2009-06-07

Tebang Pohon Denda Jutaan Rupiah coy

Warga Riau Raih Kalpataru
• Selamatkan 1.000 Hektare Hutan Alam

PEKANBARU, TRIBUN - Ninik Mamak, warga Negeri Enam Tanjung, Kampar, Riau, Jumat (5/6) di Jakarta, menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ninik meraih Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan.
Ia dianggap berjasa karena telah menjaga dan menyelamatkan 1.000 hektare di Desa Buluh Cina, Siak. Belasan tahun Ninik bersama warga Buluh Cina menerapkan aturan adat yang menindak tegas terhadap perusak hutan.

"Masyarakat menciptakan 10 larangan di kawasan desa mereka. Di antaranya larangan menebang sebatang pohon pun di dalam kawasan hutan adat, serta larangan menangkap ikan dengan menggunakan putas, dinamit dan sejenisnya," kata Imam Soli Datuk Bagindak, tokoh masyarakat Buluh Cina, kepada Tribun ketika mengunjungi hutan alam itu, kemarin.

Sanksi tegas diterapkan untuk larangan itu. "Pernah ada yang melanggar, akhirnya dikenakan denda jutaan rupiah. Ada juga yang dihukum dengan kesepakatan masyarakat. Misalnya dengan bekerja mengangkat pasir untuk pembangunan balai desa. Namun bagi warga luar, ada juga yang diusir dari desa," jelas H Imam Soli Dt Bagindak (lihat, Orang Jerman pun Kagum).


Kontras

Perjuangan Ninik Mamat dan warga Buluh Cina untuk menjaga hutan alam mereka terasa sangat kontras dengan fakta yang terjadi di Riau.

Sudah puluhan tahun hutan di Riau dieksploitasi besar-besaran oleh sejumlah perusahaan besar.

Perusahaan-perusahaan sampai sekarang tak berhenti mengeruk dan merusak hutan. Ada yang membuka hutan untuk menanam kelapa sawit, ada juga yang memang menebang pohon untuk bahan baku industri.


Lembaga swadaya masyarakat khusus lingkungan, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), melansir data sebanyak 72,83 persen hutan Riau hilang sejak 1982. Pada tahun 1982, hutan di Riau masih seluas 6.415.655 hektare atau 78 persen wilayah Riau masih hutan. Namun tahun 2008, tinggal 1.743.173 hektare atau 27 persen wilayah Riau.


Dampak dari tergerusnya hutan ini sudah lama dirasakan warga Riau. Sejumlah binatang liar seperti harimau dan gajah yang kehilangan habitat aslinya sudah memasuki permukiman dan memangsa manusia. Belum lagi bencana alam seperti banjir, kekeringan, atau kebakaran hutan yang disebabkan oleh rusaknya hutan.


Dipicu Hutan Gundul

Saat ini, Riau pada umumnya dan Pekanbaru khususnya dilanda suhu panas yang sangat menyengat. Menurut Balai Meteorologi dan Geofisikan (BMG) Pekanbaru, suhu di Riau mengalami kenaikan yang tertinggi di dunia, yaitu mencapai dua derajat Celsius dalam 30 tahun terakhir.


Menurut Slamet, Staf Analisa Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) Pekanbaru, ini merupakan kenaikan suhu tertinggi yang pernah terjadi. Bahkan lebih tinggi dari rata-rata kenaikan suhu bumi yang hanya sekitar 0,76 derajat Celsius sejak 100 tahun terakhir.


"Kenaikan normal suhu di bumi itu hanya 0,6 derajat Celsius per 100 tahun. Sedangkan menurut data kita, Riau sudah mencapai kenaikan hingga dua derajat Celcius hanya dalam 30 tahun terakhir, ini memang kenaikan yang sangat tinggi," ujar Slamet, kepada Tribun, kemarin.


