Pekanbaru (ANTARA News) - Pemimpin Talang Mamak, suku asli Riau yang bermukim di Desa Sungai Ekok, Kecamatan Rakit Kulim, akan mengembalikan piala Kalpataru sebagai protes atas hilangnya hutan adat mereka.
"Hati saya sangat sakit. Kami tidak lagi punya Rimba Puaka. Entah bagaimana nasib masyarakat kami ke depannya," kata Patih Laman (89), pemimpin Talang Mamak, saat mengunjungi Kantor Berita ANTARA News Biro Riau di Pekanbaru, Jumat.
Patih Laman mendapat piala Kalpataru pada 2003 karena dinilai pemerintah berhasil menjaga dan melestarikan Penyabungan dan Penguanan, satu-satunya hutan adat Talang Mamak yang tersisa.
Ketika itu, tiga hutan adat lainnya, yang biasa disebut masyarakat Talang Mamak sebagai Rimba Puaka, yaitu kawasan hutan Sungai Tunu (104,933 ha), hutan Durian Jajar (98.577 ha) dan hutan Kelumbuk Tinggi Baner (21.901 ha), sudah ditebangi dan berganti sawit.
Belum lama ini, hutan Panyabungan dan Penguanan akhirnya juga tak bisa diselamatkan lagi oleh Patih Laman, dan berubah menjadi perkebunan sawit.
"Saya akan menyerahkan Kalpataru kepada Pak Gubernur," kata Laman lirih.
Akibat perjuangannya menghalangi pengrusakan hutan itu, Patih Laman sakit dan kini berobat ke Pekanbaru.Menurut Patih Laman, Rimba Puaka merupakan tempat bergantung suku pedalaman yang masih sangat tradisional.
Itu sebabnya, mereka secara turun-temurun mereka memelihara kawasan hutan Penyabungan dan Penguanan seluas 1.813 ha.
"Saya telah puas mengadu ke pemerintah tapi tidak ditanggapi. Hutan kami habis berganti kebun sawit," kata Laman.
Ia mengaku sangat letih tidak hanya karena menempuh perjalanan lintas darat sejauh 300 kilometer dari kampungnya hingga Pekanbaru tetapi juga akibat beban derita batin yang menderanya karena tidak dapat mempertahankan hutan puaka yang seharusnya dia jaga dengan baik.
Laman bersama masyarakatnya telah berjuang agar kawasan hutan tersebut tidak dilepaskan pada perusahaan atau perorangan, namun upaya tersebut sia-sia.
Ia mengaku sangat sedih dengan kenyataan yang dihadapinya. Penghargaan dari pemerintah pusat itu hanya sebentar membuatnya bangga tapi kemudian membuatnya menderita hingga jatuh sakit.
"Penghargaan yang diberikan kepada saya itu seakan membujuk saya agar rela menukarkan hutan adat kami dengan Kalpataru. Padahal tidak. Saya akan kembalikan Kalpataru agar hutan kami kembali," katanya.(E010/A038)
Sumber: ANTARA News (Jumat, 5 Pebruari 2010 14:08 WIB)
"Hati saya sangat sakit. Kami tidak lagi punya Rimba Puaka. Entah bagaimana nasib masyarakat kami ke depannya," kata Patih Laman (89), pemimpin Talang Mamak, saat mengunjungi Kantor Berita ANTARA News Biro Riau di Pekanbaru, Jumat.
Patih Laman mendapat piala Kalpataru pada 2003 karena dinilai pemerintah berhasil menjaga dan melestarikan Penyabungan dan Penguanan, satu-satunya hutan adat Talang Mamak yang tersisa.
Ketika itu, tiga hutan adat lainnya, yang biasa disebut masyarakat Talang Mamak sebagai Rimba Puaka, yaitu kawasan hutan Sungai Tunu (104,933 ha), hutan Durian Jajar (98.577 ha) dan hutan Kelumbuk Tinggi Baner (21.901 ha), sudah ditebangi dan berganti sawit.
Belum lama ini, hutan Panyabungan dan Penguanan akhirnya juga tak bisa diselamatkan lagi oleh Patih Laman, dan berubah menjadi perkebunan sawit.
"Saya akan menyerahkan Kalpataru kepada Pak Gubernur," kata Laman lirih.
Akibat perjuangannya menghalangi pengrusakan hutan itu, Patih Laman sakit dan kini berobat ke Pekanbaru.Menurut Patih Laman, Rimba Puaka merupakan tempat bergantung suku pedalaman yang masih sangat tradisional.
Itu sebabnya, mereka secara turun-temurun mereka memelihara kawasan hutan Penyabungan dan Penguanan seluas 1.813 ha.
"Saya telah puas mengadu ke pemerintah tapi tidak ditanggapi. Hutan kami habis berganti kebun sawit," kata Laman.
Ia mengaku sangat letih tidak hanya karena menempuh perjalanan lintas darat sejauh 300 kilometer dari kampungnya hingga Pekanbaru tetapi juga akibat beban derita batin yang menderanya karena tidak dapat mempertahankan hutan puaka yang seharusnya dia jaga dengan baik.
Laman bersama masyarakatnya telah berjuang agar kawasan hutan tersebut tidak dilepaskan pada perusahaan atau perorangan, namun upaya tersebut sia-sia.
Ia mengaku sangat sedih dengan kenyataan yang dihadapinya. Penghargaan dari pemerintah pusat itu hanya sebentar membuatnya bangga tapi kemudian membuatnya menderita hingga jatuh sakit.
"Penghargaan yang diberikan kepada saya itu seakan membujuk saya agar rela menukarkan hutan adat kami dengan Kalpataru. Padahal tidak. Saya akan kembalikan Kalpataru agar hutan kami kembali," katanya.(E010/A038)
Sumber: ANTARA News (Jumat, 5 Pebruari 2010 14:08 WIB)