Setelah dua jam menyusuri pantai Taman Nasional Pongara dalam kegelapan malam, Joan Ikoun-Ngossa dan rombongan patrolinya akhirnya menemukan satu penyu leatherback.
Hewan itu baru saja bertelur dan sedang berjuang dengan canggung kembali ke laut.
Namun buat penyu muda, hanya ada satu dari seribu yang memiliki peluang berhasil mencapai usia dewasa, gara-gara banyaknya ancaman mematikan, mulai tingkah manusia, pemangsa alamiah, polusi, dan kadangkala nasib buruk belaka.
Dengan bantuan cahaya --yang berwarna merah, agar tidak membuat silau atau terkejut penyu tersebut-- Ikoun-Ngossa dari "Aventures Sans Frontieres" atau kelompok Petualangan Tanpa Perbatasan, menaiki tubuh hewan itu untuk melakukan pengukuran.
Penyu tersebut memiliki panjang 1,6 meter dan lebar 1,11 meter.
Penyu leatherback adalah spesies penyu paling besar di dunia; hewan itu dapat hidup sampai usia 80 tahun dan mencapai panjang tubuh 2,4 meter. Namun, hewan tersebut sangat terancam.
Setelah mengukur penyu itu, Ikoun-Ngossa mengikatkan kawat di kaki belakangnya untuk melacak perkembangannya setelah hewan tersebut meninggalkan pantai Gabon, Afrika.
Penyu itu, yang kaku dan canggung di daratan, menghilang hanya dalam beberapa gerakan segera setelah hewan tersebut mencapai air, dan meninggalkan tanda bekasnya merayap di pasir seperti jejak ban kendaraan berhandel.
Selama musim bertelur selama dua bulan, yang dimulai pada Oktober, penyu itu merangkak ke darat pada malam hari, menggali lubang, bertelur di dalamnya dan menutupnya dengan pasir sebelum pergi lagi.
Seluruh proses tersebut memerlukan waktu kurang dari dua jam.
Penyu betina bertelur antara 50 dan 120, dan satu dari tiga telur itu "mandul" dan tak memiliki embrio di dalamnya, kata Ikoun-Ngossa, mantan nelayan yang sekarang bekerja untuk melindungi marga satwa di negerinya.
"Telur yang mandul adalah bagian dari sarang. Telur tersebut membantu mengatur aliran udara dan temperatur, dan tak diragukan, barangkali, alam menjadikan telur itu sebagai semacam umpan buat pemangsa," kata Ikoun-Ngossa sebagaimana dilaporkan kantor berita Prancis, AFP.
Pemangsa takkan pernah berkurang: kadal pemantau, kepiting, dan burung, yang semuanya bagian dari hukum alam, tapi juga manusia, yang kadangkala menemukan dan memakan telur itu, dan anjing --yang menggali lubang tempat penyu bertelur.
"Di antara ribuan telur, kami memperkirakan bahwa hanya satu yang akan sintas jadi penyu dewasa," kata Angela Formia dari Perhimpunan Pelestarian Margasatwa
Ikoun-Ngossa menetap di pantai Pongara dari Oktober sampai April guna berusaha meningkatkan peluang penyintasan telur tersebut.
"Jika penyu bertelur di bawah garis air, semua telurnya tak mempunyai peluang jadi kami mengambil semua telur itu dan menaruhnya di tempat khusus agak lebih naik ke pantai," katanya. "Bangsal pembiakan" sementara tersebut saat ini menampung lebih dari 300 telur.
Setelah dua atau tiga bulan, semua telur itu menetas dan bayi penyu tersebut, dengan panjang tubuh hanya beberapa centimeter, merayap ke arah laut, tempat banyak di antara anak penyu itu dimakan burung, ikan hiu, dan pemangsa lain.
"Saat ini terdapat sebanyak 40.000 penyu betina yang datang ke Gabon, dan ini adalah populasi penyu leatherback paling besar di dunia," kata Formia.
Penyu betina bertelur setiap dua atau tiga tahun, kata Ikoun-Ngossa, dan studi mengenai peralatan pelacak telah memperlihatkan satu penyu dapat mengeluarkan sampai tiga tumpuk telur dalam 10 hari sebelum kembali berenang ke laut.
Pengetahuan mengenai kehidupan penyu di luar masa bertelur terbatas.
"Data memperlihatkan hewan tersebut bergerak ke perairan dingin di tengah Atlantik dan ke selatan," kata Formia. "Sejumlah penyu telah tercatat di lepas pantai Brasil dan Argentina."
Penyu leatherback memainkan peran besar dalam kisah tradisonal rakyat Gabon. Menurut legenda, hewan itu mengalahkan macan tutul, ular, dan buaya melalui kecerdikan mereka.
Hari ini, banyak pengamat percaya penyu leatherback menghadapi kepunahan kecuali ada yang dilakukan untuk melestarikan kesejahteraan hewan itu.
Mereka mengatakan, ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu itu bukan bersumber dari pemangsa tapi dari polusi buatan manusia, terutama tas plastik, yang dikira penyu sebagai ubur-ubur --makanan utama mereka.
