2009-06-10

Fenomena Semenanjung Kampar di Kabupaten Pelalawan

Teluk Meranti Tertatih Meniti Jalan Tua

POTRET MASYARAKAT: Inilah potret kehidupan masyarakat di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan. (ISTIMEWA)

Laporan Fedli Aziz, Pelalawan
Wilayah Semenanjung Kampar adalah kawasan hutan rawa gambut terbuka dan terdalam di dunia. Memiliki luas 700 ribu hektare, 400 ribu hektare masih perawan, sedangkan 300 ribu hektare lainnya dalam masalah besar dan rusak parah. Teluk Meranti, adalah salah satu bagian dari kawasan itu yang kini rusak karena kanalisasi dan perlu diselamatkan.

HUJAN deras baru saja usai, Selasa (26/5) sekitar pukul 15.30 WIB itu di atas langit Kampung Meranti, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan mulai berpijar. Cuaca cukup bersahabat dan memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan menuju Sungai Serkap. Salah satu anak Sungai Kampar yang terletak di seberang Kampung Meranti, dua jam sebelum Kuala Kampar.

Riau Pos bersama warga yang menemani naik ke speedboat untuk meninggalkan pelabuhan kampung. Perjalanan segera dilanjutkan agar tidak kemalaman setibanya di lokasi yang ingin dituju. Pasalnya, untuk sampai ke tujuan yakni Danau Cik Lanang bisa menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam.

Ditambah lagi, untuk menempuhnya bukanlah perkara mudah. Luasnya sungai dan terpaan angin kencang kerap mengancam. Gelombang yang diciptakannya tidak hanya datang dari satu arah, melainkan dari berbagai sisi sehingga berkali-kali speedboat berukuran kecil yang ditumpangi mengalami kesulitan. Sampah-sampah seperti kayu dan kiambang bisa terlalu membahayakan keselamatan jika tidak berhati-hati.

Di tengah perjalanan, di sungai yang nyaris seluas selat itu, Ramodin bercerita tentang kondisi Sungai Kampar. “Bono (sejenis gelombang besar orang menyebutnya dengan istilah tsunami kecil) dah lewat siang tadi. Mingkak telambat sampai sini jadi tak dapatlah nengoknyo,” katanya dengan bahasa Melayu Pelalawan yang kental tanpa memalingkan muka.

Dari kampung Teluk Meranti menuju Sungai Serkap, lebih dulu menyeberanginya. Setelah menyusuri beberapa kilometer di bagian tepi seberang sungai, speed leluasa melaju sebab di sana gelombang lebih kecil sehingga memudahkan untuk ditempuh. Kurang lebih 50 meter dari pangkal Sungai Serkap, rasa kecut agak berkurang. Sebab kata Ramodin, di anak sungai itu sudah tidak ada lagi gelombang, hanya melawan arus deras karena air sedang surut.

Ucapan Ramodin benar adanya. Saat speed belok ke kiri, memasuki Sungai Serkap suasana berubah dan langsung menawarkan pemandangan yang syarat dengan keindahan. Luas sungai itu hanya berkisar 10 sampai 15 meter. Lebih menyenangkan dan memanjakan mata, kiri kanan sungai diapit hutan yang masih asri. Airnyapun berbeda, jika Sungai Kampar berwarna kecoklat-coklatan bercampur pasir halus, maka air Sungai Serkap berwarna kehitam-hitaman dan bersih.
Menurut Ramodin, di sepanjang Sungai Serkap terdapat kurang lebih 25 kanal yang dulunya dimanfaatkan pekerja kayu sebagai jalan untuk menghanyutkan kayu hasil tebangan ke sungai. Namun sejak pekerjaan itu diberantas negara secara kolosal, maka kanal-kanal itu ditinggalkan begitu saja. Itulah tujuan utama Riau Pos yang ikut serta dalam perjalanan Media Trip Greenpeace. Melihat kanal dan akibat buruknya serta melihat usaha masyarakat Teluk Meranti untuk bangkit dari kemiskinan yang cukup lama menghantui.

