Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menargetkan penurunan jumlah titik api (hot spot) kebakaran hutan sebagai bagian dari program 100 hari.
"Program 100 hari kita adalah kegiatan mencegah kebakaran hutan di enam propinsi. Kita usahakan target 20 persen penurunan hot spot setiap tahun," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH) Gusti Muhammad Hatta di sela-sela acara penanaman pohon di Situ Cibeureum, Bojong gede, Bogor, Jawa Barat, Jumat.
Enam propinsi yang dimaksud adalah Jambi, Riau, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Untuk itu, KLH berkoordinasi dan meminta bantuan para kepala daerah dari provinsi sampai tingkat kabupaten/kota.
Sementara Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan mengatakan Indonesia masih menghadapi persoalan hutan dan lahan, seperti kebakaran hutan.
Berry mengatakan jumlah titik api dari Mei hingga Agustus 2009, tercatat 21.294, dengan mayoritas berada di Kalimantan dan Sumatra.
Sedangkan keterangan pers Departemen Kehutanan menyebutkan ada sebanyak 38.299 titik api pada tahun 2005 dan sebanyak 145.522 titik api pada tahun 2006.
Jumlah titik api tersebut berasal dari delapan propinsi yaitu Sumatra Utara sebanyak 3.830 titik api pada 2005 dan 3.581 titik api pada 2006, di Riau sebanyak 22.630 titik api (2005) dan 35.426 titik api (2006), Jambi sebanyak 1.208 titik api (2005) dan 6.948 titik api (2006).
Sementara itu, di Sumatra Selatan ada 1.182 titik api (2005) dan 21.734 titik api (2006), di Kalimantan Barat sebanyak 3.022 titik api (2005) dan 29.266 titik api (2006), di Kalimantan Tengah sebanyak 3.147 titik api (2005) dan 40.897 titik api (2006), di Kalimantan Selatan 758 titik api (2005) dan 6469 titik api (2006), dan di Sulawesi Selatan 133 titik api (2005) dan 1201 titik api (2006).
Deputi Men-LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan-KLH, Masnellyarti Hilman, mengatakan KLH menggunakan patokan jumlah hot spot pada tahun 2006 untuk program penurunan jumlah titik api.
"Kita menggunakan data jumlah hot spot tahun 2006 karena tahun itu merupakan jumlah tertinggi titik apinya," katanya.
Dephut menyatakan sekitar 70 persen kebakaran lahan terjadi di luar kawasan hutan, dan hanya 30 persen yang terjadi di dalam kawasan hutan.
Di masyarakat masih timbul persepsi bahwa timbulnya asap di berbagai wilayah di Indonesia seluruhnya disebabkan oleh kebakaran hutan, padahal penyebab utamanya adalah pembakaran lahan untuk menyiapkan perkebunan skala besar, perladangan, dan hanya sebagian kecil saja terjadi di Hutan Tanaman Industri.
Bencana yang diakibatkan oleh praktik pembakaran lahan dan hutan adalah timbulnya polusi asap yang mengganggu berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat, baik nasional maupun global, serta menyebabkan kerusakan lingkungan.
Sebagai indikator kinerja pengendalian kebakaran lahan dan hutan adalah pantauan terjadinya Hot Spot (titik panas) oleh Satelit NOAA (National Oceanic And Admospheric Administration) yang mempunyai nilai akurasi dan validasi tinggi.
Berdasarkan data hot spot Satelit NOAA di Departemen Kehutanan, provinsi rawan kebakaran lahan adalah Kalteng, Kalbar, Sumsel, Riau, dan Jambi.
Pada umumnya kebakaran lahan dan hutan di provinsi tersebut terjadi pada lahan gambut yang sulit dipadamkan dan minimbulkan kabut asap.
Sumber: ANTARA News (Jumat, 8 Januari 2010 20:12 WIB)
"Program 100 hari kita adalah kegiatan mencegah kebakaran hutan di enam propinsi. Kita usahakan target 20 persen penurunan hot spot setiap tahun," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH) Gusti Muhammad Hatta di sela-sela acara penanaman pohon di Situ Cibeureum, Bojong gede, Bogor, Jawa Barat, Jumat.
Enam propinsi yang dimaksud adalah Jambi, Riau, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Untuk itu, KLH berkoordinasi dan meminta bantuan para kepala daerah dari provinsi sampai tingkat kabupaten/kota.
Sementara Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan mengatakan Indonesia masih menghadapi persoalan hutan dan lahan, seperti kebakaran hutan.
Berry mengatakan jumlah titik api dari Mei hingga Agustus 2009, tercatat 21.294, dengan mayoritas berada di Kalimantan dan Sumatra.
Sedangkan keterangan pers Departemen Kehutanan menyebutkan ada sebanyak 38.299 titik api pada tahun 2005 dan sebanyak 145.522 titik api pada tahun 2006.
Jumlah titik api tersebut berasal dari delapan propinsi yaitu Sumatra Utara sebanyak 3.830 titik api pada 2005 dan 3.581 titik api pada 2006, di Riau sebanyak 22.630 titik api (2005) dan 35.426 titik api (2006), Jambi sebanyak 1.208 titik api (2005) dan 6.948 titik api (2006).
Sementara itu, di Sumatra Selatan ada 1.182 titik api (2005) dan 21.734 titik api (2006), di Kalimantan Barat sebanyak 3.022 titik api (2005) dan 29.266 titik api (2006), di Kalimantan Tengah sebanyak 3.147 titik api (2005) dan 40.897 titik api (2006), di Kalimantan Selatan 758 titik api (2005) dan 6469 titik api (2006), dan di Sulawesi Selatan 133 titik api (2005) dan 1201 titik api (2006).
Deputi Men-LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan-KLH, Masnellyarti Hilman, mengatakan KLH menggunakan patokan jumlah hot spot pada tahun 2006 untuk program penurunan jumlah titik api.
"Kita menggunakan data jumlah hot spot tahun 2006 karena tahun itu merupakan jumlah tertinggi titik apinya," katanya.
Dephut menyatakan sekitar 70 persen kebakaran lahan terjadi di luar kawasan hutan, dan hanya 30 persen yang terjadi di dalam kawasan hutan.
Di masyarakat masih timbul persepsi bahwa timbulnya asap di berbagai wilayah di Indonesia seluruhnya disebabkan oleh kebakaran hutan, padahal penyebab utamanya adalah pembakaran lahan untuk menyiapkan perkebunan skala besar, perladangan, dan hanya sebagian kecil saja terjadi di Hutan Tanaman Industri.
Bencana yang diakibatkan oleh praktik pembakaran lahan dan hutan adalah timbulnya polusi asap yang mengganggu berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat, baik nasional maupun global, serta menyebabkan kerusakan lingkungan.
Sebagai indikator kinerja pengendalian kebakaran lahan dan hutan adalah pantauan terjadinya Hot Spot (titik panas) oleh Satelit NOAA (National Oceanic And Admospheric Administration) yang mempunyai nilai akurasi dan validasi tinggi.
Berdasarkan data hot spot Satelit NOAA di Departemen Kehutanan, provinsi rawan kebakaran lahan adalah Kalteng, Kalbar, Sumsel, Riau, dan Jambi.
Pada umumnya kebakaran lahan dan hutan di provinsi tersebut terjadi pada lahan gambut yang sulit dipadamkan dan minimbulkan kabut asap.
Sumber: ANTARA News (Jumat, 8 Januari 2010 20:12 WIB)