Foto/Ist
Beberapa aktivis Greenpeace membentangkan spanduk dengan tulisan “Quit Coal” di lobi Padma Hotel di
Beberapa aktivis Greenpeace membentangkan spanduk dengan tulisan “Quit Coal” di lobi Padma Hotel di
BALI, TRIBUN - Greenpeace hari ini menghimbau kepada negara-negara ASEAN untuk segera mengurangi pembangkit tenaga listrik batubara dan berinvestasi pada energi terbarukan untuk menghindari malapetaka iklim, di akhir pertemuan ASEAN Forum On Coal (AFOC) ke tujuh di Bali. Beberapa aktivis Greenpeace membentangkan spanduk dengan tulisan “Quit Coal” di lobi Padma Hotel di Legian selama acara penutupan.
“ASEAN terus tergantung pada batubara yang membawa kawasan menuju percepatan perubahan iklim dengan dampak seperti kekeringan, banjir dan kelaparan akibat berkurangnya hasil pertanian yang mengancam kehidupan ratusan juta orang. Daripada pertemuan itu membicarakan perluasan penggunaan batubara, ASEAN seharusnya menyepakati rencana untuk keluar dari pemanfaatan batubara dan beralih pada ekonomi yang rendah karbon,” kata Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara dalam rilis yang diterima Tribun, Kamis (25/6).
Laporan terbaru dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan program lingkungan untuk Asia Tenggara (EEPSEA) mengidentifikasi bahwa Asia Tenggara adalah satu di antara kawasan yang paling rentan terhadap perubahan iklim. ADB memperkirakan setidaknya kawasan ini akan kehilangan enam atau tujuh persen pendapatan tahunan atas dampak perubahan iklim di akhir abad ini jika tidak ada tindakan untuk mengatasi perubahan iklim. Di samping biaya ekonomi dan iklim dari batubara, Indonesia baru saja memperingatkan adanya biaya kemanusiaan dari bencana di Sawahlunto, Sumatera Barat yang menelan nyawa 31 petambang.
Jika dihitung, emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar fosil ini bisa lebih dari setengah dari seluruh emisi gas rumah kaca Indonesia sekarang dan akan terus meningkat di tahun 2050 jika tidak ada tindakan yang diambil. Negara-negara ASEAN perlu untuk memikirkan kembali strategi mereka untuk memilih cara penggunaan, memproduksi, menyimpan dan mendistribusikan energi yang secara pasti akan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Negara-negara anggota ASEAN memiliki banyak sumberdaya energi terbaharui dan harus segera mengembangkannya. Sebagai contoh, Indonesia memiliki cadangan energi geothermal terbesar di dunia dan bisa menyediakan 9,5 gigawatt energi hingga tahun 2025. Namun saat ini kurang dari lima persen sumber panas bumi bangsa ini digunakan. Greenpeace mendesak pemerintah Indonesia dan ASEAN untuk meningkatkan sasaran pada energi terperbaharui, terutama panas bumi, angin, tenaga surya dan micro-hydro serta mengembangkan produk hukum dan peraturan yang selama ini jadi hambatan terbesar dalam investasi di bidang energi terperbaharui.
Pemerintah Filipina telah membuat undang-undang energi terperbaharui di akhir tahun 2008, yang membawa negara itu pada energi bersih di masa mendatang yang akan membawa keuntungan ekonomi selama negara memotong emisi karbonnya.
“Satu-satunya solusi yang akan menjauhkan kita dari malapetaka iklim dan memberikan kita masa depan hanyalah dengan pemanfaatan yang lebih besar pada energi diperbaharui, mengurangi bertahap penggunaan batubara dan berhenti merencanakan nuklir, digabungkan dengan pelaksanaan program-program efisiensi energi dalam skala besar. Negara-negara ASEAN perlu menunjukkan bahwa kawasan ini serius menangani perubahan iklim, saatnya mengkritisi pembicaraan iklim di Copenhagen, Desember tahun ini,” ujar Fiyanto mengakhiri. (rls)
Sumber: Tribun pekanbaru (Kamis, 25 Juni 2009 12:01 WIB)