“Sejak kerje kayu dilarang pemerintah, sungai ini hanya dimanfaatkan nelayan untuk mencari ikan. Itupun dah mulai sulit mendapatkannya. Maklumlah, kanal-kanal itu mengeluarkan kadar asam yang tinggi sehingga ikan-ikan lari, bahkan mati,” jelasnya sembari mengemudikan speedboat dengan lincah mengikuti liku-liku sungai yang berbelok-belok.

Di sela-sela perjalanan, perhatian semua awak speedboat yang berjumlah lima orang tertuju pada kemolekan kawasan hutan rawa gambut yang masih asri, jauh dari kerusakan. Walaupun sebenarnya, kawasan itu merupakan salah satu bekas lokasi praktik illegal logging berkisar 1990-an hingga 2005. Pernah mengalami kehancuran dan porak-poranda oleh kerasnya praktik illegal logging.

Sesekali waktu, baik di kiri maupun kanan sungai terlihat kanal-kanal yang masih terbuka langsung ke sungai. Pengedaman kanal yang dilakukan warga kampung, belum sampai ke kanal-kanal itu sebab mereka memulainya dari hilir yakni Tasik Besar, muara sungai tersebut. Hingga saat ini, baru 14 kanal yang sudah didam dan berarti masih ada 11 kanal lagi yang terbuka langsung ke Sungai Serkap. Kanal yang terbuka, berakibat buruk bagi nasib nelayan sebab jika air pasang, memaksa ikan masuk ke dalamnya dan terjebak di sana karena saat air surut sampah-sampah terbawa ke kanal dan hanyut ke sungai. Kejadian semacam itu membuat ikan terjebak di dalam kanal yang mengandung kadar asam tersebut.

Salah seorang tokoh masyarakat Kampung Meranti M Yusuf yang ikhlas ikut bersama menambahkan, para nelayan mengeluhkan hasil tangkapan sejak kanal dibuka. Padahal dulunya, di sungai ini ikan melimpah. Ikan-ikan yang didapatkannya banyak jenis seperti kalabau, toman, sepat, selais, tapa, baung, bujuk, elang, bader, mengkaik, limbat, gouk, tilan, ilu-ilu, belido, selinca, batung, sepotong, tempalo, juaro rimbo, pimping, dan lain-lain. Begitu juga dengan udang galah. Tapi sejak kanal-kanal itu dibuat dan praktik illegal logging sangat marak, populasi ikan mulai berkurang sehingga untuk mendapatkan ikan baung, selais ataupun tapa, bahkan keloso (kayangan) dalam jumlah yang besar jarang sekali terjadi.

Karenanya, sebelum semuanya punah-ranah maka seluruh masyarakat kampung hingga pemerintah desa setuju untuk melakukan blocking kanal. Kanal yang sudah didam dimanfaatkan dengan menebar benih ikan lokal. Hasilnya tentu bisa dijual para nelayan yang mengandalkan sungai ini sebagai mata pencahariannya.
“Dulu, 90 persen masyarakat kami bekerja balak (kayu) di hutan ini. Tapi setelah diberantas, kami jatuh miskin dan harus mencari solusi mengatasinya. Kesadaran bersama secamam inilah yang memotivasi kami untuk membenahi diri, selain juga dorongan dari beberapa kawan-kawan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Greenpeace, terutama Yayasan Mitra Insani (YMI),” ulas orang tua itu diplomatis.

Dalam keasyikan bercerita dan menikmati suasana alam di sepanjang Sungai Serkap, tidak terasa jarum jam sudah menunjuk angka enam. Artinya, sudah pukul 18.00 WIB dan pijar cahaya mulai redup, pertanda tak lama lagi azan magrib mulai berkumandang dan malam menjemput. Ramodin masih mengendalikan kendali speedboat. Ramodin menunjuk bagan (rumah apung nelayan untuk tempat persinggahan saat menangkap ikan) yang tak jauh dari speedboat. Di tempat itulah rombongan tidur malam itu.

