2009-05-26

Menelisik Kondisi Taman Hutan Rakyat Sultan Syarif Hasyim

Laporan: AZNIL FAJRI, Minas

AKHIR-akhir ini Indonesia cukup pusing dalam mengelola kawasan hutan yang dilindungi yang terus dirambah oleh masyarakat. Apalagi di Riau, beberapa kawasan konservasi, hutan lindung, suaka margasatwa, taman nasional, dan taman hutan raya kini mengalami deforestasi, alih fungsi lahan yang sangat mengkhawatirkan semua pihak. Sempena menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2009, kita bertanya, mana realisasi penerapan program desa konservasi di Riau?

Sejak 2008 lalu, pemerintah RI melalui Departemen Kehutanan, Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam telah mensosialisasikan dan menggalakkan model baru program menyelamatkan kawasan hutan konservasi, hutan lindung, kawasan suaka margasatwa, taman nasional dan lain-lain dari kehancurannya, yaitu dikenal dengan konsep Desa Konservasi.

Program desa konservasi diluncurkan oleh pemerintah bertujuan untuk melestarikan kekayaan hayati dan ekosistem di sekitar hutan agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi makhluk hidup, keseimbangan ekosistem, terjaganya rantai kehidupan dan rantai makanan. Di sini pemerintah melalui Departemen Kehutanan RI cq Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan RI membina langsung masyarakat tempatan di sekitar hutan konservasi yang dilindungi negara. Konkretnya, pemerintah mengucurkan dana dan tenaga pembinaan, tenaga penyuluh lapangan agar masyarakat tak lagi merusak lingkungan tetapi menjaga kelestarian hutan yang dilindungi tersebut.

Hal ini misalnya memberikan bantuan bibit pohon kehutanan seperti pohon meranti, karet, rotan batu, dan lain-lain. Kemudian bantuan bibit pohon kehidupan seperti manggis, cempedak hutan, duku, sawo, durian, rambutan, mangga, kuini, dan lain-lain. Bantuan tanaman palawija seperti jagung, ketela pohon (ubi), dan lain-lain yang tujuan akhirnya masyarakat di luar Tahura tersebut bisa mandiri dan tak lagi merusak Tahura, tetapi menjaga dan membentengi Tahura dari praktik illegal logging, petani berpindah-pindah.


Program ini sudah dilaksanakan di Jawa, tapi di Sumatera khususnya di Provinsi Riau kurang terdengar gaungnya. Ini kemungkinan besar terjadi karena sosialisasi program Desa Konservasi ke tengah-tengah masyarakat di sekitar kawasan hutan yang dilindungi tersebut masih sangat kurang. Apa itu desa konservasi yang pernah dibuat pamerannya di teras depan Gedung Manggala Wanabakti Departemen Kehutanan RI di Jakarta 2008 lalu, banyak masyarakat yang tak mengetahui dan tak mengerti karena kurang dipublikasikan.


Desa Konservasi adalah desa yang semua sendi kehidupannya selaras dengan alam. Desa yang memberikan kesempatan kepada masyarakat di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam kegiatan perlindungan lingkungan hidup dan ikut mengelola kawasan tersebut. Desa konservasi adalah desa sejahtera peduli lingkungan.


Pengelolaan SDA

Melihat berbagai kasus penyerobotan kawasan hutan di Riau seperti kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim (SSH) di Minas dan Tapung Kampar, Hutan Lindung Mahato di Rokan Hulu, Hutan Lindung Bukit Betabuh di Kuantan Singingi, Hutan Lindung Bukit Suligi di Kampar dan Rohul, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling di Kamparkiri Kampar, maka penerapan konsep desa konservasi ini adalah salah satu solusi terbaik saat ini. Artinya masyarakat di sekitar hutan itu dilibatkan dalam menjaga keselamatan hutan dan lingkungan. Tentu saja dalam rencana kegiatan pengelolaannya, yang akan dikelola adalah sumber daya alam (SDA), meliputi pelestarian plasma nutfah, penelitian dan pendidikan, pembinaan cinta alam, rekreasi dan pariwisata, perencanaan kawasan, pembangunan sarana dan prasarana. Di sini sudah mencakup penataan batas, pembagian blok, di mana pembagian blok ini ada lagi blok perlindungan, blok pemanfaatan, blok pembinaan dan rehabilitasi.


