Nur R Fajar
Aktivis Walhi memberikan keterangan mengenai Copenhagen Corner yang akan berlangsung pada 7-19 Desember 2009, di Jakarta, Jumat (4/12). (ANTARA/Rosa Panggabean)
Kopenhagen (ANTARA News) - KTT ke-15 Perubahan Iklim (Conferense of Parties/COP) dari Konvensi Kerangka Kerja dari Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework for Climate Change Convention/UNFCCC) resmi dibuka Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen, Senin lalu (7/12).
Berbagai petinggi negara peserta dan badan-badan dunia untuk perubahan iklim mengungkapkan kesan optimistiknya bahwa konferensi ke-15 ini dapat menghasilkan kesepakatan yang mengikat (legally binding) bagi negara-negara COP terutama komitmen dari negara-negara industri.
Perdana Menteri Denmark, dalam pembukaan konferensi, berharap satu kesepakatan kuat dan ambisius dalam perubahan iklim, terjawab lewat konfirmasi 110 kepala negara yang menghadiri KTT ke-15 ini.
Selama dua minggu penyelenggaraan konferensi, Lars mengatakan, Kopenhagen berubah namanya menjadi "Hopehagen" atau kota harapan dengan dicapainya kesepakatan yang mengikat semua negara mengatasi perubahan iklim.
Sedangkan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo De Boer mengatakan sukses konferensi hanya bisa diukur oleh hadirnya satu kesepakatan yang implementatif dan segera.
"Saya mendengar pernyataan politik yang kuat (dari negara peserta konferensi) untuk tercapainya sebuah kesepakatan yang memuat tujuan pembatasan emisi secara serius dan beberapa hal tentang pendanaan dan dukungan teknologi kepada negara-negara berkembang," katanya.
Hal ini tercapai jika negara-negara memfokuskan upayanya dalam merumuskan suatu kesepakatan yang solid.
Yvo mengibaratkan hasil kesepakatan KTT Perubahan Iklim sebagai sebagai "kue natal" ideal dari Kopenhagen.
"Saat ini, banyak orang sibuk mempersiapkan kue-kue Natal mereka. Dan saya harap Perdana Menteri Denmark dapat meniup lilin kue natal Kopenhagen ini," katanya.
Sementara itu, Presiden KTT ke-15 UNFCCC, Connie Hedegaard yang akan memimpin konferensi, meminta semua delegasi berbagai negara untuk segera bertindak menangani dampak perubahan iklim.
"Mari kita selesaikan. Saatnya sekarang untuk menyampaikan. Sekarang ini tempatnya untuk berkomitmen. Dan memang masih banyak rintangan, tetapi saatnya kita mengatasinya," kata Connie pada pembukaan KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Senin.
Connie berharap, pada 18 Desember 2009 di Kopenhagen diingat dengan semangat "C" yaitu "Copenhagen", "Construcktiveness", "Cooperation", "Commitment dan "Consensus"
Menjembatani
Delegasi Indonesia sendiri berjanji akan menjembatani semua kepentingan negara industri dan negara berkembang pada KTT ke-15 Perubahan Iklim, agar tercapai kesepakatan yang mengikat.
"Kami, Delegasi Republik Indonesia yakin dapat berperan dalam menjembatani tercapainya benang merah berbagai kepentingan, terutama antara Negara maju dan Negara berkembang," kata Ketua Delegasi RI yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar di Kopenhagen.
Rachmat mengatakan ada dua permasalahan dalam pencapaian konsensus, yaitu belum sepahamnya semua pihak tentang masalah dimensi waktu dan siapa yang harus memulai terlebih dahulu.
"Para pihak (negara peserta konferensi) terlihat sangat optimis, sebagaimana hasil di Bali (KTT ke-13 Perubahan Iklim 2007), saya yakin di Kopenhagen ini juga akan ada hasil kejutan yang kita harapkan," katanya.
Pada pembukaan konferensi, kelompok-kelompok negara peserta telah menyatakan posisi mereka masing-masing untuk bernegosiasi.
