Afrika akan menuntut kompensasi miliaran dolar AS kepada negara-negara kaya pencipta polusi, pada pertemuan mengenai iklim yang disponsori PBB, karena andil besar negara-negara kaya itu atas pemanasan global yang melanda benua itu, demikian para pejabat Afrika, Senin WIB.
Hanya dua bulan menjelang KTT Iklim PBB di Kopenhagen, para pejabat Afrika bertemu dalam sebuah forum khusus di ibukota Burkina Faso, Ouagadougou, di mana mereka menggarisbawahi perlunya menuntut kompensasi untuk bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim.
"Untuk pertamakalinya Afrika memegang satu pendirian bersama," kata Ketua Komisi Uni Afrika Jean Ping dalam pertemuan ketujuh Forum Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan.
"Kami memutuskan untuk berbicara ddalam satu suara dan akan menuntut ganti rugi atas kerusakan-kerusakan (alam), pada KTT (Iklim) Desember nanti," tandas Ping.
Para pakar menilai wilayah Sub-Sahara Afrika menjadi salah satu bagian dunia yang paling dirugikan oleh pemanasan global.
Bank Dunia memperkirakan, dunia berkembang akan menangung derita sekitar 80 persen kerusakan akibat perubahan iklim, padahal mereka hanya menyumbang sepertiga produksi gas rumah kaca di atmosfer.
"Para pembuat kebijakan harus menyepakati pengurangan emisi gas efek rumah kaca dan tunduk pada prinsip bahwa pencipta polusi harus membayar (kompensasi)," kata Ping.
Pada bagian akhir deklarasi, enam kepala negara Afrika yang menghadiri forum memaklumatkan bahwa mereka mendukung tuntutan kepada negara-negara industri agar mengurangi emisi karbonnya sampai sekurang-kurangnya 40 persen hingga tahun 2020, dari tingkat emisi tahun 1990.
Deklarasi itu juga menyerukan pelonggaran prosedur dan pelembutan syarat-syarat bagi negara-negara Afrika dalam mencapai akses ke sumber-sumber alam seperti termaktub dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM).
Dibawah CDM, negara-negara kaya yang telah menyepakati Protokol Kyoto mendapat keuntungan kredit karbon dari proyek-proyek yang berhasil mengurangi dan mencegah emisi gas rumah kaca di negara-negara miskin.
Forum Ouagadougou yang diadakan hingga hari Minggu itu, dihadiri oleh para presiden dari Benin, Burkina Faso, Republik Afrika Tengah, Kongo, Mali dan Togo.
Jumat lalu, Menteri Lingkungan Hidup Burkina Faso, Salifou Sawadogo, mengungkapkan bahwa benua itu memerlukan 65 miliar dolar AS untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Ping mengatakan para pembuat kebijakan di Afrika berharap negara-negara industri menggelontorkan dana internasional baru untuk membantu negara-negara miskin.
Dia memberi contoh negara bagian Texas di AS yang hanya berpenduduk 30 juta orang tetapi memproduksi gas rumah kaca yang setara dengan yang dihasilkan miliaran orang Afrika.
Afrika juga berharap untuk menjadi pasar emisi karbon yang memungkinkan negara penghasil polusi mengganti emisi yang dihasilkannya dengan proyek-proyek lingkungan seperti penghijauan kembali hutan dan konservasi alam di negara-negara lain.
Ping menyatakan Afrika berpeluang besar mendapatkan kompensasi, mengingat dari 1.600 proyek ganti rugi lingkungan di seluruh dunia, hanya 30 persen yang berada di Afrika, diantaranya 15 proyek di Afrika Selatan yang merupakan motor penggerak ekonomi benua Afrika.