Sumber: ANTARA News (Minggu, 29 November 2009 11:22 WIB)
Hewan itu baru saja bertelur dan sedang berjuang dengan canggung kembali ke laut.
Namun buat penyu muda, hanya ada satu dari seribu yang memiliki peluang berhasil mencapai usia dewasa, gara-gara banyaknya ancaman mematikan, mulai tingkah manusia, pemangsa alamiah, polusi, dan kadangkala nasib buruk belaka.
Dengan bantuan cahaya --yang berwarna merah, agar tidak membuat silau atau terkejut penyu tersebut-- Ikoun-Ngossa dari "Aventures Sans Frontieres" atau kelompok Petualangan Tanpa Perbatasan, menaiki tubuh hewan itu untuk melakukan pengukuran.
Penyu tersebut memiliki panjang 1,6 meter dan lebar 1,11 meter.
Penyu leatherback adalah spesies penyu paling besar di dunia; hewan itu dapat hidup sampai usia 80 tahun dan mencapai panjang tubuh 2,4 meter. Namun, hewan tersebut sangat terancam.
Setelah mengukur penyu itu, Ikoun-Ngossa mengikatkan kawat di kaki belakangnya untuk melacak perkembangannya setelah hewan tersebut meninggalkan pantai Gabon, Afrika.
Penyu itu, yang kaku dan canggung di daratan, menghilang hanya dalam beberapa gerakan segera setelah hewan tersebut mencapai air, dan meninggalkan tanda bekasnya merayap di pasir seperti jejak ban kendaraan berhandel.
Selama musim bertelur selama dua bulan, yang dimulai pada Oktober, penyu itu merangkak ke darat pada malam hari, menggali lubang, bertelur di dalamnya dan menutupnya dengan pasir sebelum pergi lagi.
Seluruh proses tersebut memerlukan waktu kurang dari dua jam.
Penyu betina bertelur antara 50 dan 120, dan satu dari tiga telur itu "mandul" dan tak memiliki embrio di dalamnya, kata Ikoun-Ngossa, mantan nelayan yang sekarang bekerja untuk melindungi marga satwa di negerinya.
"Telur yang mandul adalah bagian dari sarang. Telur tersebut membantu mengatur aliran udara dan temperatur, dan tak diragukan, barangkali, alam menjadikan telur itu sebagai semacam umpan buat pemangsa," kata Ikoun-Ngossa sebagaimana dilaporkan kantor berita Prancis, AFP.
Pemangsa takkan pernah berkurang: kadal pemantau, kepiting, dan burung, yang semuanya bagian dari hukum alam, tapi juga manusia, yang kadangkala menemukan dan memakan telur itu, dan anjing --yang menggali lubang tempat penyu bertelur.
"Di antara ribuan telur, kami memperkirakan bahwa hanya satu yang akan sintas jadi penyu dewasa," kata Angela Formia dari Perhimpunan Pelestarian Margasatwa
Ikoun-Ngossa menetap di pantai Pongara dari Oktober sampai April guna berusaha meningkatkan peluang penyintasan telur tersebut.
"Jika penyu bertelur di bawah garis air, semua telurnya tak mempunyai peluang jadi kami mengambil semua telur itu dan menaruhnya di tempat khusus agak lebih naik ke pantai," katanya. "Bangsal pembiakan" sementara tersebut saat ini menampung lebih dari 300 telur.
Setelah dua atau tiga bulan, semua telur itu menetas dan bayi penyu tersebut, dengan panjang tubuh hanya beberapa centimeter, merayap ke arah laut, tempat banyak di antara anak penyu itu dimakan burung, ikan hiu, dan pemangsa lain.
"Saat ini terdapat sebanyak 40.000 penyu betina yang datang ke Gabon, dan ini adalah populasi penyu leatherback paling besar di dunia," kata Formia.
Penyu betina bertelur setiap dua atau tiga tahun, kata Ikoun-Ngossa, dan studi mengenai peralatan pelacak telah memperlihatkan satu penyu dapat mengeluarkan sampai tiga tumpuk telur dalam 10 hari sebelum kembali berenang ke laut.
Pengetahuan mengenai kehidupan penyu di luar masa bertelur terbatas.
"Data memperlihatkan hewan tersebut bergerak ke perairan dingin di tengah Atlantik dan ke selatan," kata Formia. "Sejumlah penyu telah tercatat di lepas pantai Brasil dan Argentina."
Penyu leatherback memainkan peran besar dalam kisah tradisonal rakyat Gabon. Menurut legenda, hewan itu mengalahkan macan tutul, ular, dan buaya melalui kecerdikan mereka.
Hari ini, banyak pengamat percaya penyu leatherback menghadapi kepunahan kecuali ada yang dilakukan untuk melestarikan kesejahteraan hewan itu.
Mereka mengatakan, ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu itu bukan bersumber dari pemangsa tapi dari polusi buatan manusia, terutama tas plastik, yang dikira penyu sebagai ubur-ubur --makanan utama mereka.
Sumber: ANTARA News (Minggu, 29 November 2009 11:22 WIB)