Pada bulan Mei lalu, suhu udara mencapai 35,9 derajat Celsius yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Riau. Saat ini rata-rata suhu di Riau berkisar antara 32 - 33 derjat Celsius, suatu keadaan suhu yang tergolong panas dan kering. Dalam waktu tertentu, suhu di Riau bisa naik hingga 34-36 derjat celcius, seperti yang terjadi bebrapa hari yang lalu, ketika ada gangguan cuaca di Vietnam yang berimbas juga ke Riau berupa banyaknya angin kering yang melewati Riau.


"Ini biasa kita sebut dengan anomali atau penyimpangan cuaca dan dalam prediksi kita, masih akan terjadi dalam bebrapa hari ke depan. Apalagi saat ini terjadi vortex atau pusaran di Samudra Hindia, serta perbatasan Bengkulu dan Sumbar, sehingga Riau yang berada di daerah datran rendah cukup merasakan dampaknya," kata Slamet.


Terkait kenaikan suhu yang tinggi di Riau dalam 30 tahun belakangan ini menurut Slamet, erat hubungannya dengan semakin besarnya efek rumah kaca di Riau, akibat dari pembakaran hutan dan lahan dan berakibat gundulnya hutan. Fungsi utama hutan sebagai penampung air dan penahan panas matahari langsung drastis berkurang.


Hal itu diperparah lagi dengan banyaknya tanaman monokultur seperti kelapa sawit dan karet.


Tanaman monokultur dikenal sebagai tanaman penghisap air yang jika dalam jumlah banyak, bisa mengakibatkan tanah di sekitar tanaman itu berada berkurang kelembabannya bahkan menjadi kering. "Makanya satu-satunya solusi hal ini adalah penghijauan kembali, tidak ada jalan lain," ujar Slamet.


Tetap Dirusak

Sayangnya, kenyataan ini tak mengubah apapun di pemerintahan. Tahun ini saja, ada 28 perusahaan kehutanan yang siap membabat 50 ribu hektare lebih hutan alami Riau untuk perkebunan.


Pembabatan yang tertuang dalam rencana kerja tahunan (RKT) ini sudah disetujui menteri kehutanan untuk delapan perusahaan. Jumlah itu dipastikan akan bertambah besar jika 20 RKT yang diajukan perusahaan lain juga disetujui menhut. Forest Campaign Researcher Greeanpeace Sout East Asia-Indonesia, Zulfahmi, beberapa waktu lalu, mengungkapkan hal itu saat diwawancarai, kemarin.


"Lebih dari 50 ribu hutan alam akan dikonversi dari delapan RKT yang sudah ada ini. Jumlah itu akan ada tambahan luasan konversi karena total ada 20 RKT yang diajukan," ujar Zulfahmi yang juga mantan Koordinator Jikalahari.Konversi yang dilakukan dari keluarnya RKT itu, lanjut Zulfahmi, akan mengakibatkan bertambahnya kerusakan hutan di Riau.


Keluarnya persetujuan RKT dari pemerintah itu, menurut Zulfahmi, mencerminkan betapa tidak konsistennya pemerintahan untuk mengurangi emisi karbon. Hal yang lebih mengkhawatirkan menurut Zulfahmi, setelah mencocokan data nama perusahaan dengan jenis lahan di Riau berdasarkan data yang dimiliki Greenpeace, sebagian besar areal dari delapan RKT yang baru saja disahkan menhut itu, berada di lahan gambut di Riau.


"Karbon yang dilepaskan jika lahan gambut dikonversi justru akan lebih besar dibandingkan dengan lahan jenis lainnya," ujar Zulfahmi. Berbagai dampak lain akan mengikuti jika emisi karbon semakin tinggi di Riau. "Mulai dari peningkatan suhu udara, musnahnya keanekaragaman hayati yang rentan terhadap perubahan suhu, banjir, kebakaran hutan, puting beliung, kekeringan, hingga dampak ekonomis jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat Riau," kata Zulfahmi.(doa/ans/hnk)


Sumber: Tribun Pekanbaru
(Sabtu, 6 Juni 2009 | 01:26 WIB)
Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org