Khusus di Tahura Sultan Syarif Hasyim hal yang sangat vital adalah mendudukkan masalah tata batas. Sebab kini ada dua versi peta Tahura yang jadi perdebatan hangat masyarakat di sekitar Tahura dan pihak Dishut Riau. Satu pihak ada yang berpegang pada peta rupa bumi, di lain pihak adapula yang menggunakan peta yang disahkan Menteri Kehutanan RI. Kalau diikuti peta rupa bumi, maka banyak kawasan kebun sawit masyarakat di Tapung Kampar yang masuk Tahura. Tapi kalau diterapkan peta Menhut RI maka kawasan Rindu Sepadan masuk Tahura, termasuk peternakan ikan arwana, dan kebun sawit milik mantan pejabat. Sekarang kasus dua versi peta ini tak selesai-selesai dan menjadi benang kusut. Oleh Dishut Riau pada 2010 akan memagar Tahura dengan dana APBD sebesar Rp52 miliar. Rencana ini banyak ditentang karena masalah dualisme tapal batas dua versi peta tadi belum duduk.


Benang kusut di lapangan ditengarai berusaha disembunyikan pihak-pihak tertentu agar tak diketahui masyarakat luas. Setelah masalah ini, ada lagi hal yang vital untuk diselamatkan, yaitu masalah rehabilitasi Tahura yang sudah gundul akibat aksi illegal logging, dan keringnya aliran sungai di sekitar Tahura. Sabtu lalu, 16 Mei 2009 saat penulis mengadakan penelitian dan investigasi ke kawasan Tahura SSH tepatnya di Desa Kota Garo Kecamatan Tapunghilir, Kampar kondisi kawasan Tahura sangat parah. Sejumlah kawasan hutan di dalam Tahura dan hutan penyangganya (buffer zone) mengalami deforestasi. Sementara sejumlah aliran anak sungai mulai mengering akibat tegakan kayu hutan alam di pinggir anak sungai ini digunduli dan tak dipertahankan. Ini bisa dilihat pada aliran anak Sungai Selembakan di Dusun IV Flamboyan Desa Kota Garo Kecamatan Tapunghilir, Kabupaten Kampar.


Padahal menurut ketentuannya seharusnya 50 meter kiri-kanan anak sungai itu hutan alamnya tak boleh digunduli dan harus dipertahankan. Tapi kenyataan di lapangan sebaliknya, hutan alamnya sudah digunduli. Kayu alamnya sudah dikuras. Oleh masyarakat tempatan disebutlah beberapa oknum masyarakat dan pengusaha, serta oknum kehutanan bermain kayu di sini dulunya.


Kemudian Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas yang luasnya 37,5 hektare kini luasnya tinggal sekitar 17,5 hektare akibat terjadinya deforestasi dan alih fungsi lahan. Lebih parah lagi kawasan Tahura SSH yang luasnya 6.172 hektare kini yang berhutan hanya tinggal setengahnya karena sekitar 3.000 hektare sudah ditanami sawit oleh warga dan pengusaha, terutama kawasan yang masuk wilayah Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, sementara Tahura yang masuk wilayah Minas Siak kondisi hutannya cukup terjaga, kendati beberapa aliran anak sungai kini debit airnya mulai mengecil akibat punahnya hutan alam.


Menurut salah seorang tokoh masyarakat Desa Kota Garo Kecamatan Tapunghilir Kampar, Zulkifli BS alias Pak Ujang yang asli penduduk Sakai ini kepada Riau Pos baru-baru ini, pihaknya bersedia dibina melalui program desa konservasi tersebut oleh Departemen Kehutanan RI. Program ini katanya sangat baik karena mengakrabkan manusia dengan lingkungan, menyelamatkan manusia dan hutan di sekitarnya. Namun sampai sekarang kata Zulkifli BS program yang baik ini belum menyentuh masyarakat di sini. Apalagi pihak perusahaan HTI di sekitar Tahura ini sudah pernah diajaknya dalam memberdayakan masyarakat tempatan, namun sampai sekarang perusahaan tersebut kata Pak Ujang belum menanggapinya. Maka oleh sebagian aparat dan perusahaan, masyarakat di sekitar Tahura SSH ini disorot sebagai komunitas perambah hutan, tukang maling kayu.


