2010-01-22

DPRD Dan SKPD Berdebat Soal Penanggungjawab Mangrove

Palu (ANTARA News) - DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dan sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masih berdebat panjang soal siapa yang paling berkompeten terhadap pengelolaan hutan bakau (mangrove) di daerah itu.

Perdebatan itu muncul dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang hutan bakau yang berlangsung di DPRD Sulteng, Kamis.

Hingga rapat ditutup pukul 16.30 Wita belum ada kesepakatan SKPD mana sebetulnya paling bertanggungjawab dalam pengelolaan mangrove tersebut. Karena belum ada kesepakatan itu, Raperda akhirnya belum bisa dibahas sebelum ada kata sepakat semua pihak.

Pimpinan rapat, Andi Parenrengi, menunda waktu pembahasan tersebut hingga waktu yang belum ditentukan.

Menurut Nawawi S Kilat, Ketua Komisi III (Pembangunan), pengelolaan hutan bakau sebaiknya diserahkan ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sulteng, karena hutan bakau tidak saja dipandang sebagai hutan tapi lebih pada fungsi lingkungannya.

"Sekarang hutan bakau (mangrove) tidak lagi dipandang sebagai hutan, makanya mangrove ini bagusnya dikelola oleh BLH," kata Nawawi.

Usulan tersebut disampaikan anggota DPRD dari Partai Demokrat itu karena merujuk beberapa daerah yang ada di Indonesia, pengelolaan mangrove melekat di Lingkungan Hidup.

Kepala BLH Sulteng, Abd Rahim justri berpendapat lain. Menurut dia, sebaiknya ada lembaga khusus yang menangani mangrove tersebut karena semua pihak bertanggungjawab terhadap pengembangan dan pemeliharaannya.

"Kalau BLH dan Bappeda kan bukan lembaga teknis. Kami lembaga koordinasi. Kalau pengelolaan teknis ya sebaiknya mangrove diserahkan ke dinas teknis atau ada lembaga khusus yang dibentuk untuk mengelola," kata Abd Rahim.

Bagi dia, siapapun yang nantinya diputuskan paling berkompeten mengelola mangrove tidak jadi soal. Yang penting mangrove terus dikembangkan karena fungsinya untuk lingkungan hidup.

Dalam beberapa tahun lalu, lembaga penanggungjawab mangrove tidak jelas. Masing-masing dinas memprogramkan sendiri penanaman mangrove. Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, dan Bappeda, sama-sama mengurus mangrove. Namun dua tahun terakhir, mangrove diserahkan ke Bappeda Sulteng.

Menurut Nawawi, diserahkannya pengelolaan mangrove di Bappeda tersebut bukan berarti mengurus teknis, tetapi Bappeda diharapkan mengurus kelembagaannya, sehingga kedepan sudah jelas siapa yang paling berkompeten dalam urusan hutan bakau tersebut.

Nawawi mengatakan, tahun ini pemerintah kembali menganggarkan mangrove sebesar Rp500 juta.


Hilangkan Ego Sektoral

Wakil Ketua DPRD Sulteng Henrik Kawulur mengatakan, pengelolaan mangrove harus dikerjakan bersama karena masalah hutan bakau bersifat multisistem dan multisektor.

"Kita harus kerja bareng dan menghilangkan ego sektoral. Ini tanggungjawab kita bersama. Tinggal sekarang kita atur siapa kira-kira yang menangani," katanya.

Sekretaris DPD Partai Demokrat Sulteng itu mengatakan, dari 33 provinsi di Indonesia, 29 diantaranya sudah memiliki Perda Mangrove.

Penanganan mangrove menurut dia sangat mendesak karena terkait dengan perubahan iklim yang sangat ekstrim ditandai dengan naiknya permukaan laut.

Indonesia, kata Hendrik, tergolong tiga negara di dunia yang menjadi penopang perubahan iklim tersebut.

"Ini peringatan dini bagi kita, kalau tidak cepat kita tangani, perluasan akibat pengikisan abrasi makin cepat. Ini sudah peringatan dini agar Perda Mangrove (hutan bakau) segera diselesaikan," katanya.

Hendrik menilai, semangat untuk menanam mangrove sudah ada. Hanya saja belum memperhatikan teknis. Dia mencontohkan, semangat pemerintah menanam mangrove di mulut sungai Palu tidak didukung teknis sehingga keputusannya tidak cerdas.

Penanaman hutan bakau di mulut sungai tersebut rawan sedimentasi sehingga bisa berdampak mendangkalnya sungai.

Kondisi hutan bakau di Sulteng saat ini sudah dalam kondisi kritis karena setiap tahunnya mengalami penurunan jumlah areal.

Tahun 1989 jumlah areal mangrove masih mencapai 49 ribu hektare. Namun sekarang menurun menjadi 29 ribu. Dari jumlah tersebut, tinggal 31,53 persen atau sekitar 9.000 hektare lebih dalam kondisi baik.


Sementara status hutan bakau yang rusak berat mencapai 46 persen atau sekitar 13 ribu hektar, dan kategori rusak 22 persen atau sekitar 6.000 hektare.

Sumber : ANTARA News (Jumat, 15 Januari 2010 04:35 WIB)
Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org