Blocking Kanal
Rabu (27/5), sekitar pukul 07.00 WIB, speedboat diarahkan ke lokasi pengedaman kanal. Letaknya tidak terlalu jauh dari bagan itu. Hanya perlu waktu 25 menit. Di perjalanan saat menyusuri kanal, sebatang kayu tumbang menghalangi. Mau tidak mau, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Ramodin, Entat, M Yusuf, Juki dan Yono mulai merintis jalan setapak di tepi kanal, 100 meter dari lokasi pengedaman.

“Kanal ini harus kami dam agar bisa dijadikan kolam untuk pengembangbiakan ikan. Soalnya, di kampung, di tepi Sungai Kampar tidak bisa membudidayakan ikan dengan cara membuat kerambah. Masalahnya bono,” kata Yusuf singkat.

Kanal-kanal yang ada di sepanjang sungai itu seluas tiga meter dan panjangnya mencapai lima kilo meter hingga menusuk jantung hutan rawa gambut. “Kanal satu ini cukup panjang dan jauh ke dalam,” selah Juki sambil membersihkannya dari sampah-sampah yang tersangkut.

Selama satu jam di kanal itu, setelah semua perlengkapan masuk ke speedboat, perjalanan menuju pulang ke Kampung Teluk Meranti dilanjutkan. Sayangnya, perjalanan pulang tidak semulus kemarin. Mesin speedboat mendadak macet dan terpaksa berhanyut-hanyut mengikuti arus ke Sungai Kampar. Entat dan Ramodin sibuk memperbaiki mesin dan mencobanya berkali-kali. Karena tak kunjung baik mesinnya, akhirnya diputuskan untuk menepi dan singgah di Bagan Bongku milik nelayan bernama Amir.

Seluruh awak yang ada di speedboat naik ke bagan itu dan meminta izin untuk melihat cara menyalai ikan yang saat itu memang sedang dikerjakan Amir dan istrinya. Menurut Amir, sekarang ikan sulit didapat. Untuk mendapatkan 10 Kg ikan yang sudah disalai bisa menghabiskan waktu satu bulan dengan menggunakan alat tangkap seadanya seperti pengilar, jaring, pancing dan lainnya. Ikan-ikan yang tertangkappun hanya jenis selais dan baung.

Diterangkan Amir, sulitnya mendapat ikan karena kanal masih terbuka langsung ke sungai. Ikan-ikan lari entah ke mana. Air di kanal itu payau dan ikan enggan di sana. Karena kanal terlalu banyak, mencemarkan air Sungai Serkap. Karenanya, Amir sangat setuju kalau kanal ditutup saja. “Saye setuju kanal ditutup dan kami bisa membudidayakan ikan dengan baik,” tambahnya.

Diambang Kepunahan
Kampung Teluk Meranti, Teluk Binjai, Pulau Muda dan Segamai yang berada dalam wilayah Kecamatan Teluk Meranti hanyalah empat kampung di kawasan Semenanjung Kampar. Di empat kampung tepi Sungai Kampar itu, terdapat pula empat anak sungai yang masih asri setelah lepas dari bencana illegal logging. Salah satunya Sungai Serkap.

Wilayah Semenanjung Kampar adalah kawasan hutan rawa gambut terbuka dan terdalam di dunia. Kawasan itu milik dua kabupaten yakni Pelalawan dan Siak. Luas hutan rawa gambutnya mencapai 700 ribu hektare dan 400 ribu hektare masih perawan. Sedangkan 300 ribu hektare lainnya, dalam masalah besar dan rusak parah. Akibatnya, potensi-potensi yang ada di kurang lebih 24 kampung yang punya akses langsung dengan hutan itu merasakan akibatnya.