Menurut Zulkifli BS, Departemen Kehutanan RI membiarkan nasib masyarakat di sekitar Tahura SSH menjadi tak pasti dan banyak masyarakat yang luntang-lantung di sekitar Tahura. Kondisi ini sangat rawan dan bila ada godaan dan peluang dari pemodal kuat, maka akan terjadi tawar menawar jual-beli lahan di sekitar Tahura SSH ini. Sengketa dan saling serobot lahan di Tahura ini menurut Zulkifli BS sangat tinggi bahkan sampai diproses pihak kepolisian. Semrawutnya kawasan di sekitar Tahura SSH termasuk kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Minas yang kini telah berubah jadi hamparan kebun sawit perusahaan bukan hanya karena aksi perambahan yang dilakukan oknum masyarakat dan oknum pengusaha. Tapi juga terdapatnya dua versi peta Tahura SSH yang membingungkan masyarakat.


Menurut Kasi Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Riau Said Nurjaya SH kepada Riau Pos memang ada dua versi peta Tahura yang berbeda. Pertama peta Rupa Bumi Indonesia 1 : 50.000 oleh Bakorsurtanal 1994. Kedua berdasarkan Peta Penetapan Taman Hutan Raya Minas No.348/Kpts-II/99 26 Mei 1999 oleh Menteri Kehutanan RI. Namun kata Said pihaknya tak ingin membahas masalah ini panjang lebar. Dari pengamatan Riau Pos, kedua peta ini berbeda titik koordinatnya. Peta mana yang mau diterapkan? Inilah sumber yang membuat rancu masyarakat dan pengusaha di sekitar Tahura SSH itu. Akibat rancunya peta ini, parit pembatas Tahura pun yang telah dibangun mengitari luas Tahura 6.172 hektare ini diragukan keabsahannya masyarakat di sekitar Tahura. Ini gara-gara ada dua versi peta tadi, maka pergeseran di lapangan mencapai sekitar 3 Km lebih.


Bestek pembangunan parit Tahura juga dipertanyakan masyarakat sekitar Tahura. Uang negara sudah miliaran masuk untuk menata Tahura ini, tapi dinilai masyarakat penggunaan dananya tak tepat dan diduga menyimpang gara-gara terdapat dua versi peta tadi. Khusus di Dusun IV Flamboyan Desa Kota Garo Kecamatan Tapunghilir Kampar saat pembuatan parit Tahura 2007 lalu menggunakan delapan alat berat ekskavator merek Komatsu warna kuning saat itu operator ekskavator tak didampingi petugas pemetaan dan ahli GPS (Global Positioning System) dari instansi terkait. Masyarakat melihat petugas operator ekskavator bekerja sendiri di lapangan membuat parit Tahura dan tak sesuai lagi dengan titik koordinat. Parit Tahura yang semestinya tak mengikuti lekuk badan jalan kendaraan, tapi dipaksakan mengikuti lekuk badan jalan kendaraan.


Sesuai bestek menurut versi masyarakat, lebar parit bagian atas seharusnya empat meter, kedalaman tiga meter, dan lebar dasar parit tiga meter. Namun setelah diukur warga lebar parit atas yang ketemu sekitar 3,70 meter, kedalaman parit dua meter, lebar dasar parit 2,80 meter. Versi dua peta Tahura menurut Said Nurjaya jangan dibahas. Yang penting penertiban penyerobotan dan pembakaran hutan Tahura SSH, apalagi telah memasuki musim kemarau 15 Mei sampai Juli 2009.


Diprediksi, tingkat kebakaran hutan dan lahan di Riau akan tinggi jika tak segera diantisipasi. Bahkan menurut Said, 2010 Dishut Riau akan mengajukan dana Rp52 miliar untuk membiayai pembangunan pagar Tahura SSH sebagai pembatas dengan lahan warga. Jika sudah dipagar, menurut Said akan diketahui siapa saja pemilik kebun sawit di dalamnya. Ke depannya akan dilancarkan razia dan operasi khusus di Tahura SSH, Hutan Lindung Mahato, Hutan Lindung Bukit Suligi yang melibatkan Dephut RI dan parat gabungan.(gem)


Sumber: Harian Pagi Riau Pos
(Minggu, 24 Mei 2009 , 10:33:00)
Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org