Serangan puluhan gajah Sumatra di areal pemukiman di perbatasan Kabupaten Tebo, Jambi dan Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang telah berlangsung sepekan masih berlanjut, bahkan dua warga tewas akibat amukan gajah tersebut.
Kepala Dusun Seranggeh, Kecamatan Penanap, Indragiri Hulu, Tapa ketika dikonfirmasi, Senin, menyatakan tewasnya dua warga tersebut terjadi sehari sebelum dan setelah Lebaran, namun ia tidak merinci nama-nama korban.
"Desa Seranggeh sebenarnya sudah rutin diserang gajah, namun pada tahun-tahun sebelumnya gajah masih bisa diusir ke luar desa," katanya.
Akibat serangan puluhan gajah pada Minggu (27/9) malam, satu rumah warga Desa Seranggeh, juga rusak, sebelumnya lima rumah permanen serta puluhan hektare kebun karet dan sawit masyarakat juga hancur.
Untuk menghindari jatuhnya korban jiwa, sebagian warga desa di sekitar lokasi amukan gajah terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri.
"Semalam saya sedang bersilaturahmi ke rumah paman di Seranggeh, saya melihat banyak kotoran gajah di jalan poros. Kebun karet dan sawit warga di sepanjang jalan juga banyak yang dirusak," kata Tapa.
Hingga Minggu malam belum ada aparat berwenang yang turun ke lokasi untuk mengamankan warga dari amukan gajah.
Sementara itu, berdasarkan pantauan Wildilife Protection Unit (WPU), unit kerja sama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi dan Frankfurt Zoological Society (FZS), kawanan gajah Sumatra (elephas maximus sumatranus) ini termasuk dalam kelompok gajah Riau.
Kelompok ini terpantau sering berada di areal eks hutan produksi PT Industries et Forest Asiatiques (IFA) yang merupakan habitat gajah karena topografinya yang landai dan banyak sumber makanan.
Namun, pemerintah mengubah jalur perlintasan gajah yang terletak di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) ini menjadi lokasi transmigrasi dan hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Tebo Mandiri Agro (TMA) untuk diubah menjadi tanaman monokultur yaitu ekaliptus dan akasia.
Hampir seluruh jalur lintasan gajah kini sudah berubah menjadi pemukiman dan perkebunan. Penduduk menanami area tersebut dengan tanaman karet dan sawit.
Pada saat kawasan eks PT IFA ini dibuka, gajah-gajah sempat menghilang selama tiga tahun, namun ketika tanaman sawit mulai tumbuh, gajah kembali melintas.
Gajah keluar dari hutan produksi eks PT IFA di bagian utara, menuju perbatasan hutan hingga ke perkebunan sawit. Pucuk-pucuk sawit muda yang tingginya belum sampai dua meter menjadi makanan favoritnya.
Konflik satwa liar dengan manusia merupakan buah dari kecerobohan pemerintah dalam mengeluarkan izin pengelolaan hutan, kata Counterpart FZS-BKSDA Jambi, Krismanko Padang.
Aspek ekologi mutlak diperhatikan dalam menentukan peruntukan suatu kawasan hutan, untuk mencegah konflik terulang, pemerintah harus mengalokasikan suatu kawasan khusus untuk gajah Sumatera.
Masih ada hutan alam di Blok Punti Anai dan eks PT IFA, perbatasan Kabupaten Inhu, Riau dan Kabupaten Tebo, Jambi yang kondisinya cocok untuk habitat gajah.
Jika area ini dikembangkan dapat menjadi penghubung antara koridor TNBT dan Taman Nasional Tesso Nilo, kata Krismanko.
Bila dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan korban di kedua belah pihak terus berjatuhan. Gajah Sumatra yang merupakan sub-spesies gajah Asia ini hanya tinggal di Pulau Sumatra.
Jumlahnya kini kurang dari 3.000 ekor dan lebih kurang 120 ekor berada di blok Bukit Tigapuluh. Sebagian besar gajah Sumatera mati dibunuh oleh manusia dengan berbagai cara.
Pembukaan hutan secara agresif untuk perkebunan telah merenggut 80 persen habitat gajah Sumatra, tambahnya.
Sumber: ANTARA News (Senin, 28 September 2009 19:18 WIB)