NAMA`s) tersebut belum final karena angka target emisi GRK dari sektor kehutanan masih belum final.
Sektor kehutanan yang bakal menyumbang 60 persen (48 persen dari alih fungsi lahan dan 12 persen dari lahan gambut) target penurunan emisi nasional, kata Nelly, belum jelas menyebutkan angka laju deforestasi dan program yang jelas untuk mitigasi perubahan iklim.
Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto mengatakan, laju deforestasi sektor kehutanan harus dihitung bersama-sama Kementerian Kehutanan dengan pihak lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM dan KLH.
"Karena laju deforestasi terkait dengan penggunaan lahan untuk pertanian, pertambangan dan sebagainya," kata Wandojo.
Sedangkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Emil Salim mengatakan, Kementerian Kehutanan harus mengikuti skenario target penurunan emisi 26 persen yang telah dibuat oleh Bappenas.
"Kehutanan harus menyesuaikan skenario dari Bappenas," katanya.
Sumber: ANTARA News (Jumat, 29 Januari 2010 17:49 WIB)
"Ada sekitar 50 kegiatan dalam RAN PE. Yang mau kita kirim hanya garis besar saja, tidak mungkin detil," kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo yang dihubungi di Jakarta, Jumat.
Agus yang lebih akrab dipanggil Pungki mengatakan Bappenas telah membuat skenario komprehensif yaitu RAN PE GRK untuk target penurunan emisi GRK sebesr 26 persen pada 2020.
Bappenas bersama DNPI dan Kementerian Negara Lingkungn Hidup sore ini melakukan rapat untuk menyederhanakan dan mengelompokkan program pada RAN PE.
RAN PE ini merupakan kompilasi dari program-program yang diajukan oleh berbagai sektor terkait seperti kehutanan, pertanian dan energi.
Punki mengatakan program pada RAN PE masih perlu dikoordinasikan dengan pihak terkait.
"Masih ada satu dua maslah yang perlu dibhas. Mudah-mudahan sebelum 31 Januari sudah selesai," katanya.
RAN PE atau NAMA`s (National Appropriate Mitigation Actions) merupakan akan diserahkan pada 31 Januari 2010 sesuai tenggat waktu (softdeadline) UNFCCC kepada semua negara.
Sesuai "Copenhagen Accord", setiap negara wajib menyerahkan NAMA`s bagi negara berkembang, dan target penurunan emisi GRK bagi negara maju dengan tenggat waktu (soft deadline) 31 Januari 2010 dan paling lambat pada KTT ke-16 Perubahan Iklim di Meksiko pada Desember 2010.
Sebelumnya, Deputi Meneg LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman mengatakan, karena tenggat waktu dari UNFCCC untuk submisi dari semua negara hanya berupa soft deadline, maka Indonesia hanya akan mengirimkan garis besar program NAMA`s.
"Submisi tidak harus mendetil karena kita masih harus duduk bersama untuk membahas kebijakan antar sektor," katanya.
Masnellyarti yang lebih akrab dipanggil Nelly mengatakan, skenario program penurunan emisi 26 persen dari Indonesia (NAMA`s) tersebut belum final karena angka target emisi GRK dari sektor kehutanan masih belum final.
Sektor kehutanan yang bakal menyumbang 60 persen (48 persen dari alih fungsi lahan dan 12 persen dari lahan gambut) target penurunan emisi nasional, kata Nelly, belum jelas menyebutkan angka laju deforestasi dan program yang jelas untuk mitigasi perubahan iklim.
Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto mengatakan, laju deforestasi sektor kehutanan harus dihitung bersama-sama Kementerian Kehutanan dengan pihak lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM dan KLH.
"Karena laju deforestasi terkait dengan penggunaan lahan untuk pertanian, pertambangan dan sebagainya," kata Wandojo.
Sedangkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Emil Salim mengatakan, Kementerian Kehutanan harus mengikuti skenario target penurunan emisi 26 persen yang telah dibuat oleh Bappenas.
"Kehutanan harus menyesuaikan skenario dari Bappenas," katanya.
Sumber: ANTARA News (Jumat, 29 Januari 2010 17:49 WIB)