(ANTARA/FB Anggoro)
Pekanbaru (ANTARA News) - Sejumlah organisasi pegiat lingkungan menyayangkan Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan yang hingga kini belum mengeluarkan surat keputusan mengenai status quo aktivitas perusahaan bubur kertas di kawasan gambut Semenanjung Kampar, Riau.
Organisasi lingkungan seperti Greenpeace, Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) dan Walhi Riau, di Pekanbaru, Sabtu, menilai status quo berpotensi menimbulkan tindakan ilegal berupa pembalakan liar oleh perusahaan yang mengakibatkan kerugian negara sedikitnya Rp100 miliar.
"Status quo yang hanya diucapkan secara lisan oleh Menhut berpotensi mengakibatkan pembalakan liar dan merugikan negara," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar.
Bustar Maitar mengatakan hal itu terkait pernyataan Menhut usai mengikuti rapat dengar pendapat di Komisi Kehutanan DPR di Jakarta, Rabu malam (18/11), yang meminta PT Rian Andalan Pulp and Paper (RAPP) menghentikan sementara aktivitas di lahan gambut di Riau, khususnya di Semenanjung Kampar. Menhut mengatakan pihaknya akan mengevaluasi semua perizinan perusahaan dari APRIL Grup itu, termasuk melakukan post-audit terhadap perusahaan.
Meski semua perizinan RAPP di Semenanjung Kampar telah memiliki rekomendasi dari Gubernur Riau Rusli Zainal dan persetujuan MS Kaban (Menhut sebelumnya), namun Zulkifli berjanji akan mengambil tindakan tegas apabila ditemukan kesalahan dalam perizinan perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto itu.
"Ucapan lisan tidak kuat dasar hukumnya untuk menghentikan ekspansi perusahaan," tegas Bustar.
Koordinator Jikalahari Susanto Kurniawan, mengatakan RAPP diestimasikan telah membuka sedikitnya 1.000 hektare hutan rawa gambut Semenanjung Kampar di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, sejak September lalu.
Kawasan tersebut memiliki potensi penyimpan karbon karena memiliki kedalaman gambut lebih dari lima meter dan potensi tegakan kayu sekitar 77 meter kubik (M3) per hektare. Sehingga, potensi tegakan kayu di atas kawasan hutan alam yang telah dibuka oleh perusahaan mencapai 77.000 M3.
Potensi kerugian negara yang didapatkan dari perhitungan jumlah harga kayu bulat, PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), dan Dana Reboisasi (DR), diperkirakan mencapai sekitar Rp73 miliar.
Dengan rincian, ujarnya, pemasukan harga kayu bulat mencapai Rp800 ribu per M3. Sedangkan, perhitungan dari DR yang didapatkan negara dari kayu bulat dikenakan sebesar 12 dollar AS (kurs 1 dollar AS setara Rp9.400) per M3, dan PSDH dikenakan Rp38 ribu per M3.
"Namun, kerugian belum dihitung dari cabang dan ranting pohon yang nilainya bisa berkisar 40 hingga 60 persen dari total pemasukan dari kayu bulat. Sehingga, diperkirakan kerugian negara bisa mencapai Rp100 miliar lebih," katanya.
Direktur Walhi Riau Hariansyah Usman berpendapat, akan percuma apabila Menhut terlalu lama untuk mengeluarkan keputusan tertulis karena aktivitas perusahaan di Semenanjung Kampar terus berjalan.
Selain itu, ia juga meminta agar Menhut segera menurunkan tim peneliti independen untuk mengkaji kondisi di lapangan dan juga terhadap perizinan perusahaan agar proses evaluasi berjalan transparan dan netral.
"Percuma saja apabila hutan terus ditebangi dan habis, baru kemudian Menhut mengeluarkan SK penghentian sementara untuk evaluasi," kata Hariansyah.
Kerugian Potensi Karbon
Bustar Maitar menambahkan, lambannya Menhut mengeluarkan SK penghentian sementara juga menimbulkan kerugian ekologis karena kawasan Semenanjung Kampar merupakan tempat penyimpan karbon alami yang tidak sedikit.
Berdasarkan penelitian Greenpeace, kandungan karbon di bawah permukaan gambut Semenanjung Kampar untuk kedalaman satu meter rata-rata mencapai 823 ton per hektare.
Kapasitas penyimpan karbon itu belum termasuk kandungan karbon dari vegetasi yang ada di permukaan yaitu sekitar 150-200 ton per hektare.
"Kami memperkirakan kandungan karbon yang berpotensi hilang akibat alih fungsi di kawasan yang telah dibuka oleh perusahaan mencapai 3.430 ton," katanya.
Karbon yang terlepas tersebut, lanjutnya, akan sangat berbahaya untuk memperparah pemanasan global dan perubahan iklim karena emisi gas rumah kaca yang terlepas dari pembukaan lahan gambut baru bisa terurai sekitar 350-600 tahun untuk kembali netral.
Sebelumnya, manajemen RAPP sudah berjanji untuk menghentikan kegiatan pembangunan jalan masuk dan kanal pengatur air di Semenanjung Kampar di Teluk Meranti yang sempat diprotes aktivis Greenpeace.
Humas PT RAPP, Virgilio Jose Ramos, pada 25 November lalu menyatakan bahwa perusahaan telah menghentikan kegiatan setelah perintah lisan dari Menteri Kehutanan melalui media massa. Sedangkan, alat berat yang masih di lokasi menunggu untuk ditarik.
Ia juga mengakui belum ada surat resmi penghentian aktivitas RAPP di Teluk Meranti.