Di hamparan lahan rawa gambut itu terdapat 24 HTI, lima HPH dan 12 perusahaan perkebunan sawit. Hanya saja, 400 ribu hektare dari luas 700 ribu hektare lahan rawa gambut itu diklaim sebagai lahan mereka, dibuktikan dengan izin yang dikeluarkan pemerintah pusat. Di kawasan ini banyak sekali kanal-kanal yang menjadi penyebab matinya rawa gambut dan hancurnya populasi ikan dan potensi hutan lainnya. Kampung Teluk Meranti merupakan kampung dengan jumlah kanal terbanyak di kawasan Semenanjung Kampar, di luar areal perusahaan.

“Semenanjung Kampar harus segera diselamatkan dari kepunahan. Kita bisa lihat langsung akibat dari penggundulan hutan serta pembuatan kanal-kanal, salah satunya Kampung Teluk Meranti dengan penduduk yang tergolong miskin,” ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Zulfahmi.

Dijelaskannya, isu rawa gambut Semenanjung Kampar sudah menjadi isu dunia dan isu tersebut perlu terus digemakan kepermukaan. Paling tidak, pemerintah pusat, terutama pemerintah daerah secara sadar mau melakukan penyelamatan. Jika tidak dimulai dari sekarang, maka tidak tertutup kemungkinan kawasan ini akan porak-poranda dan masyarakat yang memiliki akses langsung di sana mengalami kemiskinan yang memprihatinkan.

“Jangan sampai konsesi diberikan kepada perusahaan-perusahaan raksasa itu, sebab itulah yang nantinya menghancurkan kawasan ini. Hutan rawa gambut yang terus dibuka akan membuat Semenanjung Kampar menjadi penyumbang terbesar pemanasan global, terutama lewat pembukaan kanal-kanal,” tegasnya.

Sebuah Kesadaran
Ketua LSM Yayasan Mitra Insani (YMI) M Zainuri Hasyim yang juga ikut menemani rombongan ke Sungai Serkap selalu mengingatkan kepada masyarakat kampung, “tidak ada kata terlambat untuk melahirkan kesadara.” Karena itu, dia dan rekannya Dodi yang berada di empat kampung itu selama dua tahun belakangan tak henti-hentinya melakukan pembinaan, terutama memperbaiki perekonomian masyarakat.

Sebagai organisasi yang peduli pada masyarakat, YMI mulai terjun ke Kampung Teluk Meranti, Teluk Binjai, Pulau Muda dan Segamai sejak illegal logging dihentikan. Karena dimasa illegal logging, 90 persen masyarakat di sana bekerja balak (sebutan orang kampung). Kampung yang dulu dikenal dengan nama Hujan Duit itu, berubah drastis menjadi miskin. Padahal, masyarakat memiliki lahan luas untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Sayang, mereka sudah dibutakan sekian tahun oleh uang kayu yang berlimpah-limpah.

“Semuanya sudah menjadi kenangan manis dan kami menganjurkan agar masyarakat tidak larut dalam masa lalunya. Kita hanya bisa mendorong agar mereka mau berubah dan membenahi diri dengan memanfaatkan apa yang ada,” ulas Zen, sapaan akrab Zainuri.

Buktinya, sekarang masyarakat sudah mulai bertani, berkebun dan menyadari perlunya membudikan ikan untuk kelangsungan hidup, terutama untuk diwariskan ke anak cucu. YMI juga memberikan bantuan dana tanpa anggunan kepada masyarakat yang mau berusaha untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Hanya saja, mereka masih mengalami kendala yakni sulitnya memasarkan hasil pertanian seperti padi, jagung dan sayur-mayur.

“Kesadaran masyarakat sudah lahir dan ini merupakan modal kuat untuk mereka bisa bangkit dari kemiskinan. Kita juga berharap, kampung ini menjadi percontohan bagi kampung-kampung lainnya yang juga mengalami nasib serupa. Tidak hanya untuk kampung-kampung di Semenanjung Kampar, tapi untuk seluruh kawasan di Riau,” ujar Zen mengakhiri.(ndi)


Sumber: Harian Pagi Riau Pos
(Minggu, 07 Juni 2009 , 09:23:00)

Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org