Sudan, mewakili Kelompok 77 Negara Berkembang (G77), dan China, secara tegas menolak kewajiban bagi negara berkembang dalam kesepakatan yang akan dihasilkan di COP-15.
Negara ini menegaskan bahwa hasil kesepakatan harus sesuai dengan mandat Bali Action Plan (BAP) yang menempatkan shared vision sebagai arah aksi kerja sama jangka panjang yang mewakili korelasi upaya stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dengan memperhatikan semua pilar BAP.
Oleh karena itu, negara maju harus tetap menjamin upaya mitigasi, sedangkan negara berkembang akan berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca melalui upaya pembangunan ekonomi rendah karbon di masing-masing negara.
Pendapat ini didukung Aljazair yang mewakili Kelompok Negara Afrika, Lesotho yang mewakili Kelompok "Least Developed Countries" (LDC), dan Grenada yang mewakili "Alliance of Small Island States (AOSIS). Meksiko mewakili "Environmental Integrity Group" (EIG) juga mendukung selesainya proses yang telah dimandatkan oleh BAP itu.
EIG juga mendukung tercapainya kesepakatan yang mengikat secara hukum dan perlunya Protokol Kyoto untuk dilanjutkan.
Australia yang mewakili "Umbrella Group" (Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Ukraina and Amerika Serikat) juga mengharapkan KTT ke-15 Perubahan Iklim menghasilkan aksi tegas dengan cara memaksimalkan kredibilitas dan mengakui kajian ilmiah yang menyatakan bahwa kenaikan temperatur bumi tidak melebih 2?C per tahun.
Semua negara dituntut untuk mengambil tindakan sesuai kemampuan masing-masing, serta mendukung tercapainya kesepakatan yang mengikat secara hukum.
Swedia mewakili Kelompok Negara Eropa menyatakan komitmen Negara-negara Eropa untuk mencapai hasil yang ambisius dan mengikat secara hukum yang mecakup semua building blocks dan tindakan segera, serta perlunya melanjutkan Protokol Kyoto.
Negara-negara Eropa berkomitmen untuk memotong emisi gas buang serta mengupayakan pendanaan untuk adaptasi.
Untuk angka pendek, negara-negara Eropa akan menyampaikan komitmen 5-7 miliar Euro, setelah tiga tahun berlakunya kesepakatan yang dihasilkan di KTT ke-15 Perubahan Iklim.
Tiga negara
Menjelang pelaksanaan KTT Kopenhagen, masyarakat global pesimistis bahwa kesepakatan yang mengikat bagi penanganan perubahan iklim tidak bakal tercapai.
Itu karena negara-negara maju alias negara industri yang kukuh pada posisi masing-masing untuk tidak berkomitmen secara sungguh-sungguh dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Terutama komitmen tiga emiter terbesar GRK dunia yaitu Amerika, Cina dan India.
Akan tetapi, tiga negara tersebut akhirnya mengeluarkan pernyataan tentang target penurunan emisi karbon mereka menjelang dimulainya KTT ke-15 Perubahan Iklim.
Amerika Serikat menyatakan berkomitmen emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen dari level tahun 2005 pada tahun 2020.
China pun telah mengeluarkan target penurunan emisi 40-45 persen dari level tahun 2005 pada 2020 yang didasarkan pada produk domestik bruto (GDP)-nya.
Sedangkan India, seperti diungkapkan Menteri Lingkungan India Jairam Ramesh Kamis pekan lalu (3/12), menyatakan akan mengurangi 20-25 persen emisi gas rumah kaca pada 2020 dengan acuan tahun 2005, akan tetapi India tidak akan menandatangani kesepakatan apapun yang sifatnya mengikat, dalam KTT Iklim Kopenhagen.
Dengan terkuaknya komitmen tiga negara tersebut, maka akhir KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen akan semakin menarik untuk diikuti. Akankah 110 kepala negara dan pemerintahan berencana datang pada akhir konferensi berniat menyelamatkan masyarakat dunia dari bencana perubahan iklim, atau mereka "keukeuh" menunda berkomitmen?
Sumber: ANTARA News (Rabu, 9 Desember 2009 16:03 WIB)