2009-12-20

Sawit Ancaman Utama Lahan Gambut Kalteng

Palangkaraya (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) menyatakan jutaan haktare lahan gambut di provinsi itu terancam musnah akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang terus meningkat.

"Dari 3,1 juta hektare kawasan gambut, lebih 35 persen di antaranya sudah rusak dan perlu direhabilitasi," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas dalam peringatan "Global day of action on climate" atau hari aksi global untuk isu perubahan iklim, di Palangkaraya, Sabtu.

Penyebab utama kerusakan kawasan gambut di Kalimantan Tengah, kata Arie, dipicu aktivitas pembukaan proyek eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare, serta pembukaan kawasan gambut untuk sawit dan hutan tanam industri (HTI).

Pembukaan gambut untuk sawit dan HTI menjadi ancamaan utama karena merupakan salah satu model ekonomi pertumbuhan mengingat dua sektor usaha itu memproduksi komoditas ekspor utama untuk memenuhi kebutuhan negara maju.

"Padahal akibat kerusakan gambut, Kalimantan Tengah juga menjadi penyumbang pelepasan emisi yang besar akibat kebakaran hutan dan gambut setiap tahun," kata Arie.

Dengan luasnya potensi lahan gambut serta ancaman yang ada, Arie menilai, Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki peran penting dalam mencapai solusi bagi masalah perubahan iklim dengan potensi hutan dan ekosistem gambut yang banyak menyimpan karbon.

Sementara itu, Koordinator "Save Our Borneo" Nordin mendesak pemerintah daerah setempat segera menutup pemberian izin pembukaan perkebunan kelapa sawit di wilayah itu untuk melindungi jutaan hektare areal hutan setempat dari kerusakan yang lebih parah.

"Kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini adalah pembukaan perkebunan sawit begitu banyak menghancurkan hutan tropis dan gambut di Kalteng sehingga harus segera distop sekarang juga," kata Nordin.

Nordin mengemukakan, dalam 10 tahun terakhir diperkirakan sebanyak 1,2 hingga 1,4 juta hektare hutan alam di Kalimantan Tengah dikonversi dalam berbagai kegiatan, terutama untuk perkebunan sawit.

Padahal hutan tropis dan gambut tersebut merupakan kawasan pencegah banjir utama, pengatur tata air, dan penyeimbang keberagaman ekosistem alam di wilayah setempat.

"Selain itu pembangunan perkebunan sawit yang membabat jutaan hektare areal hutan juga mengabaikan hak-hak masyarakat setempat yang sebenarnya memiliki hak ulayat atas tanah sehingga sering terjadi konflik," ujarnya.

Meski kran perizinan distop saat ini juga, ia memperkirakan, dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun untuk memulihkan kondisi hutan di Kalteng agar berfungsi sebagaimana mestinya.

Karena itu, bila kebijakan menutup kran perizinan perkebunan sawit diberlakukan, pemerintah juga harus menindaklanjutinya dengan langkah peningkatan rehabilitasi hutan dari kemampuan saat ini yang hanya 50 ribu hektare per tahun.

Nordin menyesalkan kebijakan pemerintah daerah setempat yang selama ini lebih memberikan izin pembukaan perkebunan sawit di wilayah hutan atau yang masih berhutan daripada ke lahan kritis yang ada.

"Bagi pengusaha memang lebih suka membuka lahan sawit di areal hutan karena akan lebih menguntungkan dengan memanfaatkan kayu hasil land clearing untuk jalan, perumahan karyawan, jembatan, dan patok batas tanpa keluar biaya," ujarnya.


Sumber: ANTARA News (Sabtu, 12 Desember 2009 19:27 WIB)
Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org