Namun Presiden Burkina Faso Blaise Compaore menekankan, Afrika menghadapi banyak kendala untuk mengatasi masalah "ketiadaan mekanisme yang efisien dalam pembiayaan dan transfer (dana kompensasi)" sehingga menyerukan diadakannya pertemuan antar Afrika yang lebih luas mengenai masalah itu pada 2010 mendatang. (*)
Sumber: ANTARA News (Senin, 12 Oktober 2009 06:17 WIB)
Hanya dua bulan menjelang KTT Iklim PBB di Kopenhagen, para pejabat Afrika bertemu dalam sebuah forum khusus di ibukota Burkina Faso, Ouagadougou, di mana mereka menggarisbawahi perlunya menuntut kompensasi untuk bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim.
"Untuk pertamakalinya Afrika memegang satu pendirian bersama," kata Ketua Komisi Uni Afrika Jean Ping dalam pertemuan ketujuh Forum Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan.
"Kami memutuskan untuk berbicara ddalam satu suara dan akan menuntut ganti rugi atas kerusakan-kerusakan (alam), pada KTT (Iklim) Desember nanti," tandas Ping.
Para pakar menilai wilayah Sub-Sahara Afrika menjadi salah satu bagian dunia yang paling dirugikan oleh pemanasan global.
Bank Dunia memperkirakan, dunia berkembang akan menangung derita sekitar 80 persen kerusakan akibat perubahan iklim, padahal mereka hanya menyumbang sepertiga produksi gas rumah kaca di atmosfer.
"Para pembuat kebijakan harus menyepakati pengurangan emisi gas efek rumah kaca dan tunduk pada prinsip bahwa pencipta polusi harus membayar (kompensasi)," kata Ping.
Pada bagian akhir deklarasi, enam kepala negara Afrika yang menghadiri forum memaklumatkan bahwa mereka mendukung tuntutan kepada negara-negara industri agar mengurangi emisi karbonnya sampai sekurang-kurangnya 40 persen hingga tahun 2020, dari tingkat emisi tahun 1990.
Deklarasi itu juga menyerukan pelonggaran prosedur dan pelembutan syarat-syarat bagi negara-negara Afrika dalam mencapai akses ke sumber-sumber alam seperti termaktub dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM).
Dibawah CDM, negara-negara kaya yang telah menyepakati Protokol Kyoto mendapat keuntungan kredit karbon dari proyek-proyek yang berhasil mengurangi dan mencegah emisi gas rumah kaca di negara-negara miskin.
Forum Ouagadougou yang diadakan hingga hari Minggu itu, dihadiri oleh para presiden dari Benin, Burkina Faso, Republik Afrika Tengah, Kongo, Mali dan Togo.
Jumat lalu, Menteri Lingkungan Hidup Burkina Faso, Salifou Sawadogo, mengungkapkan bahwa benua itu memerlukan 65 miliar dolar AS untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Ping mengatakan para pembuat kebijakan di Afrika berharap negara-negara industri menggelontorkan dana internasional baru untuk membantu negara-negara miskin.
Dia memberi contoh negara bagian Texas di AS yang hanya berpenduduk 30 juta orang tetapi memproduksi gas rumah kaca yang setara dengan yang dihasilkan miliaran orang Afrika.
Afrika juga berharap untuk menjadi pasar emisi karbon yang memungkinkan negara penghasil polusi mengganti emisi yang dihasilkannya dengan proyek-proyek lingkungan seperti penghijauan kembali hutan dan konservasi alam di negara-negara lain.
Ping menyatakan Afrika berpeluang besar mendapatkan kompensasi, mengingat dari 1.600 proyek ganti rugi lingkungan di seluruh dunia, hanya 30 persen yang berada di Afrika, diantaranya 15 proyek di Afrika Selatan yang merupakan motor penggerak ekonomi benua Afrika.
Namun Presiden Burkina Faso Blaise Compaore menekankan, Afrika menghadapi banyak kendala untuk mengatasi masalah "ketiadaan mekanisme yang efisien dalam pembiayaan dan transfer (dana kompensasi)" sehingga menyerukan diadakannya pertemuan antar Afrika yang lebih luas mengenai masalah itu pada 2010 mendatang. (*)
Sumber: ANTARA News (Senin, 12 Oktober 2009 06:17 WIB)