2009-05-15

Aktivitas Industri Ancam Lahan Gambut di Semenanjung Kampar

Aktivitas Industri Ancam Lahan Gambut di Semenanjung Kampar

Semenangjung Kampar merupakan kawasan lahan gambut yang semestinya mendapat perlindungan maksimal, namun aktivitas industri di kawasan tersebut kini menjadi ancaman serius.

Riauterkini-PEKANBARU- Selama dua hari mulai Selasa (5/5), Jaringan kerja penyelamat hutan Riau – Jikalahari mengadakan workshop penyusunan strategi pengelolaan bersama ekosistem hutan rawa gambut di Semenanjung Kampar.

Workshop yang dihadiri pemerintah pusat, Riau, Kabupaten Pelalawan dan Siak, akademisi, perwakilan sejumlah lembaga swadaya masyarakat serta masyarakat desa ini diadakan di Hotel Ibis Pekanbaru. Acara ini juga kerjasama dengan WALHI Riau, pemerintah kabupaten Siak, Pelalawan dan propinsi Riau serta didukung Siemenpuu, WWF dan Global Environment Center dan Kemitraan Indonesia.

Menurut Susanto Kurniawan, Koordinator Jikalahari, diharapkan dengan workshop ini, menghasilkan kesatuan pandangan dalam penyelamatan hutan alam yang tersisa, terutama di kawasan gambut Semenanjung Kampar. Semenanjung Kampar terletak di dua kabupaten yakni Pelalawan dan Siak.
”Perlu ada komitmen perumusan bersama untuk penyelamatan semenanjung kampar sebagai tindak lanjut kesepahaman pada parelel event COP XIII dimana Jikalahari bersama pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten siak dan pelalawan berkomitmen secara bersama melakukan upaya penyelamatan semenanjung kampar,” katanya.Berdasarkan data weatland internasional, Riau memiliki luas lahan gambut terbesar kedua setelah Papua yaitu sebesar 3,836 juta hektar atau 17 persen dari luas total lahan gambut di Indonesia. Namun kedalaman gambut di Riau yang mencapai 10 meter, justru menyimpan kandungan karbon terbesar di Indonesia.“Di Semenanjung Kampar saat ini terdapat ijin konsesi hutan tanaman industri milik APRIL dan APP (Asia Pulp Paper) serta konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Mereka membangun kanal untuk mendukung kegiatan perusahaan. Kegiatan ini berdampak signifikan terhadap kerusakan alam. Ini mengancam total 700 ribu hektar gambut di Semenanjung Kampar,” ujar Susanto.Susanto menambahkan, hingga saat ini, dari 682.511 hektar luasan kawasan Semenanjung kampar, seluas 41 persen atau 284.880 hektar di antaranya ternyata ditetapkan untuk hutan tanaman industri (HTI). Sementara 35 persen atau 245.120 hektar telah diperuntukkan untuk HPH. Dan sisanya 24 persen atau 170.000 hektar untuk perkebunanan kelapa sawit, suaka margasatwa dan lainnya.Sementara dampak dari kebijakan tersebut yakni kebakaran hutan, banjir dan pemanasan global yang dihasilkan pelepasan karbon akibat pembakaran hutan dan pembukaan lahan gambut dengan cara pembuatan kanal-kanal.“Karenanya saat ini sangat mendesak, agar semua pihak segera melindungi kawasan gambut. Sebab di Semenanjung Kampar terdapat kekayaan ekologi, budaya dan ekonomi masyarakat. Perlu prakondisi untuk menyelamatkan kawasan dengan penerapan jeda tebang dan penyusunan RTRWP,” kata Susanto.Sementara itu Direktur WALHI Riau, Hariansyah Usman mengatakan, penyelamatan hutan rawa gambut harus dalam kerangka pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat. Masyarakat harus menjadi aktor utama pengelolaan hutan, bukan sekadar melibatkan masyarakat.Sepanjang tiga dasawarsa pengelolaan hutan, paradigma yang dipakai adalah mengedepankan kekuasaan negara yang memandang hutan sebagai unit ekonomi bagi keuntungan jangka pendek, berorientasi pasar ekspor dan hanya berbasis pada produksi kayu.“Karena itu harus ada perubahan paradigma dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Itu jauh lebih dalam maknanya dari sekadar mewujudkan penyediaan hasil hutan bagi masyarakat. Masyarakat harus menjadi faktor utama sebagai pengelola hutan yang diusahakan pada lahan milik dan lahan negara,” kata Hariansyah. ***(H-we/rls)Sumber: Riau Terkini (Selasa, 5 Mei 2009 16:15)
Privacy Policy - KELOMPOK PEDULI ALAM DJEMARI PEKANBARU (Riau) Copyright @ 2011 - Theme by djemari.org