Sumber: ANTARA News (Sabtu, 28 November 2009 19:19 WIB)
Pekanbaru (ANTARA News) - Sejumlah organisasi pegiat lingkungan menyayangkan Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan yang hingga kini belum mengeluarkan surat keputusan mengenai status quo aktivitas perusahaan bubur kertas di kawasan gambut Semenanjung Kampar, Riau.
Organisasi lingkungan seperti Greenpeace, Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) dan Walhi Riau, di Pekanbaru, Sabtu, menilai status quo berpotensi menimbulkan tindakan ilegal berupa pembalakan liar oleh perusahaan yang mengakibatkan kerugian negara sedikitnya Rp100 miliar.
"Status quo yang hanya diucapkan secara lisan oleh Menhut berpotensi mengakibatkan pembalakan liar dan merugikan negara," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar.
Bustar Maitar mengatakan hal itu terkait pernyataan Menhut usai mengikuti rapat dengar pendapat di Komisi Kehutanan DPR di Jakarta, Rabu malam (18/11), yang meminta PT Rian Andalan Pulp and Paper (RAPP) menghentikan sementara aktivitas di lahan gambut di Riau, khususnya di Semenanjung Kampar. Menhut mengatakan pihaknya akan mengevaluasi semua perizinan perusahaan dari APRIL Grup itu, termasuk melakukan post-audit terhadap perusahaan.
Meski semua perizinan RAPP di Semenanjung Kampar telah memiliki rekomendasi dari Gubernur Riau Rusli Zainal dan persetujuan MS Kaban (Menhut sebelumnya), namun Zulkifli berjanji akan mengambil tindakan tegas apabila ditemukan kesalahan dalam perizinan perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto itu.
"Ucapan lisan tidak kuat dasar hukumnya untuk menghentikan ekspansi perusahaan," tegas Bustar.
Koordinator Jikalahari Susanto Kurniawan, mengatakan RAPP diestimasikan telah membuka sedikitnya 1.000 hektare hutan rawa gambut Semenanjung Kampar di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, sejak September lalu.
Kawasan tersebut memiliki potensi penyimpan karbon karena memiliki kedalaman gambut lebih dari lima meter dan potensi tegakan kayu sekitar 77 meter kubik (M3) per hektare. Sehingga, potensi tegakan kayu di atas kawasan hutan alam yang telah dibuka oleh perusahaan mencapai 77.000 M3.
Potensi kerugian negara yang didapatkan dari perhitungan jumlah harga kayu bulat, PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), dan Dana Reboisasi (DR), diperkirakan mencapai sekitar Rp73 miliar.
Dengan rincian, ujarnya, pemasukan harga kayu bulat mencapai Rp800 ribu per M3. Sedangkan, perhitungan dari DR yang didapatkan negara dari kayu bulat dikenakan sebesar 12 dollar AS (kurs 1 dollar AS setara Rp9.400) per M3, dan PSDH dikenakan Rp38 ribu per M3.
"Namun, kerugian belum dihitung dari cabang dan ranting pohon yang nilainya bisa berkisar 40 hingga 60 persen dari total pemasukan dari kayu bulat. Sehingga, diperkirakan kerugian negara bisa mencapai Rp100 miliar lebih," katanya.
Direktur Walhi Riau Hariansyah Usman berpendapat, akan percuma apabila Menhut terlalu lama untuk mengeluarkan keputusan tertulis karena aktivitas perusahaan di Semenanjung Kampar terus berjalan.
Selain itu, ia juga meminta agar Menhut segera menurunkan tim peneliti independen untuk mengkaji kondisi di lapangan dan juga terhadap perizinan perusahaan agar proses evaluasi berjalan transparan dan netral.
"Percuma saja apabila hutan terus ditebangi dan habis, baru kemudian Menhut mengeluarkan SK penghentian sementara untuk evaluasi," kata Hariansyah.
Kerugian Potensi Karbon
Bustar Maitar menambahkan, lambannya Menhut mengeluarkan SK penghentian sementara juga menimbulkan kerugian ekologis karena kawasan Semenanjung Kampar merupakan tempat penyimpan karbon alami yang tidak sedikit.
Berdasarkan penelitian Greenpeace, kandungan karbon di bawah permukaan gambut Semenanjung Kampar untuk kedalaman satu meter rata-rata mencapai 823 ton per hektare.
Kapasitas penyimpan karbon itu belum termasuk kandungan karbon dari vegetasi yang ada di permukaan yaitu sekitar 150-200 ton per hektare.
"Kami memperkirakan kandungan karbon yang berpotensi hilang akibat alih fungsi di kawasan yang telah dibuka oleh perusahaan mencapai 3.430 ton," katanya.
Karbon yang terlepas tersebut, lanjutnya, akan sangat berbahaya untuk memperparah pemanasan global dan perubahan iklim karena emisi gas rumah kaca yang terlepas dari pembukaan lahan gambut baru bisa terurai sekitar 350-600 tahun untuk kembali netral.
Sebelumnya, manajemen RAPP sudah berjanji untuk menghentikan kegiatan pembangunan jalan masuk dan kanal pengatur air di Semenanjung Kampar di Teluk Meranti yang sempat diprotes aktivis Greenpeace.
Humas PT RAPP, Virgilio Jose Ramos, pada 25 November lalu menyatakan bahwa perusahaan telah menghentikan kegiatan setelah perintah lisan dari Menteri Kehutanan melalui media massa. Sedangkan, alat berat yang masih di lokasi menunggu untuk ditarik.
Ia juga mengakui belum ada surat resmi penghentian aktivitas RAPP di Teluk Meranti.
Sumber: ANTARA News (Sabtu, 28 November 2009 19:19 WIB)